Kamis, 15 Januari 2015

KEDUDUKAN AGAMA DALAM PENGEMBANGAN POLITIK

KEDUDUKAN AGAMA DALAM PENGEMBANGAN POLITIK
(Pasang Surut Politik Islam Mesir dan Beberapa Negara Arab lainnya)

Muhammad Isya
Nim.: 13.2.00.0.06.01.0065
Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
E-mail: Muhammadisya92@gmail.com
Abstrak
Islam sangat berpengaruh dalam kehidupan politik. Makalah yang singkat ini membuktikan bahwa banyak peran Islam dalam politik Arab khususnya Mesir. Mulai dari pemerintahan Jamal ‘Abd al-Nasir hingga Muhammad Mursi membuktikan banyaknya peranan Islam dalam kemajuan dan mengendalikan politik, karena memang antara agama dan politik adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, seperti pendapatnya Sukron Kamil, John L. Esposito dan Hafidz Abdurrahman. Meskipun terjadi pasang surut di perpolitikan Islam Arab, tetapi sebuah prestasi juga bahwa politik Islam di beberapa negara Arab mulai membaik. Tampaknya adalah pandangan keliru bagi yang menyatakan bahwa keberadaan Agama dalam politik hanya mempersempit kedudukan Agama seperti pendapatnya Khamami Zada dan Arief R Arofah, serta Taha Husain yang menyatakan agama dan politik harus dipisahkan karena pada masa silam keduanya tidak pernah disatukan.

Kata kunci:
Islam, Politik Mesir, Tunisia, Iran, Maroko.

A.   Islam dan Politik
Meskipun konsep agama dan dan politik mendapat pertentangan dalam penyatuannya,[1] tetapi banyak capaian yang gemilang setelah agama masuk ke ranah politik. Hal ini disebabkan karena Islam dan Politik tidak bisa dipisahkan. Agama membutuhkan politik dalam penerapannya dan politik pun butuh agama sebagai pengendalinya. Sebagimana yang dikutip oleh Sukron Kamil pendapat al-Mawardi, adanya kekuasaan di tangan Muslim akan melahirkan pemeliharaan terhadap agama, pengelola terhadap kebutuhan manusia.[2]
Sejarah Islam juga mencatat bahwa agama dan negara tidak bisa dipisahkan. Bahkan, terhadap zaman keemasan Islam atau yang menjadi puncak peradaban Islam yaitu periode Abbasiyah memakai gelar raja adalah wakil Allah (khalafah Allah). Berbeda dengan zaman sebelumnya memakai nama wakil Nabi (khalifah al-Nabi). Adalah hal yang wajar jika agama tidak bisa dipisahkan dari politik dan begitu pula sebaliknya. Berbeda dengan ide sekularisme Barat yang menentang pendapat tersebut, agama dan politik harus dipisahkan.[3]
John L. Esposito menyimpulkan bahwa semakin agama dan negara disatukan, khususnya negara berlandaskan shari‘at Islam, semakin menjamin kesatuan umat. Seterusnya Islam terbukti menjadi agama pengendali dari perpolitikan. Bahkan, pada sejarahnya bangsa Arab yang belum bersatu dan hidup dalam kefanatikan suku pasca Jahiliyah, justru Islam mampu menyatukan keberagaman tersebut.[4] Misalnya Mekkah sebelum Islam, sistem politiknya berdasarkan pada status sosial, terutama kekayaan dan kedudukan. Belum lagi dengan politik Arab Selatan yang memakai sistem monarki, kekuasaan diturunkan berdasakan pada keturunan. Akan tetapi Islam telah mengubah sistem tersebut dan menjadi pembaru khususnya bagi politik Arab.
Muhammad SAW. Hijarah ke Madinah pada tahun 622 M. Mulai dari tahun itu politik mulai bangkit. Antara sesama masyarakat pun terjadi kontak sosial yang baik. Meskipun masyarakat terbagi dalam tiga kelompok, yaitu muslimin, Arab non-Muslim dan Yahudi, tetapi ikatan persaudaraan diantara mereka terjalin dengan baik. Salah satu faktornya adalah adanya perjanjian dalam kebebasan beragama yang dibuat bersama Rasulullah.
Adapun perjanjian tersebut dikenal dengan sebutan “piagam Madinah”. Terkait dengan perpolitikan, penekanan yang paling utama pada piagam tersebut adalah konsep keadilan. Sebuah konsep yang menyatukan masyarakat, terlebih pada penegakkan hukum yang tidak pandang bulu. Seterusnya pada penekanan terhadap demokrasi, menjadi hak dan persamaan pada setiap individu. Terakhir, penjanjian itu juga mengadung konsep musyawarah, menjadi hal utama yang dalam mengambil keputusan.[5]
Tidak hanya di Arab, di negara non-Arab pun Islam mempengaruhi politik. Kasus Australia misalnya. Pada awalnya, negara ini menganut ideologi monokulturalisme sehingga agama Islam pun sebagai minoritas harus mendapat perlakuan deskriminatif dari masayarakat dan pemerintah. Padahal dalam sejarahnya, Islam banyak memberikan sumbangsih di dalam kemajuan negara itu, seperti dalam pembukaan lahan pertanian dan transfortasi onta oleh orang-orang Pakistan. Hingga mulai tahun 1972 pemerintah menerapkan kebijakan Multikulturalisme. Dampaknya terciptanya kerukunan di antara masyarakat Australia. Walaupun mereka hidup berdampingan dan menganut ideologi Multikulturalisme, tetapi tidak mempengaruhi identitas Muslim mereka.[6]
Jelas sekali ada hubungan antara agama dan politik dari contoh di atas, sebagaimana juga Rasulullah kepala negara di samping ia seorang Nabi. Oleh sebab itu, agama haruslah diterapkan dengan melalui politik untuk mengatur manusia.[7] Menurut Hasunuddin Yusuf Adnan, pemaknaan ayat Quran surat Ali ‘Imran ayat 103 (Berpegang teguhlah kamu pada tali (agama) Allah dan jangan bercerai-berai...) adalah perintah Allah untuk manusia agar memperkuat posisinya di dalam satu wilayah atau negara. Sementara menurut politik Islam, manusia adalah khalifah dimuka bami yang berkuasa sebagai penerus kenabian.[8]
Tidak bisa dipungkuri bahwa politik di Mesir banyak dipengaruhi oleh pemikiran tokoh-tokoh Islam Fundamentalis. Seperti Jamal al-Afghani, Rashid Rida, Muhammad ‘Abduh, Hasan al-Bana, dan lain-lain. Melihat dari perpolitikan Mesir mulai presiden Jamal ‘Abd al-Nasir sampai Muhammad Mursi, terlihat yang banyak memberikan pengaruh adalah peranan organisasi Islam Ikhwan al-Muslimin yang didirikan oleh Hasan al-Bana 1928 M.[9] Sebagai pria asal Mesir, tentunya terhadap polemik politik dan agama Mesir sudah diketahaui olehnya. Kesehariannya memang orang yang cinta dan mempunyai semangat yang tinggi terhadap ilmu. Lingkungan yang mendukung, yaitu perpustakaan milik ayahnya, Shaykh Ahmad, menjadi pemicu semangatnya, baik buku yang berkenaan dengan fikih dan sejarah Nabi dan sahabatnya. Sehingga sejarah Rasulullah yang meragkap dua jabatan, kepala negara dan Nabi, menjadi pijakan pada ideologi yang ia anut. Sehigga organisasi yang ia dirikan adalah bentuk solusi yang ia berikan dalam menghadapi problema yang ada. Politik Mesir yang banyak mengadopsi ide-ide politik Barat dan ide Islam dianggap tidak relevan lagi kehidupan politik Modern menjadi pemicu organisasi yang ia dirikan. Menurutnya, dakwah harus masuk ke seluruh aspek kehidupan, baik dari segi ‘aqidah, mua‘amalah, akhlak, dan bentuk kehidupan sosial lainnya. Dalam perpolitikan, dalam konsep tentang nasionalisme dan patriotisme sangat mendukung, asalkan kedunya berlandaskan iman kepada Allah SWT. Ada tiga prinsip pemerintahan Islam yang ia tawarka, yaitu: penguasa harus bertanggung jawab terhadap Allah dan rakyat, umat harus bersatu agar kokoh dan pemimpin harus menghormati masyarakat.[10]
Kemudian tidak heran juga jika Mesir banyak mengadopsi ide-ide Barat, hal ini disebabkan juga oleh peran pemikiran tokoh-tokoh pada masa sebelumnya, seperti Taha Husain, ‘Abd al-Raziq, Ahmad Lutfi Sayyid dan lain-lain. Taha Husain (1889-1973) misalnya,  sebagai pria kelahiran Mesir, pemikirannya banyak mengadopsi dari ide-ide politik Barat untuk membangun politik Mesir. Adalah hal yang wajar jika ia memiliki pemikiran yang cenderung ke Barat, karena dalam pendidikannya pernah kuliah di Prancis. Pada dasarnya, ia tidak setuju jika Islam dan politik disatukan, karena pada masa Rasulullah dan sahabat kedua hal ini tidak pernah disatukan.[11] Bahkan ia berasumsi bahwa kemajuan yang ada di Mesir diakibatkan Mesir mengadopsi ide-ide politik Barat. Baginya, Mesir harus beryukur dengan adanya ide-ide tersebut, karena Mesir akan membutuhkan waktu yang lama dalam mencapai ide-ide tersebut. Husain dalam hal ini bukanlah mengambil semua ide Barat lantas langsung menerapkan dalam perpolitikan Mesir, justru dalam hal ini ia menyaringnya terlebih dahulu, memilah dan memilih.[12] Meskipun banyak yang menklaim dirinya terlalu banyak mengadopsi pemahaman Barat, akan tetapi dalam persoalan pembenahan pendidikan Mesir, Husain banyak memberikan kontribusi. Jika selama ini tidak adanya kesetaraan dalam persoalan pendidikan di Mesir, dalam hal ini Husain membuat kesetaran itu. Sehingga tidak ada perbedaan antara orang tua dan muda, miskin da kaya dalam persoalan mendapatkan pendidikan.[13]

B.   Dunia Arab dan Politik: Pasang Surut Politik Islam Mesir
Setelah perang dunia II, bangsa Arab adalah bangsa yang krisis dalam perpolitikan. Krisis itu menjumpai rata-rata di sejumlah negara Arab khususnya pada periode 1948-1970-an. Sistem pemerintah yang masih monarki memicu terjadinya usaha pembunuhan di Maroko, perang civil di Jordan, pemberontakan di Oman. Bahkan, hal serupa terjadi di Arab Saudi, sebuah negara yang paling stabil, akan tetapi pembela King Faisal dibunuh. Belum lagi yang terjadi di Mesir, Syiria, Irak, dan perang civil di Libanon.[14]
Belum lagi melihat realitas perpolitikan Mesir modern, Seperti kudeta yang dilakukan oleh tentara pada tahun 1952 yang membuat negara Mesir mengalami revolusi pada tahun itu. kemudian Pada tahun 1953, pemerintah al-Nasir membubarkan semua partai politik agar ia mendapatkan dukungan dari masyarakat. Kemudian dibuatlah Organisasi Pembebasan yang dipimpin oleh Nasir sendiri. Seterusnya pada tahun 1970 puncak pimpinan digantikan oleh Anwar Sadat. Sistem juga ikut berubah, yaitu pemerintah membentuk lagi partai politik.[15] Kesimpulan A. R. Zainuddin mengatakan perpolitikan di Mesir sendiri hingga 1971 memang belum berjalan dengan baik.[16]
Anthony F. Lang J.R. yang meneliti peristiwa politik Mesir sejak 1919 hingga sekarang, menyimpulkan bahwa politik konstitusional yang terjadi di Mesir ternyata terjadi juga di tempat yang lain. Kemudian penyebab munculnya konstitusi itu diakibatkan dari proses politik yang kontroversial, sesama elit politik saling mempromosikan dirinya demi kepentingan pribadi.[17] Jadi, sangat menarik kesimpulan Benno Torgler dan Bruno S. Frey bahwa sepanjang perjalanan sejarah, sejumlah politisi di dunia ini banyak yang dibunuh.[18]
Udjang Tholib mengutip pendapat P.M. Holt (ed) yang menyatakan bahwa politik Islam terkenal dengan kekejaman di dunia Barat. Terjadinya pembantaian, perperangan pertumpahan darah telah menjadi penyebab kerusakan yang besar terutama pada dunia kesenian. Padahal yang terekam oleh Barat hanyalah satu sisi. Banyak sisi positif yang belum dilihat oleh Barat. Harus diakui bahwa kemajuan peradaban Islam merupakan sumbangsih dari kebudayaan Arab.[19] Untuk itu, berikut ini akan dijelaskan suasana politik Arab, khususnya Mesir yang pasang surut mulai dari pemerintahan al-Nasir hingga Mursi.

1.     Jamal ‘Abd al-Nasir
Meskipun secara global perpolitikan Arab itu bermasalah, akan tetapi secara spesifik hal tersebut berbeda dengan asumsi Din Wahid. Menurutnya, mulai tahun 1950-an perpolitikan Mesir mendapatkan titik terang, sebagai akibat dari munculnya organisasi Islam. Tegasnya, organisasi ini merupakan pergerakan fundamentalis Islam. Ikhwan al-Muslimin misalnya, organisasi ini merupakan organisasi yang berpengaruh terutama pada perpoltikan Mesir. Hal tersebut terlihat adanya kerjasamanya dengan presiden Jamal ‘Abd al-Nasir pada tahun 1952. Pasalnya, al-Nasir sendiri yang membuat kesepakan tersebut, guna mendapatkan dukungan politik pada pemerintahannya yang baru.
Tidak hanya Ikhwan al-Muslimin, di Mesir terdapat lagi dua organisasi Islam yang berpengaruh terutama masa pemerintahan sesudah al-Nasir, yaitu Organisasi Pembebasan Islam (Munazzamah al-Tahrir al-Islami) dan Jamaah Islam (Jama‘ah al-Muslimin). Terlihat bahwa besar andil dari organisasi Islam dalam mewarnai perpolitikan Mesir, khususnya yang menjadi tujuan mereka adalah menegakkan kembali ajaran Islam di sana.
Pada awal pemerintahannya, al-Nasir banyak membuat prestasi bagi revolusi Mesir. Peran politik di kekuasaannya mampu membuat diplomasi dengan penjajah Inggris pada Oktober 1954. Dampak dari diplomasi tersebut, Inggris terpaksa menarik kembali pasukannya dua tahun setelahnya, yaitu Juli 1956. Artinya, secara kinerja, al-Nasir telah mengukir kemajuan bagi perpolitikan Mesir. Terutama dalam pembebasan Mesir dari tangan penjajah Inggris dan melepaskan diri dari campur tangan asing di negaranya.[20]
Mulai pada tahun 1950-an, penulis mengakui bahwa Mesir mengalami revolusi. Akan tetapi, mulai pada tahun 1967, krisis politik terulang kembali. Dimana, pada tahun itu adalah kekalahan Mesir terhadap Israel. Bahkan sebagai pengamat sastra Arab, penulis berkesimpulan bahwa novel al-Zayni Barakat merupakan kritikan politik novelis Jamal al-Ghitani terhadap pemerintah kedua Mesir Jamal ‘Abd al-Nasir. Pasalnya, pemerintah telah gagal mempertahankan Mesir pada tahun 1967, karena pemerintah hanya menfokuskan pada internal Mesir saja dan lupa dengan serangan eksternal.[21]
Krisis politik seperti yang telah diungkapkan, ada yang berpendapat bahwa faktor utamanya adalah pemerintah yang tidak berpegang teguh dengan aturan agama dan budaya. Seperti pendapatnya J.J.G. Jansen sebagaimana yang dikutip oleh Din Wahid. Menurutnya, karena pemerintah yang terlalu banyak menyerap budaya Barat dan melupakan budaya Timur khususnya Islam, sehingga berakibat pada kekalahan. Hal itu disebabkan karena agama sangat berperan aktif dalam kehidupan politik dan menjadi penguat dalam kehidupan berbangsa.[22]
Pria kelahiran tanggal 15 Januari 1918 digambarkan sebagai sosok yang nasionalis dan banyak berjuang bagi rakyat Mesir. Apalagi ia memang seoarang milter yang berpangkat Mayor yang pernah berperang melawan Israel untuk Mesir pada tahun 1948. Ia memimpin lagi pada perperangan melawan raja Farouk 1 tahun 1952. Akan tetapi, pada perperangan enam hari melawan Israel pada tahun 1967 al-Nasir harus mengakui kekalahannya dengan menarik kembali pasukannya. Hingga tahun 1970 ia mencoba memimpin kembali perperangan itu, tapi harus menerima kekalahan lagi dan tanggal 28 September 1970, dua minggu setelah peperangan, ia menembus nafas terakhir karena serangan jantung.[23]

2.     Anwar Sadat (1970-1981)
Setelah pemerintah kedua Mesir Jamal ‘Abd al-Nasir meninggal dunia, kepala pemerintahan digantikan oleh Anwar Sadat mulai tahun 1970. Pada tahun itu juga kekuasaannya masih memakai sistem yang ditetapkan oleh al-Nasir. Mulai satu tahun berikutnya 1971, ia mulai menegaskan kebijakannya. Misalnya, dengan melawan pendukung al-Nasir dengan dalih koreksian pada revolusi Arab.
Sama kasusnya dengan presiden sebelumnya, Sadat juga menjalin hubungan baik dan kuat dengan organisasi Ikhwah al-Muslimin. Sangat wajar ia dijuluki dengan pemerintah yang taat beragama. Kemudian yang menarik ketika kekuasaannya, agama terlihat lebih ditekankan. Seperti peningkatan pembelajaran Agama pada sekolah-sekolah dan universitas pemerintah, serta memberi fasilitas yang baik terhadap perluasan yang terkait dengan program tersebut. Belum lagi dengan perizinan terhadap tarekat-tarekat sufi untuk dikembangkan secara umum. Masih banyak pehatiannya terhadap Islam dalam bentuk lain, seperti menggaji petugas keagamaan. Maka tidak heran lagi jika masyarakat menjuukinya dengan “Presiden Mukmin.”[24]
Pada tahun 1973, Sadat mengerahkan pasukan dan memimpin pererperang menghadapi Israel. Tiga tahun sebelumnya perperangan tersebut dipimpin oleh presiden kedua Mesir dengan kekalahan. Berbeda halnya dengan perperangan ini. Mesir meraih kemenangan padahal peperangan itu di bulan Ramadhan. Maka oleh rakyat Mesir, Sadat menadapat julukan pahlawan Mesir.
Organisasi Ikhwan al-Muslimin tampaknya menjadi sebuah oraganisasi yang berpengaruh khususnya dalam bidang politik sampai pasca pemerintahan ini. Pasca sebelumnya, yaitu al-Nasir, organisasi ini pernah dikecam sebagai organisasi kontra pemerintah. Puncaknya adalah pada tanggal 26 Oktober 1954, yaitu dituduh dalam usaha pembunuhan al-Nasir, hingga bayak dari pembesar organisasi ini mendapat hukuman pejara.[25] Inilah permainan politik, bisa saja yang tidak bersalah dikecam sebagai bersalah jika itu bertentangan dengan pemerintah. Dalam permainan politik, adalah hal yang wajar jika dipenjara dan diusir dari tahan kelahirannya. Buktinya pada pemerintahan Sadat, semua tahanan dari tokoh Organisasi tersebut dibebaskan dan  mereka yang terusir dipanggil kembali.[26]
Adanya pembebasan tokoh Organisasi Ikhwan al-Muslimin tersebut untuk kekuatan pemerintah dalam menghadapi pro al-Nasir. Tidak hanya pembebasan saja, bahkan pemerintah memberi izin dan mendorong pembentukan organisasi Islam lainnya untuk mengantisipasi doktrin-doktrin yang bermunculan dari pro al-Nasir. Hal tersebut berdampak pada banyaknya organisasi yang menjadi pemimpin di kemahasiswaan Universitas al-Azhar mendekati tahun 1979.
Terlihat pada masa ini adalah masa kemegahan Islam di Mesir. Islam masuk ke semua sistem, apalagi sistem politik. Tentunya memberikan kekuatan pada agama. Jumlah jamaah di Masjid makin bertambah, corak pakaian Islam pun mulai terlihat, rekaman kaset kajian Islam juga beredar dimana-mana, dan organisasi Islam tumbuh pesat. Akan tetapi, mulai tahun 1977, terjadi lagi ketegangan dimana sebagian organisasi tersebut menuntut kebebasan dan rekonstruksi agama secara substantif. Akibatnya, Sadat bersifat otokratif.
Mulai dari tahun itu juga pada bulan Januari 1977, Mesir dilanda krisis bahan makanan. Akan tetapi, pemerintah tidak bijak dalam mengambil keputusan pada waktu itu. Pemerintah memilih bekerjasama dengan Israel dalam impor bahan makanan. Sebagai mana diketahui bahwa Israel adalah kaki tangannya Amerika, sehingga Mesir pun makin terpuruk. Hasil produksi Mesir diambil dan para buruh Mesir hanya mendapatkan makanan yang bersubsidi. Akibat dari peristiwa tersebut, terjadi demontrasi besar-besaran agar presiden Sadat diturunkan. Termasuk organisasi Islam Ikhwan al-Muslimin mulai tahun 1979 terlibat juga dalam aktivitas tersebut.  Pasalnya, organisasi Islam mengecam bahwa tindakan yang dilakukan oleh Sadat adalah pengkhianatan terhadap rakyat Mesir.[27]

3.     Husni Mubarak (1981-2011)
Husni Mubarak dilantik menjadi presiden mulai pada tanggal 14 Oktober 1981. Pada saat itu ia dengan tegas mengataka “aku bukanlah Jamal ‘Abd al-Nasir dan aku juga bukanlah Anwar Sadat, tetapi aku adalah Husni Mubarak”. Pada awal pemerintahannya, merupakan angin segar bagi rakyat Mesir. Banyak tahanan tokoh politik pada masa rezim Sadat dibebaskan, organisasi-organisasi pun diberi izin untuk menjalankan programnya. Terutama sekali pemerintah baru ini mencoba memecahkan krisis ekonomi dengan cara mengumpulkan semua ekonom Mesir.[28]
Pertemuan tersebut berlangsung selama tiga hari, namun tidak ada rincian tentang diskusi muncul. selain dari pertemuan resmi, ada debat terbuka tentang arah kebijakan ekonomi baik di dalam dan di luar lingkaran pemerintah. Perekonomian pada 1970-an itu tergantung pada aliran pendapatan rente dari Suez biaya Canal, minyak bumi ekspor, pengiriman uang dari pekerja Mesir ekspatriat dan bantuan luar negeri. Kapitalis Mesir pun  terfokus pada energi spekulasi dan investasi dalam skema keuntungan yang cepat, seperti impor konsumen dan real estate
konstruksi pada tahun 1974, tetapi tidak memiliki dampak pada rezim Sadat. Kemudian pada tahun 1982, mereka bertemu
dengan nasib yang sama seperti tahun 1974.
Sangat besar pengaruh organisasi Islam dalam petumbuhan politik Mesir. Meskipun Keterpurukan ekonomi mulai memburuk pada 1980-an dan memuncak pada 1990-an, akan tetapi kekuatan politik mulai menyelaras pada tahun 1987 ketika organisasi Ikhwah al-Muslimin bersekutu dengan Partai Aksi Sosial, The National Progressive Unionist Party (NPUP). Mereka menyerukan pemulihan 'sosialisme’ (di negara kapitalisme). NPUP dan partai aksi sosial lainnya bersama-sama mewakili industri pekerja, petani kecil dan pekerja sektor publik. Jumlah mereka relatif kecil dan tidak memiliki pengaruh. Sangat berbeda dengan organisasi Islam jauh lebih besar dan lebih berpengaruh, karena organisasi Islam merupakan wadah yang menampung keluhan masyarakat. Misalnya, pada pemerintahan sebelumnya banyak sistem yang bertentangan dengan rakyat, rakyat pun menjadikan organisasi Islam sebagai media untuk menyuarakan keluhan mereka. Padahal di parlemen didominasi oleh National Democratic Party (NDP).[29]
Pada 11 Februari 2011, Presiden Husni Mubarak mengumumkan pengunduran dirinya dan menyerahkan pemerintahan Mesir kepada militer yang berjanji untuk bekerja menuju transisi ke rezim baru setelah ia mengabiskan waktu tiga puluh tahun di pemerintahan.[30] Peristiwa penting ini, berikut seperti yang terjadi kejatuhan sebelumnya Presiden Ben Ali dari Tunisia, telah banyak bersorak dan merayakan di Mesir serta seluruh dunia. Protes jalanan dan demonstrasi non-kekerasan dengan cepat menyebar ke negara-negara lain di Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA). Momen ini pun kerap disebut "Musim Semi Arab.” Adapun bentuk protes tersebut adalah penyeruan transisi dari kediktatoran ke demokrasi, karena pada sebelumnya telah terjadi dengan korupsi yang merajalela, meningkatnya kesenjangan ekonomi dan kenaikan yang signifikan terhadap harga pangan. [31]
Menurut Maria Cristina Paciello, ada banyak faktor yang menjadi penyebab melemahnya oposisi politik dan membuat Mubarak diturunkan. Misalnya, adanya penolakan untuk melegalkan ikatan-ikatan dan organisasi-organisasi yang dapat mengancam rezim; adanya manipulasi pemilu. Selain itu, adanya undang-undang darurat yang dimulai sejak tahun 1981, disajikan untuk melarang pemogokan, menyensor surat kabar dan membatasi kegiatan apapun atas nama nasional keamanan.[32]

4.     Muhammad Mursi
Sebagai negara yang melahirkan tokoh pendiri Ikhwan al-Muslimin, Mesir mendapati kemenangan partai Islam setelah Mubarak diberhentikan. Dari total penduduknya 85 juta jiwa, sebanyak 60% penduduknya berpartisipasi dalam pemeilihan umum kali itu. Angka yang berbeda pada pemilihan umum yang sebelumnya, yaitu 15%. Partai Kebebasan dan Keadilan mampu meraih kemenangan dan menjadi kemajuan bagi politik Islam walaupun mereka dinilai dengan sebuah kelompok yang radikal atau asumsi negatif lainnya.[33]
Pemilihan calon Ikhwan al-Muslimin, Muhammad
Mursi, sebagai sipil pertama Mesir terpilih sebagai Presiden pada bulan Juni 2012, tampaknya tidak membawa transisi Mesir berakhir. Morsi, yang memenangkan pemilu dengan sedikit lebih dari 50% suara, memiliki banyak lawan polikus pemerintahannya, terutama pada dua bulan terakhir. Presiden baru ini umumnya disukai disukai oleh rakyat karena berbicaranya yang spontan, terlihat seperti orang yang jujur dan mempunyai niat baik untuk reformasi dan pembangunan Mesir. Namun, mengutip pendapat
Sally Khalifa Isaac, ia mempunyai tantangan besar dari non-Islam. Sejak ia terpilih menjadi Presiden, banyak memicu kritikan pasukan non-Islam yang menuduhnya "Ekhwanizing" negara (mengikhwahkan negara Mesir), membungkam kritik, dan tegas mengkonsolidasikan otokrasi baru dari ideologi agama.[34]
Tampaknya asumsi di atas berbeda dengan pendapat Jannis Grimm and Stephan Roll (2012), menurutnya Sejak menjabat, Presiden Muhammad Mursi telah jelas bebeda dari Husni Mubarak, sebagaimana tercermin dalam dua kecenderungan: menegaskan peran kepemimpinan regional untuk Mesir dan kebijakan luar negeri pembukaan Kairo untuk mitra potensial baru. Meskipun Mursi berasal dari Islam Ikhwan al-Muslimin, kebijakan luar negerinya tidak salah satu dari reorientasi ideologis mendasar. Sebaliknya, ia berusaha untuk meningkatkan dukungan rakyat melalui aktivisme politik luar negeri. Dapat dikatakan kurangnya keberhasilan dalam kebijakan ekonomi dan sosial.[35]
Sejak tanggal 25 Januari 2013, Mesir telah mengalami kerusuhan dan konflik yang terjadi dimana-mana, terutama yang terjadi pada bulan Januari 2014. Hal yang menjadi perhatian adalah banyaknya kerugian yang terjadi akibat dari konflik tersebut. Tentunya, konflik tersebut akan berpengaruh pada ekonomi Mesir. Belum lagi dengan cagar budaya dan kesenian yang hancur akibat peristiwa itu.[36]

Politik Arab Masa Kini
Bisa dikatakan bahwa terjadi penghijauan politik di dunia Arab sekarang. Banyak perkembangan politik di Arab yang diraih sebagai wujud dari sebuah kemajuan. Bisa dilihat capaian itu dari pimpinan yang berasal dari Islam yang kian meningkat. Berikut ini akan disajikan negara-negara Arab yang dikuasai oleh partai politik Islam, diantaranya:
1)        Tunisia
Untuk pertama kalinya sistem demokrasi diadakan di Tunisia. Setelah Zaenal Abidin bin Ali dicopot dari jabatannya, di Tunisia diadakan pemilu. Sebelum-sebelumnya para pengamat banyak yang memprediksikan bahwa akan terjadi kemenangan partai Islam. Hingga pada kenyataannya tidak jauh berbeda dengan prediksi itu. Salah satu partai Islam meraih kemajuan, yaitu partai Hizb Harakah Nahdhah atau Partai Gerakan Kebangkitan. Partai tersebut memperoleh suara 40% dari seluruh suara pemilih. Faktor dominan kemenangan tersebut ialah mampu berkoalisi dengan partai Islam lainnya bahkan terhadap partai Liberal sekalipun. Capaian ini menunjukkan bahwa adanya semangat baru dari rakyat Tunisia sendiri untuk sebuah kebangkitan dan perubahan.[37]
2)      Iran
Revolusi politik Iran sekarang ini tidak bisa terlepas dari peran ulama besar sekaligus pimpinan revolusi Islam yaitu Ayatullah Imam Khomeini. Dialah yang menetapkan ide Wayatu al-Faqih (pemerintahan faqih) yaitu kekuasaan harus berada di tangan orang yang faqih (dipercaya). Misalnya, untuk memilih pemimpin (Wali al-Faqih) ia harus mendapatkan pengesahan terlebih dahulu dari Wayatu al-Faqih.[38]
Pada awalnya, ideWayatu al-Faqih merupakan ide yang berasal dari kaum Shi‘ah. Sedangkan Khomeini mengembangkannya ke dalam sistem politik. Terlihat bahwa ide yang ia kembangkan itu berhasil, karena mampu menggabungkan antara agama dan politik. Akan tetapi perpolitikan itu menurutnya harus dibatasi menurut hukum Islam. Sekarang pun kita melihat di pemerintahan, negara ini adalah negara yang kuat.[39] Terlihat mulai pada tahun 1990-an hingga sekarang bahwa Iran merupakan negara Islam penguasa.  Berbeda dengan asumsi negara Amerika, katanya negara tersebut menganut faham Islam Radikal dan negara sarang teroris. Bahkan ia mengatakan ia juga mengatakan bahwa negara Iran selain dari sarang teroris ia juga sebuah negara yang otoriter.[40]
3)      Maroko
Di Maroko, sebuah capaian yang luar biasa diraih oleh partai politik Islam. Sebagaimana hasil pengumuman pemilu tanggal 27 November 2011 menyebutkan bahwa partai Islam Hizb al-‘Adalah wa-al-Tanmiyah atau Partai keadilan dan Pembangunan adalah partai pemenang. Pasalnya, partai tersebut memperoleh 107 kursi di pemerintahan dari total 395 kursi. Sekjen partai tersebut juga menambahkan bahwa partai tersebut tetap akan berkoalisi dengan partai lain agar terciptanya suatu kekuatan politik di Maroko.[41]

Kesimpulan
Kedudukan Agama dalam perpolitikan sangat besar peranannya. Agama butuh pada politik dalam mengembangkan dakwahnya dan sebaliknya politik butuh Agama sebagai pengendali dan kemajuannya. Pada pasca pemerintahan Jamal ‘Abd al-Nasir di Mesir, terlihat bahwa Islam berperan aktif dalam politik, terutama dari Organisasi Islam yang menjadi hal yang diperhitungkan untuk kedudukan pemerintah yang baru. Terbukti pemerintah yang dijalankan mulai bagus. Bahkan kemunduran Mesir pada akhir jabatan al-Nasir akibat adari melupakan nilai Islam dan terlalu banyak mengadosi budaya Barat.
Seterusnya pada masa Anwar Sadat, Islam juga menjadi faktor terhadap kemajuan politik. Sebaliknya Islam mulai berkembang karena sudah masuk ke semua sistem, terkhusus pada sistem sekolah dan universitas. Begitu juga yang terjadi pasca Husni Mubarak, Organisasi Islam menjadi pengendali dalam sistem pemerintah. Ketika aspirasi rakyat Mesir tidak diterima oleh pemerintah, rakyat menjadi Organisasi Islam khususnya Ikhwah al-Muslimin sebagai penyampai aspirasinya. Belum lagi dengan masa Presiden Muhammad Mursi yang memang tokoh dari Ikhwan al-Muslimin tentu banyak memberikan sumbangsih terhadap kemajuan politik Mesir walaupun akhirnya ia di turunkan akibat dari beratnya tantangan dari lawan politiknya.
Walaupun banyak kemajuan politik pengaruh dari Agama, akan tetapi terlihat juga politik Islam itu pasang surut dalam perkembangannya. Sebagian besarnya akibat dari penganutnya sendiri. Politik pasca Al-Nasir menjadi mundur akibat dari pemerintah terlalu banyak mengadopsi budaya Barat dan melupakan identitas Islam. Kemudian Anwar Sadat dibunuh akibat pengkhianatannya terhadap rakyat Mesir karena bekerjasama dengan Isreal dalam urusan ekonomi.


[1]Khamami Zada dan Arief R Arofah menyatakan seharusnya Islam harus dipisah dari ranah politik, karena akan mempersempit dan terbatas hanya pada kelompok tertentu. Berpolitik dengan memakai dalih agama hanya menimbulkan pertentangan. Lihat Khamami Zada dan Arief R Arofah, Diskursus Politik Islam (Jakarta: LSIP, 2004), 6-8.
[2]Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik; Agama dan Negara, Demokrasi, Civil Society, Syariah dan HAM, Fundamentalis, dan Antikorupsi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 3-4.
[3]Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik; Agama dan Negara, Demokrasi, Civil Society, Syariah dan HAM, Fundamentalis, dan Antikorupsi, 6-8.
[4]Untuk lebih jelasnya lihat John L. Esposito, Islam and Politics (New York: Syracuse University Press, 1985).
[5]Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), 17-22.
[6]Untuk lebih jelasnya, lihat penelitian disertasi Amin Nurdin (dosen fakultas Ushuluddin UIN Syarih Hidayatullah Jakarta) tentang Muslim minoritas di Australia. Amin Nurdin, Pergulatan Kaum Muslim Minoritas; Islam Versus Multikulturalisme dan Sekularisme (Jakarta: Ushul Press, 2009), 1-237.
[7]Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik Spiritual (Bogor: al-Azhar Press, 2007), 202.
[8]Soraya Devy (ed), Politik dan Pencerahan Peradaban (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), 122.
[9]Peter Woodward, review of Islam in Contemporary Egypt: Civil Society vs. the State, by Denis J. Sullivan; Sana Abed-Kotob, The Journal of Modern African Studies 2 (2000), 343, http://www.jstor.org/stable/161666 (diakses 22 Desember 2014).
[10]Lihat Tesis Syahrial, Pembaharuan Pemikiran Hasan al-Banna dalam Islam (Jakarta: Sekolah Pascasarajana UIN Syarif Hidayatullah, 1995), 98-110. Bisa juga dilihat di Disertasi S. Noor Chozin Sufri, Hasan al-Banna Tokoh Dakwah di Mesir  (Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 1999), 26, 111-126.
[11]Padahal argumen tersebut sudah dibantah, karena melihat dari Nabi Muhammad SAW. selain dari utusan Allah bagi umat manusia, dia juga seorang kepala negara. Artinya pada diri Rasulullah terdapat dua konsep, yaitu agama dan politik berjalan seiring sebagaimana yang dicontohkan. Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik Spiritual (Bogor: al-Azhar Press, 2007), 202. 
[12]John L. Esposito, Islam and Politics, 93-95.
[13]Abdel Fattah Galal, “Taha Hussein (1889-1973),” International Bureau of Education  3 (2000), 1, http://www.ibe.unesco.org/publications/ ThinkersPdf/husseine.pdf (diakses 22 Desember 2014).
[14]Micheal C. Hudson, Arab Politics The Search for Legitimacy (U.S.A: Yale University Press, 1977), 82.
[15]Nanang Tahqiq, Politik Islam, 254-277.
[16]A. R. Zainuddin, Pemikiran Politik Islam Islam, Timur Tengah dan Benturan Ideologi (Jakarta: Pensil-324, 2004), 178.
[17]Anthony F. Lang J.R., "From Revolution to Constitutions: the Case of Egypt," International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1994-) 1 (2013), 1, http://www.jstor.org/stable/23473540 (diakses 2 Juni 2014).
[18]Dalam penelitian tersebut, Benno Torgler dan Bruno S. Frey mengambil sampel 100 negara di dunia selama periode 20 tahun. Benno Torgler dan Bruno S. Frey, "Politicians: be Killed os Survive," Public Choice 156 (2013), 357, http://www.jstor.org/stable/42003163 (diakses 2 Juni 2014).
[19]Nanang Tahqiq (ed.), Politik Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), 72-73.
[20]Micheal T. Thornhill, “Britain, the United States and the Rise of an Egyptian Leader: the Politics and Diplomacy of Nasser’s Consolidation of Power,” English Historical Reiew 119 (2004), 892, ehr.oxfordjournals.org/content/119/483/892.full.pdf+html (diakses 8 Juni 2014).
[21]Pendapat di atas merupakan kesimpulan awal penulis dalam penelitian tesis. Penelitian tersebut mendukung pendapat al-Jabiri al-Mutaqaddam (2011). Menurutnya, novel al-Zayni Brakat merupakan kritik politik Mesir tahun 1960-an dan 1970-an oleh novelis Jamal ‘Abd al-Nasir dan mengkorelasikan dengan sejarah akhir Dinasti Mamluk tahun 1517. Mutaqaddam al-Jabiri, "Jamaliyyat al-Ta‘aluq al-Nassi fi Riwayat “al-Zayni al-Barakat li-Jamal al-Ghitani," Majallat Kulliyat al-Adab wa-al-Lughat (2011), 2-4, http://fll.univbiskra.dz/images/pdf_revue/pdf_ revue_08/metka dem%20 djebairi.pdf (diakses 18 Mei 2014).
[22]Akan tetapi Din Wahid membantah argumen tersebut. Baginya, asumsi tersebut belum bisa diterima oleh akal. Agama adalah hanyalah salah satu unsur dalam penguatan politik dan politik pun tidak tergantung pada agama. Adapun yang menyatakan agama adalah penyebab kekalahan Mesir 1967, hanyalah mengkambinghitamkan agama dalam tujuan tertentu. Nanang Tahqiq (ed), Politik Islam, 272. John L. Esposito, Islam and Politic, 280.
[23]Lihat di Profil Gamal Abdel Nasser Hussein _ Merdeka.com.htm (diakses 20 Juli 2014).
[24]John L. Esposito, Islam and Politic, 276-277.
[25]Nanang Tahqiq (ed.), Politik Islam, 272.
[26]John L. Esposito, Islam and Politics, 278.
[27]John L. Posito, Islam and Politics, 287.
[28]K.V. Nagarajan, “Egypt’s Political Economy and the Downfall of the Mubarak Regime,” International Journal of Humanities and Social Science 10 (2013), 28-29, http://www.ijhssnet.com/journals/Vol_3_No_10_Special_Issue_ May_2013/3.pdf (diakses 2 Nopember 2014).
[29]K.V. Nagarajan, “Egypt’s Political Economy and the Downfall of the Mubarak Regime,33.
[30]Maria Cristina Paciello, “Egypt: Changes and Challenges of Political Transition,” MEDPRO Technical Report 4 (2011), 1, http://www.iai.it/pdf/ mediterraneo/medpro/medpro-technical-paper_04.pdf (diakses 2 Nopember 2014).  
[31]K.V. Nagarajan, “Egypt’s Political Economy and the Downfall of the Mubarak Regime,” 22.
[32]Maria Cristina Paciello, “Egypt: Changes and Challenges of Political Transition, 3.
[33] Abu Ghazzah, Musim Semi Revolusi Dunia Arab; Success Story Partai Kebebasan dan Keadilan Sayap Politik Jamaah Ikhwanul Muslimin (Jakarta: Maktaba Gaza, 2012), 158-159.
[34]Sally Khalifa Isaac, Egypt’s Transition: How is it under Brotherhood Rule?,” ISPI-Analysis 138 (2012), 1, http://www.ispionline.it/ sites/default/files/pubblicazioni/analysis_138_2012.pdf (diakses 2 Nopember 2014).
[35]Jannis Grimm and Stephan Roll, “Egyptian Foreign Policy under Mohamed Morsi; Domestic Considerations and Economic Constraints”, SWP Comments 35 (2012), 1, http://www.swp-berlin.org/fileadmin/contents/ products/comments/2012C35_gmm_rll.pdf (diakses 2 Nopember 2014).
[36]Salma Ikram, “Cultiral Heritage in Times of Crisis: the View from Egypt.” Journal of Eastern Mediterranean Archaeology & Heritage Studies 1  (2013), 336 dan 371, http://jstor.org/stables/10.5325/jeasmedarcherstu.1.4.0366 (diakses 2 Juni 2014).
[37]Abu Ghazzah, Musim Semi Revolusi Dunia Arab, 140-141.
[38]John L. Esposito, The Iranian Revolution Its Global Impact (U.S.A: Florida International University Press Miami, 1990), 41-42. Akhmad Satori, Sistem Pemerintahan Iran Modern; Konsep Wilayatul Faqih Imam Khomeini sebagai Teologi Politik dalam Relasi Agama dan Demokrasi (Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2012), 203.
[39]Akhmad Satori, Sistem Pemerintahan Iran Modern, 203-204.
[40]John L. Esposito, Political Islam: Revolution, Radicalisme, or Reform? (London:  Lynne Rienner Publishers, 1997), 7.
[41]Abu Ghazzah, Musim Semi Revolusi Dunia Arab, 146.