KEDUDUKAN AGAMA DALAM
PENGEMBANGAN POLITIK
(Pasang Surut Politik Islam Mesir
dan Beberapa Negara Arab lainnya)
Muhammad Isya
Nim.: 13.2.00.0.06.01.0065
Konsentrasi Bahasa dan Sastra
Arab
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
E-mail: Muhammadisya92@gmail.com
Abstrak
Islam sangat berpengaruh dalam
kehidupan politik. Makalah yang singkat ini membuktikan bahwa banyak peran
Islam dalam politik Arab khususnya Mesir. Mulai dari pemerintahan Jamal ‘Abd
al-Nasir hingga Muhammad Mursi membuktikan banyaknya peranan Islam dalam kemajuan
dan mengendalikan politik, karena memang antara agama dan politik adalah
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, seperti pendapatnya Sukron Kamil, John L.
Esposito dan Hafidz Abdurrahman. Meskipun terjadi pasang surut di perpolitikan
Islam Arab, tetapi sebuah prestasi juga bahwa politik Islam di beberapa negara
Arab mulai membaik. Tampaknya adalah pandangan keliru bagi yang menyatakan
bahwa keberadaan Agama dalam politik hanya mempersempit kedudukan Agama seperti
pendapatnya Khamami Zada dan Arief R Arofah, serta Taha Husain yang menyatakan
agama dan politik harus dipisahkan karena pada masa silam keduanya tidak pernah
disatukan.
Kata kunci:
Islam, Politik Mesir, Tunisia,
Iran, Maroko.
A. Islam
dan Politik
Meskipun konsep agama dan
dan politik mendapat pertentangan dalam penyatuannya,[1]
tetapi banyak capaian yang gemilang setelah agama masuk ke ranah politik. Hal
ini disebabkan karena Islam dan Politik tidak bisa dipisahkan. Agama
membutuhkan politik dalam penerapannya dan politik pun butuh agama sebagai
pengendalinya. Sebagimana yang dikutip oleh Sukron Kamil pendapat al-Mawardi,
adanya kekuasaan di tangan Muslim akan melahirkan pemeliharaan terhadap agama,
pengelola terhadap kebutuhan manusia.[2]
Sejarah Islam juga mencatat bahwa agama dan negara
tidak bisa dipisahkan. Bahkan, terhadap zaman keemasan Islam atau yang menjadi
puncak peradaban Islam yaitu periode Abbasiyah memakai gelar raja adalah wakil
Allah (khalafah Allah). Berbeda dengan zaman sebelumnya memakai nama wakil Nabi
(khalifah al-Nabi). Adalah hal yang wajar jika agama tidak bisa dipisahkan dari
politik dan begitu pula sebaliknya. Berbeda dengan ide sekularisme Barat yang
menentang pendapat tersebut, agama dan politik harus dipisahkan.[3]
John L. Esposito menyimpulkan bahwa semakin agama
dan negara disatukan, khususnya negara berlandaskan shari‘at Islam, semakin
menjamin kesatuan umat. Seterusnya Islam terbukti menjadi agama pengendali dari
perpolitikan. Bahkan, pada sejarahnya bangsa Arab yang belum bersatu dan hidup
dalam kefanatikan suku pasca Jahiliyah, justru Islam mampu menyatukan
keberagaman tersebut.[4]
Misalnya Mekkah sebelum Islam, sistem politiknya berdasarkan pada status
sosial, terutama kekayaan dan kedudukan. Belum lagi dengan politik Arab Selatan
yang memakai sistem monarki, kekuasaan diturunkan berdasakan pada keturunan.
Akan tetapi Islam telah mengubah sistem tersebut dan menjadi pembaru khususnya
bagi politik Arab.
Muhammad SAW. Hijarah ke Madinah pada tahun 622 M.
Mulai dari tahun itu politik mulai bangkit. Antara sesama masyarakat pun
terjadi kontak sosial yang baik. Meskipun masyarakat terbagi dalam tiga
kelompok, yaitu muslimin, Arab non-Muslim dan Yahudi, tetapi ikatan
persaudaraan diantara mereka terjalin dengan baik. Salah satu faktornya adalah
adanya perjanjian dalam kebebasan beragama yang dibuat bersama Rasulullah.
Adapun perjanjian tersebut dikenal dengan sebutan
“piagam Madinah”. Terkait dengan perpolitikan, penekanan yang paling utama pada
piagam tersebut adalah konsep keadilan. Sebuah konsep yang menyatukan
masyarakat, terlebih pada penegakkan hukum yang tidak pandang bulu. Seterusnya
pada penekanan terhadap demokrasi, menjadi hak dan persamaan pada setiap
individu. Terakhir, penjanjian itu juga mengadung konsep musyawarah, menjadi
hal utama yang dalam mengambil keputusan.[5]
Tidak hanya di Arab, di negara non-Arab pun Islam
mempengaruhi politik. Kasus Australia misalnya. Pada awalnya, negara ini
menganut ideologi monokulturalisme sehingga agama Islam pun sebagai minoritas
harus mendapat perlakuan deskriminatif dari masayarakat dan pemerintah. Padahal
dalam sejarahnya, Islam banyak memberikan sumbangsih di dalam kemajuan negara
itu, seperti dalam pembukaan lahan pertanian dan transfortasi onta oleh
orang-orang Pakistan. Hingga mulai tahun 1972 pemerintah menerapkan kebijakan
Multikulturalisme. Dampaknya terciptanya kerukunan di antara masyarakat
Australia. Walaupun mereka hidup berdampingan dan menganut ideologi
Multikulturalisme, tetapi tidak mempengaruhi identitas Muslim mereka.[6]
Jelas sekali ada hubungan antara agama dan politik
dari contoh di atas, sebagaimana juga Rasulullah kepala negara di samping ia
seorang Nabi. Oleh sebab itu, agama haruslah diterapkan dengan melalui politik
untuk mengatur manusia.[7]
Menurut Hasunuddin Yusuf Adnan, pemaknaan ayat Quran surat Ali ‘Imran ayat 103 (Berpegang
teguhlah kamu pada tali (agama) Allah dan jangan bercerai-berai...) adalah
perintah Allah untuk manusia agar memperkuat posisinya di dalam satu wilayah
atau negara. Sementara menurut politik Islam, manusia adalah khalifah dimuka
bami yang berkuasa sebagai penerus kenabian.[8]
Tidak bisa dipungkuri bahwa politik di Mesir
banyak dipengaruhi oleh pemikiran tokoh-tokoh Islam Fundamentalis. Seperti Jamal
al-Afghani, Rashid Rida, Muhammad ‘Abduh, Hasan al-Bana, dan lain-lain. Melihat
dari perpolitikan Mesir mulai presiden Jamal ‘Abd al-Nasir sampai Muhammad Mursi,
terlihat yang banyak memberikan pengaruh adalah peranan organisasi Islam Ikhwan
al-Muslimin yang didirikan oleh Hasan al-Bana 1928 M.[9] Sebagai pria asal Mesir,
tentunya terhadap polemik politik dan agama Mesir sudah diketahaui olehnya. Kesehariannya
memang orang yang cinta dan mempunyai semangat yang tinggi terhadap ilmu.
Lingkungan yang mendukung, yaitu perpustakaan milik ayahnya, Shaykh Ahmad,
menjadi pemicu semangatnya, baik buku yang berkenaan dengan fikih dan sejarah
Nabi dan sahabatnya. Sehingga sejarah Rasulullah yang meragkap dua jabatan,
kepala negara dan Nabi, menjadi pijakan pada ideologi yang ia anut. Sehigga
organisasi yang ia dirikan adalah bentuk solusi yang ia berikan dalam
menghadapi problema yang ada. Politik Mesir yang banyak mengadopsi ide-ide
politik Barat dan ide Islam dianggap tidak relevan lagi kehidupan politik
Modern menjadi pemicu organisasi yang ia dirikan. Menurutnya, dakwah harus
masuk ke seluruh aspek kehidupan, baik dari segi ‘aqidah, mua‘amalah, akhlak,
dan bentuk kehidupan sosial lainnya. Dalam perpolitikan, dalam konsep tentang
nasionalisme dan patriotisme sangat mendukung, asalkan kedunya berlandaskan
iman kepada Allah SWT. Ada tiga prinsip pemerintahan Islam yang ia tawarka,
yaitu: penguasa harus bertanggung jawab terhadap Allah dan rakyat, umat harus
bersatu agar kokoh dan pemimpin harus menghormati masyarakat.[10]
Kemudian tidak heran juga jika Mesir banyak
mengadopsi ide-ide Barat, hal ini disebabkan juga oleh peran pemikiran
tokoh-tokoh pada masa sebelumnya, seperti Taha Husain, ‘Abd al-Raziq, Ahmad Lutfi
Sayyid dan lain-lain. Taha Husain (1889-1973) misalnya, sebagai pria kelahiran Mesir, pemikirannya
banyak mengadopsi dari ide-ide politik Barat untuk membangun politik Mesir.
Adalah hal yang wajar jika ia memiliki pemikiran yang cenderung ke Barat,
karena dalam pendidikannya pernah kuliah di Prancis. Pada dasarnya, ia tidak
setuju jika Islam dan politik disatukan, karena pada masa Rasulullah dan
sahabat kedua hal ini tidak pernah disatukan.[11] Bahkan ia berasumsi
bahwa kemajuan yang ada di Mesir diakibatkan Mesir mengadopsi ide-ide politik
Barat. Baginya, Mesir harus beryukur dengan adanya ide-ide tersebut, karena
Mesir akan membutuhkan waktu yang lama dalam mencapai ide-ide tersebut. Husain
dalam hal ini bukanlah mengambil semua ide Barat lantas langsung menerapkan
dalam perpolitikan Mesir, justru dalam hal ini ia menyaringnya terlebih dahulu,
memilah dan memilih.[12] Meskipun banyak yang
menklaim dirinya terlalu banyak mengadopsi pemahaman Barat, akan tetapi dalam
persoalan pembenahan pendidikan Mesir, Husain banyak memberikan kontribusi.
Jika selama ini tidak adanya kesetaraan dalam persoalan pendidikan di Mesir,
dalam hal ini Husain membuat kesetaran itu. Sehingga tidak ada perbedaan antara
orang tua dan muda, miskin da kaya dalam persoalan mendapatkan pendidikan.[13]
B. Dunia
Arab dan Politik: Pasang Surut Politik Islam Mesir
Setelah perang dunia II, bangsa Arab adalah bangsa
yang krisis dalam perpolitikan. Krisis itu menjumpai rata-rata di sejumlah
negara Arab khususnya pada periode 1948-1970-an. Sistem pemerintah yang masih
monarki memicu terjadinya usaha pembunuhan di Maroko, perang civil di Jordan,
pemberontakan di Oman. Bahkan, hal serupa terjadi di Arab Saudi, sebuah negara
yang paling stabil, akan tetapi pembela King Faisal dibunuh. Belum lagi yang
terjadi di Mesir, Syiria, Irak, dan perang civil di Libanon.[14]
Belum lagi melihat
realitas perpolitikan Mesir modern, Seperti kudeta yang dilakukan oleh tentara
pada tahun 1952 yang membuat negara Mesir mengalami revolusi pada tahun itu.
kemudian Pada tahun 1953, pemerintah al-Nasir membubarkan semua partai politik agar
ia mendapatkan dukungan dari masyarakat. Kemudian dibuatlah Organisasi
Pembebasan yang dipimpin oleh Nasir sendiri. Seterusnya pada tahun 1970 puncak
pimpinan digantikan oleh Anwar Sadat. Sistem juga ikut berubah, yaitu
pemerintah membentuk lagi partai politik.[15]
Kesimpulan A.
R. Zainuddin mengatakan perpolitikan di Mesir sendiri hingga 1971 memang
belum berjalan dengan baik.[16]
Anthony F. Lang J.R. yang
meneliti peristiwa politik Mesir sejak 1919 hingga sekarang, menyimpulkan bahwa
politik konstitusional yang terjadi di Mesir ternyata terjadi juga di tempat
yang lain. Kemudian penyebab munculnya konstitusi itu diakibatkan dari proses
politik yang kontroversial, sesama elit politik saling mempromosikan dirinya
demi kepentingan pribadi.[17]
Jadi, sangat menarik kesimpulan Benno Torgler dan Bruno S. Frey bahwa sepanjang
perjalanan sejarah, sejumlah politisi di dunia ini banyak yang dibunuh.[18]
Udjang Tholib mengutip pendapat P.M. Holt (ed)
yang menyatakan bahwa politik Islam terkenal dengan kekejaman di dunia Barat.
Terjadinya pembantaian, perperangan pertumpahan darah telah menjadi penyebab
kerusakan yang besar terutama pada dunia kesenian. Padahal yang terekam oleh
Barat hanyalah satu sisi. Banyak sisi positif yang belum dilihat oleh Barat.
Harus diakui bahwa kemajuan peradaban Islam merupakan sumbangsih dari
kebudayaan Arab.[19]
Untuk itu, berikut ini akan dijelaskan suasana politik Arab, khususnya Mesir
yang pasang surut mulai dari pemerintahan al-Nasir hingga Mursi.
1.
Jamal ‘Abd al-Nasir
Meskipun secara global perpolitikan Arab itu
bermasalah, akan tetapi secara spesifik hal tersebut berbeda dengan asumsi Din
Wahid. Menurutnya, mulai tahun 1950-an perpolitikan Mesir mendapatkan titik
terang, sebagai akibat dari munculnya organisasi Islam. Tegasnya, organisasi
ini merupakan pergerakan fundamentalis Islam. Ikhwan al-Muslimin misalnya, organisasi
ini merupakan organisasi yang berpengaruh terutama pada perpoltikan Mesir. Hal
tersebut terlihat adanya kerjasamanya dengan presiden Jamal ‘Abd al-Nasir pada
tahun 1952. Pasalnya, al-Nasir sendiri yang membuat kesepakan tersebut, guna mendapatkan
dukungan politik pada pemerintahannya yang baru.
Tidak hanya Ikhwan al-Muslimin, di Mesir terdapat
lagi dua organisasi Islam yang berpengaruh terutama masa pemerintahan sesudah
al-Nasir, yaitu Organisasi Pembebasan Islam (Munazzamah al-Tahrir al-Islami)
dan Jamaah Islam (Jama‘ah al-Muslimin). Terlihat bahwa besar andil dari
organisasi Islam dalam mewarnai perpolitikan Mesir, khususnya yang menjadi
tujuan mereka adalah menegakkan kembali ajaran Islam di sana.
Pada awal pemerintahannya, al-Nasir banyak membuat
prestasi bagi revolusi Mesir. Peran politik di kekuasaannya mampu membuat diplomasi
dengan penjajah Inggris pada Oktober 1954. Dampak dari diplomasi tersebut,
Inggris terpaksa menarik kembali pasukannya dua tahun setelahnya, yaitu Juli
1956. Artinya, secara kinerja, al-Nasir telah mengukir kemajuan bagi
perpolitikan Mesir. Terutama dalam pembebasan Mesir dari tangan penjajah
Inggris dan melepaskan diri dari campur tangan asing di negaranya.[20]
Mulai pada tahun 1950-an, penulis mengakui bahwa
Mesir mengalami revolusi. Akan tetapi, mulai pada tahun 1967, krisis politik
terulang kembali. Dimana, pada tahun itu adalah kekalahan Mesir terhadap
Israel. Bahkan sebagai pengamat sastra Arab, penulis berkesimpulan bahwa novel al-Zayni
Barakat merupakan kritikan politik novelis Jamal al-Ghitani terhadap
pemerintah kedua Mesir Jamal ‘Abd al-Nasir. Pasalnya, pemerintah telah gagal
mempertahankan Mesir pada tahun 1967, karena pemerintah hanya menfokuskan pada
internal Mesir saja dan lupa dengan serangan eksternal.[21]
Krisis politik seperti yang telah diungkapkan, ada
yang berpendapat bahwa faktor utamanya adalah pemerintah yang tidak berpegang
teguh dengan aturan agama dan budaya. Seperti pendapatnya J.J.G. Jansen
sebagaimana yang dikutip oleh Din Wahid. Menurutnya, karena pemerintah yang
terlalu banyak menyerap budaya Barat dan melupakan budaya Timur khususnya
Islam, sehingga berakibat pada kekalahan. Hal itu disebabkan karena agama
sangat berperan aktif dalam kehidupan politik dan menjadi penguat dalam
kehidupan berbangsa.[22]
Pria kelahiran tanggal 15 Januari 1918 digambarkan
sebagai sosok yang nasionalis dan banyak berjuang bagi rakyat Mesir. Apalagi ia
memang seoarang milter yang berpangkat Mayor yang pernah berperang melawan
Israel untuk Mesir pada tahun 1948. Ia memimpin lagi pada perperangan melawan
raja Farouk 1 tahun 1952. Akan tetapi, pada perperangan enam hari melawan
Israel pada tahun 1967 al-Nasir harus mengakui kekalahannya dengan menarik
kembali pasukannya. Hingga tahun 1970 ia mencoba memimpin kembali perperangan
itu, tapi harus menerima kekalahan lagi dan tanggal 28 September 1970, dua
minggu setelah peperangan, ia menembus nafas terakhir karena serangan jantung.[23]
2.
Anwar Sadat
(1970-1981)
Setelah pemerintah kedua
Mesir Jamal ‘Abd al-Nasir meninggal dunia, kepala pemerintahan digantikan oleh
Anwar Sadat mulai tahun 1970. Pada tahun itu juga kekuasaannya masih memakai
sistem yang ditetapkan oleh al-Nasir. Mulai satu tahun berikutnya 1971, ia
mulai menegaskan kebijakannya. Misalnya, dengan melawan pendukung al-Nasir
dengan dalih koreksian pada revolusi Arab.
Sama kasusnya dengan
presiden sebelumnya, Sadat juga menjalin hubungan baik dan kuat dengan organisasi
Ikhwah al-Muslimin. Sangat wajar ia dijuluki dengan pemerintah yang taat
beragama. Kemudian yang menarik ketika kekuasaannya, agama terlihat lebih
ditekankan. Seperti peningkatan pembelajaran Agama pada sekolah-sekolah dan
universitas pemerintah, serta memberi fasilitas yang baik terhadap perluasan yang
terkait dengan program tersebut. Belum lagi dengan perizinan terhadap
tarekat-tarekat sufi untuk dikembangkan secara umum. Masih banyak pehatiannya
terhadap Islam dalam bentuk lain, seperti menggaji petugas keagamaan. Maka
tidak heran lagi jika masyarakat menjuukinya dengan “Presiden Mukmin.”[24]
Pada tahun 1973, Sadat
mengerahkan pasukan dan memimpin pererperang menghadapi Israel. Tiga tahun
sebelumnya perperangan tersebut dipimpin oleh presiden kedua Mesir dengan
kekalahan. Berbeda halnya dengan perperangan ini. Mesir meraih kemenangan
padahal peperangan itu di bulan Ramadhan. Maka oleh rakyat Mesir, Sadat
menadapat julukan pahlawan Mesir.
Organisasi Ikhwan
al-Muslimin tampaknya menjadi sebuah oraganisasi yang berpengaruh khususnya
dalam bidang politik sampai pasca pemerintahan ini. Pasca sebelumnya, yaitu
al-Nasir, organisasi ini pernah dikecam sebagai organisasi kontra pemerintah.
Puncaknya adalah pada tanggal 26 Oktober 1954, yaitu dituduh dalam usaha
pembunuhan al-Nasir, hingga bayak dari pembesar organisasi ini mendapat hukuman
pejara.[25]
Inilah permainan politik, bisa saja yang tidak bersalah dikecam sebagai
bersalah jika itu bertentangan dengan pemerintah. Dalam permainan politik,
adalah hal yang wajar jika dipenjara dan diusir dari tahan kelahirannya.
Buktinya pada pemerintahan Sadat, semua tahanan dari tokoh Organisasi tersebut
dibebaskan dan mereka yang terusir
dipanggil kembali.[26]
Adanya pembebasan tokoh
Organisasi Ikhwan al-Muslimin tersebut untuk kekuatan pemerintah dalam
menghadapi pro al-Nasir. Tidak hanya pembebasan saja, bahkan pemerintah memberi
izin dan mendorong pembentukan organisasi Islam lainnya untuk mengantisipasi doktrin-doktrin
yang bermunculan dari pro al-Nasir. Hal tersebut berdampak pada banyaknya
organisasi yang menjadi pemimpin di kemahasiswaan Universitas al-Azhar
mendekati tahun 1979.
Terlihat pada masa ini
adalah masa kemegahan Islam di Mesir. Islam masuk ke semua sistem, apalagi
sistem politik. Tentunya memberikan kekuatan pada agama. Jumlah jamaah di
Masjid makin bertambah, corak pakaian Islam pun mulai terlihat, rekaman kaset
kajian Islam juga beredar dimana-mana, dan organisasi Islam tumbuh pesat. Akan
tetapi, mulai tahun 1977, terjadi lagi ketegangan dimana sebagian organisasi
tersebut menuntut kebebasan dan rekonstruksi agama secara substantif.
Akibatnya, Sadat bersifat otokratif.
Mulai dari tahun itu juga
pada bulan Januari 1977, Mesir dilanda krisis bahan makanan. Akan tetapi,
pemerintah tidak bijak dalam mengambil keputusan pada waktu itu. Pemerintah
memilih bekerjasama dengan Israel dalam impor bahan makanan. Sebagai mana diketahui
bahwa Israel adalah kaki tangannya Amerika, sehingga Mesir pun makin terpuruk.
Hasil produksi Mesir diambil dan para buruh Mesir hanya mendapatkan makanan
yang bersubsidi. Akibat dari peristiwa tersebut, terjadi demontrasi
besar-besaran agar presiden Sadat diturunkan. Termasuk organisasi Islam Ikhwan
al-Muslimin mulai tahun 1979 terlibat juga dalam aktivitas tersebut. Pasalnya, organisasi Islam mengecam bahwa
tindakan yang dilakukan oleh Sadat adalah pengkhianatan terhadap rakyat Mesir.[27]
3. Husni Mubarak
(1981-2011)
Husni Mubarak dilantik menjadi
presiden mulai pada tanggal 14 Oktober
1981. Pada saat itu ia dengan tegas mengataka “aku
bukanlah Jamal ‘Abd al-Nasir dan aku juga bukanlah Anwar Sadat, tetapi aku
adalah Husni Mubarak”. Pada awal pemerintahannya, merupakan angin segar bagi
rakyat Mesir. Banyak tahanan tokoh politik pada masa rezim Sadat dibebaskan,
organisasi-organisasi pun diberi izin untuk menjalankan programnya. Terutama
sekali pemerintah baru ini mencoba memecahkan krisis ekonomi dengan cara
mengumpulkan semua ekonom Mesir.[28]
Pertemuan tersebut berlangsung selama tiga hari, namun tidak ada rincian tentang
diskusi muncul.
selain dari pertemuan
resmi, ada debat
terbuka tentang arah kebijakan ekonomi baik
di dalam dan di
luar lingkaran pemerintah. Perekonomian
pada 1970-an itu
tergantung pada aliran
pendapatan rente dari
Suez biaya
Canal, minyak
bumi ekspor, pengiriman uang dari pekerja Mesir ekspatriat
dan bantuan
luar negeri. Kapitalis Mesir pun terfokus
pada energi spekulasi dan
investasi dalam skema keuntungan yang cepat, seperti
impor konsumen dan real estate
konstruksi pada tahun 1974, tetapi tidak memiliki dampak pada rezim Sadat. Kemudian pada tahun 1982, mereka bertemu
dengan nasib yang sama seperti tahun 1974.
konstruksi pada tahun 1974, tetapi tidak memiliki dampak pada rezim Sadat. Kemudian pada tahun 1982, mereka bertemu
dengan nasib yang sama seperti tahun 1974.
Sangat besar pengaruh organisasi
Islam dalam petumbuhan politik Mesir. Meskipun Keterpurukan ekonomi mulai
memburuk pada 1980-an dan memuncak pada
1990-an, akan tetapi kekuatan politik mulai
menyelaras pada tahun 1987 ketika
organisasi Ikhwah al-Muslimin bersekutu dengan Partai
Aksi Sosial, The National Progressive Unionist Party (NPUP).
Mereka menyerukan pemulihan 'sosialisme’ (di negara kapitalisme). NPUP dan
partai aksi sosial lainnya bersama-sama
mewakili industri
pekerja, petani
kecil dan pekerja
sektor publik. Jumlah mereka relatif kecil dan
tidak memiliki pengaruh. Sangat berbeda dengan organisasi
Islam jauh lebih besar dan lebih berpengaruh,
karena organisasi Islam merupakan wadah yang menampung keluhan masyarakat.
Misalnya, pada pemerintahan sebelumnya banyak sistem yang bertentangan dengan
rakyat, rakyat pun menjadikan organisasi Islam sebagai media untuk menyuarakan
keluhan mereka. Padahal di parlemen didominasi oleh National Democratic
Party (NDP).[29]
Pada 11
Februari 2011, Presiden Husni Mubarak
mengumumkan pengunduran
dirinya dan menyerahkan pemerintahan Mesir
kepada militer yang
berjanji untuk bekerja
menuju transisi ke rezim baru setelah ia mengabiskan waktu
tiga puluh tahun di pemerintahan.[30] Peristiwa
penting ini, berikut seperti yang terjadi kejatuhan
sebelumnya Presiden
Ben Ali
dari Tunisia,
telah banyak
bersorak dan
merayakan di
Mesir serta seluruh
dunia. Protes jalanan dan demonstrasi non-kekerasan dengan
cepat menyebar ke negara-negara lain di Timur Tengah dan Afrika
Utara (MENA). Momen ini pun kerap disebut "Musim Semi Arab.”
Adapun bentuk protes tersebut adalah penyeruan transisi dari kediktatoran ke
demokrasi, karena pada sebelumnya telah
terjadi dengan korupsi yang merajalela, meningkatnya
kesenjangan ekonomi dan
kenaikan yang signifikan terhadap harga pangan. [31]
Menurut Maria Cristina Paciello, ada banyak faktor yang menjadi penyebab melemahnya oposisi
politik dan membuat Mubarak diturunkan. Misalnya, adanya penolakan untuk
melegalkan ikatan-ikatan dan organisasi-organisasi yang dapat mengancam rezim;
adanya manipulasi pemilu. Selain itu, adanya undang-undang darurat yang dimulai
sejak tahun 1981, disajikan untuk melarang pemogokan, menyensor surat kabar dan
membatasi kegiatan apapun atas nama nasional keamanan.[32]
4.
Muhammad Mursi
Sebagai negara yang melahirkan tokoh pendiri Ikhwan al-Muslimin, Mesir
mendapati kemenangan partai Islam setelah Mubarak diberhentikan. Dari total
penduduknya 85 juta jiwa, sebanyak 60% penduduknya berpartisipasi dalam
pemeilihan umum kali itu. Angka yang berbeda pada pemilihan umum yang
sebelumnya, yaitu 15%. Partai Kebebasan dan Keadilan mampu meraih kemenangan
dan menjadi kemajuan bagi politik Islam walaupun mereka dinilai dengan sebuah
kelompok yang radikal atau asumsi negatif lainnya.[33]
Pemilihan calon
Ikhwan al-Muslimin, Muhammad
Mursi, sebagai sipil pertama Mesir terpilih sebagai Presiden pada bulan Juni 2012, tampaknya tidak membawa transisi Mesir berakhir. Morsi, yang memenangkan pemilu dengan sedikit lebih dari 50% suara, memiliki banyak lawan polikus pemerintahannya, terutama pada dua bulan terakhir. Presiden baru ini umumnya disukai disukai oleh rakyat karena berbicaranya yang spontan, terlihat seperti orang yang jujur dan mempunyai niat baik untuk reformasi dan pembangunan Mesir. Namun, mengutip pendapat Sally Khalifa Isaac, ia mempunyai tantangan besar dari non-Islam. Sejak ia terpilih menjadi Presiden, banyak memicu kritikan pasukan non-Islam yang menuduhnya "Ekhwanizing" negara (mengikhwahkan negara Mesir), membungkam kritik, dan tegas mengkonsolidasikan otokrasi baru dari ideologi agama.[34]
Mursi, sebagai sipil pertama Mesir terpilih sebagai Presiden pada bulan Juni 2012, tampaknya tidak membawa transisi Mesir berakhir. Morsi, yang memenangkan pemilu dengan sedikit lebih dari 50% suara, memiliki banyak lawan polikus pemerintahannya, terutama pada dua bulan terakhir. Presiden baru ini umumnya disukai disukai oleh rakyat karena berbicaranya yang spontan, terlihat seperti orang yang jujur dan mempunyai niat baik untuk reformasi dan pembangunan Mesir. Namun, mengutip pendapat Sally Khalifa Isaac, ia mempunyai tantangan besar dari non-Islam. Sejak ia terpilih menjadi Presiden, banyak memicu kritikan pasukan non-Islam yang menuduhnya "Ekhwanizing" negara (mengikhwahkan negara Mesir), membungkam kritik, dan tegas mengkonsolidasikan otokrasi baru dari ideologi agama.[34]
Tampaknya asumsi di atas berbeda dengan pendapat
Jannis Grimm and Stephan Roll (2012), menurutnya Sejak menjabat, Presiden
Muhammad Mursi
telah jelas bebeda
dari Husni Mubarak,
sebagaimana tercermin dalam dua kecenderungan: menegaskan
peran kepemimpinan regional
untuk Mesir dan
kebijakan luar negeri pembukaan
Kairo untuk
mitra potensial baru.
Meskipun Mursi berasal
dari Islam Ikhwan
al-Muslimin, kebijakan luar negerinya
tidak salah satu dari reorientasi
ideologis mendasar.
Sebaliknya, ia
berusaha untuk meningkatkan dukungan rakyat melalui
aktivisme politik luar negeri.
Dapat dikatakan kurangnya keberhasilan dalam kebijakan
ekonomi dan sosial.[35]
Sejak tanggal 25 Januari 2013, Mesir telah
mengalami kerusuhan dan konflik yang terjadi dimana-mana, terutama yang terjadi
pada bulan Januari 2014. Hal yang menjadi perhatian adalah banyaknya kerugian
yang terjadi akibat dari konflik tersebut. Tentunya, konflik tersebut akan
berpengaruh pada ekonomi Mesir. Belum lagi dengan cagar budaya dan kesenian
yang hancur akibat peristiwa itu.[36]
Politik Arab Masa Kini
Bisa dikatakan bahwa terjadi penghijauan politik
di dunia Arab sekarang. Banyak perkembangan politik di Arab yang diraih sebagai
wujud dari sebuah kemajuan. Bisa dilihat capaian itu dari pimpinan yang berasal
dari Islam yang kian meningkat. Berikut ini akan disajikan negara-negara Arab
yang dikuasai oleh partai politik Islam, diantaranya:
1)
Tunisia
Untuk pertama kalinya sistem demokrasi diadakan di Tunisia. Setelah Zaenal
Abidin bin Ali dicopot dari jabatannya, di Tunisia diadakan pemilu.
Sebelum-sebelumnya para pengamat banyak yang memprediksikan bahwa akan terjadi
kemenangan partai Islam. Hingga pada kenyataannya tidak jauh berbeda dengan
prediksi itu. Salah satu partai Islam meraih kemajuan, yaitu partai Hizb
Harakah Nahdhah atau Partai Gerakan Kebangkitan. Partai tersebut memperoleh
suara 40% dari seluruh suara pemilih. Faktor dominan kemenangan tersebut ialah
mampu berkoalisi dengan partai Islam lainnya bahkan terhadap partai Liberal
sekalipun. Capaian ini menunjukkan bahwa adanya semangat baru dari rakyat
Tunisia sendiri untuk sebuah kebangkitan dan perubahan.[37]
2)
Iran
Revolusi politik Iran sekarang ini tidak bisa terlepas dari peran ulama
besar sekaligus pimpinan revolusi Islam yaitu Ayatullah Imam Khomeini. Dialah
yang menetapkan ide Wayatu al-Faqih (pemerintahan faqih) yaitu
kekuasaan harus berada di tangan orang yang faqih (dipercaya). Misalnya,
untuk memilih pemimpin (Wali al-Faqih) ia harus mendapatkan pengesahan
terlebih dahulu dari Wayatu al-Faqih.[38]
Pada awalnya, ideWayatu al-Faqih merupakan ide yang berasal dari
kaum Shi‘ah. Sedangkan Khomeini mengembangkannya ke dalam sistem politik.
Terlihat bahwa ide yang ia kembangkan itu berhasil, karena mampu menggabungkan
antara agama dan politik. Akan tetapi perpolitikan itu menurutnya harus
dibatasi menurut hukum Islam. Sekarang pun kita melihat di pemerintahan, negara
ini adalah negara yang kuat.[39] Terlihat mulai pada
tahun 1990-an hingga sekarang bahwa Iran merupakan negara Islam penguasa. Berbeda dengan asumsi negara Amerika, katanya negara
tersebut menganut faham Islam Radikal dan negara sarang teroris. Bahkan ia
mengatakan ia juga mengatakan bahwa negara Iran selain dari sarang teroris ia
juga sebuah negara yang otoriter.[40]
3)
Maroko
Di Maroko, sebuah capaian yang luar biasa diraih oleh partai politik Islam.
Sebagaimana hasil pengumuman pemilu tanggal 27 November 2011 menyebutkan bahwa
partai Islam Hizb al-‘Adalah wa-al-Tanmiyah atau Partai keadilan dan
Pembangunan adalah partai pemenang. Pasalnya, partai tersebut memperoleh 107
kursi di pemerintahan dari total 395 kursi. Sekjen partai tersebut juga
menambahkan bahwa partai tersebut tetap akan berkoalisi dengan partai lain agar
terciptanya suatu kekuatan politik di Maroko.[41]
Kesimpulan
Kedudukan Agama dalam
perpolitikan sangat besar peranannya. Agama butuh pada politik dalam
mengembangkan dakwahnya dan sebaliknya politik butuh Agama sebagai pengendali
dan kemajuannya. Pada pasca pemerintahan Jamal ‘Abd al-Nasir di Mesir, terlihat
bahwa Islam berperan aktif dalam politik, terutama dari Organisasi Islam yang
menjadi hal yang diperhitungkan untuk kedudukan pemerintah yang baru. Terbukti
pemerintah yang dijalankan mulai bagus. Bahkan kemunduran Mesir pada akhir
jabatan al-Nasir akibat adari melupakan nilai Islam dan terlalu banyak
mengadosi budaya Barat.
Seterusnya pada masa Anwar Sadat,
Islam juga menjadi faktor terhadap kemajuan politik. Sebaliknya Islam mulai
berkembang karena sudah masuk ke semua sistem, terkhusus pada sistem sekolah
dan universitas. Begitu juga yang terjadi pasca Husni Mubarak, Organisasi Islam
menjadi pengendali dalam sistem pemerintah. Ketika aspirasi rakyat Mesir tidak
diterima oleh pemerintah, rakyat menjadi Organisasi Islam khususnya Ikhwah
al-Muslimin sebagai penyampai aspirasinya. Belum lagi dengan masa Presiden Muhammad
Mursi yang memang tokoh dari Ikhwan al-Muslimin tentu banyak memberikan
sumbangsih terhadap kemajuan politik Mesir walaupun akhirnya ia di turunkan
akibat dari beratnya tantangan dari lawan politiknya.
Walaupun banyak kemajuan politik
pengaruh dari Agama, akan tetapi terlihat juga politik Islam itu pasang surut
dalam perkembangannya. Sebagian besarnya akibat dari penganutnya sendiri.
Politik pasca Al-Nasir menjadi mundur akibat dari pemerintah terlalu banyak
mengadopsi budaya Barat dan melupakan identitas Islam. Kemudian Anwar Sadat
dibunuh akibat pengkhianatannya terhadap rakyat Mesir karena bekerjasama dengan
Isreal dalam urusan ekonomi.
[1]Khamami Zada dan Arief R Arofah menyatakan
seharusnya Islam harus dipisah dari ranah politik, karena akan mempersempit dan
terbatas hanya pada kelompok tertentu. Berpolitik dengan memakai dalih agama
hanya menimbulkan pertentangan. Lihat Khamami Zada dan Arief R Arofah, Diskursus
Politik Islam (Jakarta: LSIP, 2004), 6-8.
[2]Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam
Tematik; Agama dan Negara, Demokrasi, Civil Society, Syariah dan HAM,
Fundamentalis, dan Antikorupsi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2013), 3-4.
[3]Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam
Tematik; Agama dan Negara, Demokrasi, Civil Society, Syariah dan HAM,
Fundamentalis, dan Antikorupsi, 6-8.
[4]Untuk lebih jelasnya lihat John L.
Esposito, Islam and Politics (New York: Syracuse University Press,
1985).
[6]Untuk lebih jelasnya, lihat penelitian
disertasi Amin Nurdin (dosen fakultas Ushuluddin UIN Syarih Hidayatullah
Jakarta) tentang Muslim minoritas di Australia. Amin Nurdin, Pergulatan Kaum
Muslim Minoritas; Islam Versus Multikulturalisme dan Sekularisme (Jakarta:
Ushul Press, 2009), 1-237.
[9]Peter Woodward, review of Islam in
Contemporary Egypt: Civil Society vs. the State,
by Denis J. Sullivan; Sana Abed-Kotob, The Journal of
Modern African Studies 2 (2000), 343, http://www.jstor.org/stable/161666 (diakses 22 Desember 2014).
[10]Lihat Tesis Syahrial, Pembaharuan
Pemikiran Hasan al-Banna dalam Islam (Jakarta: Sekolah Pascasarajana UIN
Syarif Hidayatullah, 1995), 98-110. Bisa juga dilihat di Disertasi S. Noor
Chozin Sufri, Hasan al-Banna Tokoh Dakwah di Mesir (Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah,
1999), 26, 111-126.
[11]Padahal argumen tersebut sudah dibantah, karena
melihat dari Nabi Muhammad SAW. selain dari utusan Allah bagi umat manusia, dia
juga seorang kepala negara. Artinya pada diri Rasulullah terdapat dua konsep,
yaitu agama dan politik berjalan seiring sebagaimana yang dicontohkan. Hafidz
Abdurrahman, Diskursus Islam Politik Spiritual (Bogor: al-Azhar Press,
2007), 202.
[13]Abdel Fattah
Galal, “Taha Hussein (1889-1973),” International Bureau of Education 3 (2000), 1, http://www.ibe.unesco.org/publications/
ThinkersPdf/husseine.pdf (diakses 22 Desember 2014).
[14]Micheal C. Hudson, Arab Politics The
Search for Legitimacy (U.S.A: Yale University Press, 1977), 82.
[15]Nanang Tahqiq, Politik Islam, 254-277.
[16]A. R. Zainuddin, Pemikiran Politik
Islam Islam, Timur Tengah dan Benturan Ideologi (Jakarta: Pensil-324,
2004), 178.
[17]Anthony F. Lang J.R., "From Revolution to Constitutions: the Case
of Egypt," International
Affairs (Royal Institute of International Affairs 1994-) 1 (2013), 1, http://www.jstor.org/stable/23473540
(diakses 2 Juni 2014).
[18]Dalam penelitian
tersebut, Benno Torgler dan Bruno S. Frey mengambil sampel 100 negara di dunia
selama periode 20 tahun. Benno
Torgler dan Bruno S. Frey, "Politicians: be Killed os Survive," Public Choice 156 (2013), 357, http://www.jstor.org/stable/42003163 (diakses 2 Juni 2014).
[19]Nanang Tahqiq (ed.), Politik Islam (Jakarta:
Prenada Media, 2004), 72-73.
[20]Micheal T. Thornhill, “Britain, the United
States and the Rise of an Egyptian Leader: the Politics and Diplomacy of
Nasser’s Consolidation of Power,” English Historical Reiew 119 (2004),
892, ehr.oxfordjournals.org/content/119/483/892.full.pdf+html (diakses 8 Juni
2014).
[21]Pendapat di atas merupakan kesimpulan awal
penulis dalam penelitian tesis. Penelitian tersebut mendukung pendapat al-Jabiri al-Mutaqaddam
(2011). Menurutnya, novel al-Zayni Brakat merupakan kritik politik Mesir
tahun 1960-an dan 1970-an oleh novelis Jamal ‘Abd al-Nasir dan mengkorelasikan
dengan sejarah akhir Dinasti Mamluk tahun 1517. Mutaqaddam al-Jabiri, "Jamaliyyat al-Ta‘aluq al-Nassi fi Riwayat “al-Zayni al-Barakat”
li-Jamal al-Ghitani," Majallat Kulliyat al-Adab wa-al-Lughat (2011),
2-4, http://fll.univbiskra.dz/images/pdf_revue/pdf_
revue_08/metka
dem%20 djebairi.pdf (diakses
18 Mei 2014).
[22]Akan tetapi Din Wahid membantah argumen
tersebut. Baginya, asumsi tersebut belum bisa diterima oleh akal. Agama adalah
hanyalah salah satu unsur dalam penguatan politik dan politik pun tidak
tergantung pada agama. Adapun yang menyatakan agama adalah penyebab kekalahan
Mesir 1967, hanyalah mengkambinghitamkan agama dalam tujuan tertentu.
Nanang Tahqiq (ed), Politik Islam, 272. John L. Esposito, Islam and Politic, 280.
[27]John L. Posito, Islam and Politics, 287.
[28]K.V. Nagarajan, “Egypt’s Political Economy and the Downfall of the Mubarak Regime,” International Journal of Humanities and
Social Science 10 (2013), 28-29, http://www.ijhssnet.com/journals/Vol_3_No_10_Special_Issue_
May_2013/3.pdf (diakses 2 Nopember 2014).
[30]Maria Cristina Paciello, “Egypt: Changes and
Challenges of Political Transition,” MEDPRO
Technical Report 4 (2011), 1, http://www.iai.it/pdf/
mediterraneo/medpro/medpro-technical-paper_04.pdf (diakses 2
Nopember 2014).
[33]
Abu Ghazzah, Musim Semi Revolusi
Dunia Arab; Success Story Partai Kebebasan dan Keadilan Sayap Politik Jamaah
Ikhwanul Muslimin (Jakarta: Maktaba Gaza, 2012), 158-159.
[34]Sally Khalifa Isaac, “Egypt’s
Transition: How is it under Brotherhood Rule?,” ISPI-Analysis
138 (2012), 1, http://www.ispionline.it/
sites/default/files/pubblicazioni/analysis_138_2012.pdf (diakses 2
Nopember 2014).
[35]Jannis Grimm and Stephan Roll, “Egyptian
Foreign Policy under Mohamed Morsi; Domestic Considerations and Economic Constraints”, SWP Comments 35 (2012), 1, http://www.swp-berlin.org/fileadmin/contents/
products/comments/2012C35_gmm_rll.pdf (diakses 2 Nopember 2014).
[36]Salma Ikram, “Cultiral Heritage in Times
of Crisis: the View from Egypt.” Journal of Eastern Mediterranean
Archaeology & Heritage Studies 1 (2013), 336 dan 371, http://jstor.org/stables/10.5325/jeasmedarcherstu.1.4.0366
(diakses 2 Juni 2014).
[37]Abu Ghazzah, Musim Semi Revolusi Dunia
Arab, 140-141.
[38]John L. Esposito, The Iranian
Revolution Its Global Impact (U.S.A: Florida International University Press
Miami, 1990), 41-42. Akhmad Satori, Sistem Pemerintahan Iran Modern; Konsep
Wilayatul Faqih Imam Khomeini sebagai Teologi Politik dalam Relasi Agama dan
Demokrasi (Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2012), 203.
[39]Akhmad Satori, Sistem Pemerintahan Iran
Modern, 203-204.
[40]John L. Esposito, Political Islam:
Revolution, Radicalisme, or Reform? (London: Lynne Rienner Publishers, 1997), 7.
[41]Abu Ghazzah, Musim Semi Revolusi Dunia
Arab, 146.