Sabtu, 19 September 2015

PENJARA DAN LUTHFI HASAN ISHAAQ (LHI)

       Menurut KBBI, penjara merupakan “bangunan tempat mengurung orang hukuman; lembaga pemasyarakatan.” Dari defenisi ini terlihat bahwa “orang hukuman,” pasti dikonotasikan dengan makna negatif. Sederhananya, mereka yang melakukan penyimpangan atau dalam konteks keindonesiaan, mereka melanggar aturan yang tertera di dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Konotasi negatif tentunya masih melekat pada penjara, meskipun sudah ada penghalusan bahasa mejadi “lembaga pemasyarakatan.” Seperti halnya kata “maling,” untuk kasus maling uang rakyat, diperhalus menjadi “korupsi.”
Namun, bagi intelektual, tidak mesti “orang hukuman” tersebut melakukan penyimpangan. Berdasarkan perspektif KUHP, mereka memang terdeteksi, tetapi ada hal lain dan menurut perspektif lain tidak terdeteksi. Seperti halnya kasus Nabi Yusuf, meskipun dia tidak bersalah, tetap saja dia mendapatkan hukuman kurungan penjara. Dalam menyikapi hal tersebut, malah dia berdoa:
Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh” (QS. Yusuf [12]:33).

Untuk kasus di Indonesia, seperti Buya Hamka, penulis juga tidak bisa menjustifikasi kesalahannya sehingga harus dikurung di penjara, sebab tidak ada penelitian secara khusus untuk kasus tersebut. Boleh jadi ia memang bersalah dan boleh jadi ia tidak bersalah. Akan tetapi, justru penjara ia jadikan momen untuk mengembangkan dakwahnya. Di penjara, ia menulis tafsir yang sampai sekarang masih fenomenal dan dirujuk dalam karya ilmiah, yaitu Tafsir al-Azhar. Meskipun pengurungannya dianggap benar menurut KUHP, tetapi di sana, justru ide-ide cermerlangnya muncul. Meskipun asumsi panjara itu penyiksaan bagi masyarakat umum, tetapi bagi kalangan tertentu, bisa jadi kenikmatan.
Kasus yang sama terjadi juga dengan Luthfi Hasan Ishaaq, meskipun sedang menghabiskan masa tahanannya, tetapi tetap aktif dalam dunia dakwah. Di Lapas Sukamiskin, pada Ramadhan 2015, ia aktif dalam kegiatan pengajaran bahasa Arab, tahsin dan penghafalan Alquran. Bahkan, ada belasan sahabatnya di sana yang berhasil hafal Alquran juz 30. Dalam masa itu juga, ia sudah menulis buku Suatu Subuh di Sukamiskin, yang diterbitkan oleh Data Media Nusantara tahun 2015. Meskipun buku itu hanyalah kumpulan ceramahnya mulai dari subuh pertama hingga subuh kesepuluh di Lapas Sukamiskin, tetapi tidak kalah dengan buku-buku dari tulisan tangan orang-orang yang di luar penjara.
Oleh sebab itu, tidak heran LHI mendapatkan tempat istimewa dari sisi tertentu oleh sahabat-sahabatnya di sana. Minimal ada sepuluh sahabat memujinya yaitu: Mahfudi Husodo, H. Abdul Haris Mughni, Prof. Rudi Rubiandini, Mayjen TNI Purn. Moerwanto, H. Handy Sutisna, H. Zulkarnaen Kasim, H. Indar Atmanto, Bachtiar Abdul Fatah, DR. Andi Malarangeng, dan Ir. Dada Rosada. Prof. Rudi Rubiandini mengakui bahwa forum subuh itu banyak memberikan solusi dan LHI mampu menarik semua hal ke arah keislaman. Bachtiar Abdul Fatah pun mengatakan bahwa LHI itu mempunyai tiga soft skill  dan membuatnya kagum. (1) Dalam setiap ucapannya, tingkah laku dan interaksinya selalu berfikiran positif dan konstruktif. (2) Beliau selalu menekan dalam setiap dialognya dengan positive looking dan bukan positive thinking, yaitu melihat sesuatu dari sisi positifnya dan mencari pembenaran terhadap sesuatu tersebut dan (3) selalu mengaitkan dengan Alquran dan Hadis (Luthfi Hasan Ishaaq, 2015: XXI-XXIX).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar