Menurut KBBI, penjara merupakan “bangunan tempat mengurung orang hukuman;
lembaga pemasyarakatan.” Dari defenisi ini terlihat bahwa “orang hukuman,”
pasti dikonotasikan dengan makna negatif. Sederhananya, mereka yang melakukan
penyimpangan atau dalam konteks keindonesiaan, mereka melanggar aturan yang
tertera di dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Konotasi negatif
tentunya masih melekat pada penjara, meskipun sudah ada penghalusan bahasa
mejadi “lembaga pemasyarakatan.” Seperti halnya kata “maling,” untuk kasus
maling uang rakyat, diperhalus menjadi “korupsi.”
Namun, bagi intelektual, tidak mesti “orang hukuman” tersebut melakukan
penyimpangan. Berdasarkan perspektif KUHP, mereka memang terdeteksi, tetapi ada
hal lain dan menurut perspektif lain tidak terdeteksi. Seperti halnya kasus
Nabi Yusuf, meskipun dia tidak bersalah, tetap saja dia mendapatkan hukuman
kurungan penjara. Dalam menyikapi hal tersebut, malah dia berdoa:
Wahai Tuhanku, penjara
lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau
hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk
(memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh” (QS. Yusuf
[12]:33).
Untuk kasus di Indonesia, seperti Buya Hamka,
penulis juga tidak bisa menjustifikasi kesalahannya sehingga harus dikurung di
penjara, sebab tidak ada penelitian secara khusus untuk kasus tersebut. Boleh jadi
ia memang bersalah dan boleh jadi ia tidak bersalah. Akan tetapi, justru penjara
ia jadikan momen untuk mengembangkan dakwahnya. Di penjara, ia menulis tafsir
yang sampai sekarang masih fenomenal dan dirujuk dalam karya ilmiah, yaitu
Tafsir al-Azhar. Meskipun pengurungannya dianggap benar menurut KUHP, tetapi di
sana, justru ide-ide cermerlangnya muncul. Meskipun asumsi panjara itu penyiksaan
bagi masyarakat umum, tetapi bagi kalangan tertentu, bisa jadi kenikmatan.
Kasus yang sama terjadi juga dengan Luthfi Hasan
Ishaaq, meskipun sedang menghabiskan masa tahanannya, tetapi tetap aktif dalam
dunia dakwah. Di Lapas Sukamiskin, pada Ramadhan 2015, ia aktif dalam kegiatan
pengajaran bahasa Arab, tahsin dan penghafalan Alquran. Bahkan, ada
belasan sahabatnya di sana yang berhasil hafal Alquran juz 30. Dalam masa itu
juga, ia sudah menulis buku Suatu Subuh di Sukamiskin, yang diterbitkan
oleh Data Media Nusantara tahun 2015. Meskipun buku itu hanyalah kumpulan
ceramahnya mulai dari subuh pertama hingga subuh kesepuluh di Lapas Sukamiskin,
tetapi tidak kalah dengan buku-buku dari tulisan tangan orang-orang yang di
luar penjara.
Oleh sebab itu, tidak heran LHI mendapatkan tempat
istimewa dari sisi tertentu oleh sahabat-sahabatnya di sana. Minimal ada
sepuluh sahabat memujinya yaitu: Mahfudi Husodo, H. Abdul Haris Mughni, Prof.
Rudi Rubiandini, Mayjen TNI Purn. Moerwanto, H. Handy Sutisna, H. Zulkarnaen
Kasim, H. Indar Atmanto, Bachtiar Abdul Fatah, DR. Andi Malarangeng, dan Ir. Dada
Rosada. Prof. Rudi Rubiandini mengakui bahwa forum subuh itu banyak memberikan
solusi dan LHI mampu menarik semua hal ke arah keislaman. Bachtiar Abdul Fatah
pun mengatakan bahwa LHI itu mempunyai tiga soft skill dan membuatnya kagum. (1) Dalam setiap
ucapannya, tingkah laku dan interaksinya selalu berfikiran positif dan
konstruktif. (2) Beliau selalu menekan dalam setiap dialognya dengan positive
looking dan bukan positive thinking, yaitu melihat sesuatu dari sisi
positifnya dan mencari pembenaran terhadap sesuatu tersebut dan (3) selalu mengaitkan
dengan Alquran dan Hadis (Luthfi Hasan Ishaaq, 2015: XXI-XXIX).