NOVEL SEBAGAI KRITIK POLITIK
(Studi Atas Novel Anak Golda Meir-Pun Memeluk Islam Karya
‘Abd Alla<h ‘I<sa< Perspektif Naratif)[1]
Oleh:
Muhammad Isya
E-mail: muhammadisya92@gmail.com
ABSTRAK
Karya sastra adalah petanda yang memperoleh makna
berdasarkan kesadaran pembaca. Oleh sebab itu, menurut aliran strukturalisme
dinamik, teks sastra perlu dihubungkan dengan unsur ekstrinsiknya (Ratna 2007,
93). Padahal, penelitian dengan menghubungkan teks sastra dengan unsur
ekstrinsiknya akan menimbulkan keraguan. Penelitian sastra dengan pendekatan
intrisiknya saja sudah bisa membuktikan secara empirik objek yang diteliti
(Kamil 2012, 187). Bahkan, menurut Sanusi, teks sastra itu produk bahasa dan tidak
ada kaitannya dengan penulis atau keadaan sosial (Sanusi 2012, 131).
Satu pertanyaan mayor dan tiga pertanyaan minor merumuskan penelitian ini:
Bagaimana gambaran kritik politik ‘Abd Alla>h ‘I<sa> dalam novel Anak
Golda Meir-pun Memeluk Islam? Seperti apa krisis nasionalisme yang melanda
masyarakat Palestina? Sistem politik apa saja yang dianggap menyimpang pada
Mossad dibandingkan PLO? Apakah kesalahan fatal Mossad dalam merekrut agen
sehingga ia kalah dari PLO?
Hanya berdasarkan analisis intrinsik
terhadap novel Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam, penelitian ini mencoba
menyingkap bentuk protes novelis terhadap praktek – praktek Mossad kepada
pemuda Palestina. Mengingat, novel ini diangkat dari kisah nyata berdasarkan
dokumen – dokumen milik Badan Rahasia PLO dan catatan pribadi pengarang sebagai
mantan perwira Badan Intelijen Mesir.
Penelitian ini menggunakan teori plot.
Menurut Tzvetan Todorov (lahir 1939), plot itu biasanya pada situasi awal
cerita yang disajikan itu ricuh, kemudian pada akhirnya, situasi itu
terselesaikan. Penelitian ini juga menggunakan teori oposisi biner yang menurut
Lévi Strauss (1905-2009) bahwa setiap makna di dalam fiksi tergantung pada dua
sifat yang berlawanan. Seterusnya, penelitian ini juga menggunakan teori karakter
perspektif Vladimir Propp (1985-1970). Menurutnya, setiap cerita bisa
dikelompokkan menjadi delapan karakter, yaitu:villian, hero, donor, helper,princess,
false hero, dispatcher dan father (Branston 2003, 32-47).
Situasi ricuh dan pada akhirnya terselesaikan dalam teori
plot adalah krisis nasionalisme pada rakyat Palestina dan pada akhirnya
semangat nasionalisme itu muncul. Nasionalisme ialah keinginan untuk merdeka
dari orang-orang yang mempunyai kesamaan budaya (Collin 2004, 158). Seterusnya,
untuk menemukan kesalahan fatal Mossad dalam perekrutan agen, teori oposisi
biner dibantu dengan konsep perekrutan agen perspektif Alquran (Jamal 2008,
77-81). Kemudian untuk menemukan penyimpangan politik Mossad, teori karakter
dibantu dengan konsep khalifah dalam dasar politik Islam (al-Sa>mira>’i
1418 H., 17).
Novel Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam terlahir
sebagai kritikan ‘Abd Alla>h ‘I<sa> terhadap kondisi politik
Palestina dan Israel. Minimal, terdapat tiga hal dari kritikan tersebut, pertama,
termasuk bagian kritik terhadap krisis nasionalisme yang melanda warga
Palestina pada awal tahun 1970-an. Kedua, novelis juga mengkritik
terhadap kekejian politik Israel yang berencana memusnahkan orang Arab dan
Yahudi. Ketiga, novel ini juga mengkritik kesalahan fatal Mossad ialah
tidak mencari informasi tentang latar belakang agen-agen yang direkrut.
Padahal, selain bekerja di Mossad, salah satu dari mereka bekerja juga untuk
PLO.
Meskipun secara umum novel ini kritik politik ‘Abd
Alla>h ‘I<sa>, tetapi cerita utama novel ini menceritakan
praktek keji Mossad dalam menjebak pemuda – pemuda Palestina. Hadirnya novel
ini merupakan bentuk protes dari novelis terhadap kekejian itu. Agen keamanan
Israel sengaja memanfaatkan kelemahan pemuda Palestina. Ada yang diiming-imingi
dengan jabatan yang tinggi dan ada juga bayaran yang tinggi. Selain dari itu,
ada yang melalui tuduhan pelanggaran, seperti pelaku video mesum dan peledakan
atas bus “Ejd.”
Kata
kunci: Plot, oposisi biner, karakter, novel Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Konteks Teori Naratif
Teori
naratif (salah satunya teori strukturalisme) dalam penelitian sastra dinilai
sebagai teori monodisipliner, yaitu teori yang mengabaikan ilmu di luar ilmu
sastra. Artinya, teori ini mengabaikan seperti data – data biografi, psikologi,
sosiologi, sejarah, budaya, politik, dan lain-lain.[2]
Menurut aliran strukturalisme dinamik, “karya sastra merupakan proses
komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur, dan nilai-nilai.”
Kemudian karya sastra adalah petanda yang memperoleh makna berdasarkan
kesadaran pembaca. Oleh sebab itu, karya sastra harus dikembalikan pada
kompetensi pembaca, penulis dan masyarakat.[3]
Seharusnya,
dalam mengkaji sastra, teks tidak perlu dihubungkan dengan ilmu di luar sastra
(ekstrinsik), karena akan menimbulkan keraguan. Penelitian sastra dengan
pendekatan intrisiknya saja sudah bisa membuktikan secara empirik objek yang
diteliti.[4] Menurut
Sanusi, teks sastra yang merupakan produk dari bahasa dan tidak ada kaitannya
dengan
penulis atau keadaan sosial.
[5] Senada dengan pendapat Sanusi,
Omar Lizardo
menyebutkan bahwa “struktur (unsur intrinsik sastra) adalah konstituen utama
dari realitas sosial.” [6] Oleh sebab itu, dengan
menggunakan bantuan linguistik atau penelitian dengan menggunakan teori
struktural sudah cukup untuk memahami konteks sosial teks sastra.
B.
Pertanyaan-pertanyaan Penelitian
Satu pertanyaan mayor dan tiga
pertanyaan minor merumuskan penelitian ini: Bagaimana gambaran kritik politik
novelis ‘Abd Alla>h di dalam novel Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam perspektif
naratif? Seperti apa krisis nasionalisme yang melanda masyarakat Palestina?
Sistem politik apa saja yang dianggap menyimpang pada Mossad dibandingkan PLO?
Apakah kesalahan fatal dari Mossad dalam merekrut agen?
C.
Pernyataan Tesis
Hanya
berdasarkan analisis intrinsik terhadap novel Anak Golda Meir-pun Memeluk
Islam, penelitian ini mencoba menyingkap bentuk protes novelis terhadap
praktek – praktek Mossad kepada pemuda Palestina. Mengingat, novel ini diangkat
dari kisah nyata berdasarkan dokumen – dokumen milik Badan Rahasia PLO dan
catatan pribadi pengarang sebagai mantan perwira Badan Intelijen Mesir.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori Naratif
Teori
naratif dalam Studi Media mencoba
memahami perangkat dan konvensi yang terstruktur di dalam cerita-cerita, baik
yang bersifat khayali maupun nyata, dan pengaruhnya terhadap audien-audien
sehingga membuat mereka tertarik mambaca atau menyaksikannya.[7] Studi Media,
meskipun tidak
terlibat dalam menghasilkan
cerita,
tetapi akan bertujuan memahami peran sosial dan ideologis
cerita. Branigan
berpendapat bahwa tujuan tersebut pengorganisasian data spasial
dan
temporal menjadi
rantai
sebab-akibat
dari
peristiwa
(awal, tengah
dan akhir)
yang
mencangkup
penilaian
tentang sifat
kejadian.
Selain dari itu, teoretisi
penting
di dalam
pendekatan
ini adalah Propp,
Barthes,
Todorov
dan
Levi-Strauss.
Melalui
mitos, novel
dan cerita
rakyat, mereka mencoba
memahami
bagaimana bentuk-bentuk
narasi
dan
nilai-nilai budaya
tertentu.[8]
A.1.
Narasi, Cerita dan Plot
Narasi
dalam sebuah cerita akan menjelaskan bagaimana cerita-cerita itu diceritakan,
bagaimana material cerita itu diseleksi dan diadakan sehingga dapat memengaruhi
penonton atau pembaca. Adapun cerita, keseluruhan peristiwa di dalam naratif,
disajikan dan disimpulkan secara eksplisit.[9]
Demikian juga dengan plot (alur)[10]
di dalam istilah sastra Arab dikenal dengan khut}t}ah,[11]
yaitu peristiwa-peristiwa di dalam novel dan berhubungan dengan
sebab-akibat. Menurut kamus sastra Inggris, plot adalah rencana, desain, skema
atau pola peristiwa dalam karya sastra; selanjutnya dengan menampilkan
peristiwa dan karakter itu bertujuan mendorong rasa ingin tahu dan ketegangan
dari penonton atau pembaca.[12]
kemudian Menurut Tzvetan Todorov (lahir tahun 1939), linguis struskturalis asal
Bulgaria, biasanya pada situasi awal cerita yang disajikan itu ricuh, kemudian
pada akhirnya, situasi itu terselesaikan, tentu saja, melalui intervensi ajaib
dari produk yang dijual.[13]
A.2. Oposisi Biner
Linguistik merupakan salah satu
disiplin ilmu yang bisa dimanfaatkan untuk mengkaji kebudayaan. Alasan pertama,
menurut Soerjono Soekanto, karena linguistik sendiri merupakan salah satu unsur
kebudayaan[14]
dan alasan kedua karena keduanya (linguistik dan budaya) memiliki hubungan yang
saling memengaruhi. Oleh sebab itu, tidak heran jika ahli antropologi
memanfaatkan media linguistik untuk mempelajari masalah kebudayaan.[15]
Seperti halnya yang dilakukan Lévi Strauss (1905-2009), antropolog Prancis,
menggunakan media linguistik untuk mengkaji kebudayaan. Menurutnya, struktur
seluruh makna bergantung pada oposisi biner atau konflik antara dua sifat atau
istilah yang ada pada fiksi.[16]
A.3. Karakter
Vladimir Propp (1985-1970) merupakan kritikus Rusia dan juga
penulis cerita rakyat. Bukunya yang terkenal dan sudah diterjemahkan adalah Morfologi
Folk Tale (pertama kali diterbitkan pada tahun 1928).[17]
Propp telah meneliti ratusan contoh jenis cerita rakyat, yang bersifat wondertale
heroik, untuk melihat strukturnya. Dia berpendapat bahwa meskipun pada
dasaranya ada perbedaan pada cerita-cerita tersebut, tetapi peran karakter bisa
dikelompokkan menjadi delapan, yaitu:
1.
Villian
(penjahat)
2. Hero
(pahlawan), atau karakter yang mencari
sesuatu dan biasanya pada awal-awal, karakter ini termotivasi karena tak punya
uang atau ibu. (Konsep pahlawan di sini tidaklah sama dengan konsep pahlawan di
luar, yaitu peran yang biasanya identik dengan tokoh laki-laki dan mempunyai
konotasi moral “terpuji” atau “baik.” Namum, pahlawan yang dimaksud di sini
dideskripsikan sebagai tokoh yang terlibat aktif dalam peristiwa cerita.)
3.
Donor,
yaitu tokoh yang memberikan beberapa
properti sihir
4.
Helper
(penolong), yaitu tokoh pembantu
pahlawan
5. Princess
(putri), yaitu hadiah untuk pahlawan
dan tokoh yang menjadi objek kejahatan penjahat
6.
Father
(ayah), yaitu tokoh yang memberikan
hadiah kepada pahlawan
7.
Dispatcher,
yaitu tokoh yang mengirim pahlawan
B. Konsep
Metodologi
Hubungan antara sastra dan politik tidak bisa dipisahkan
atau dalam bahasa Terry Eagleton (lahir 1943) disebut “ideologi.” Menurutnya, ideologi itu bisa
berwujud hukum, politik, agama, etika, estetika dan sebagainya dengan fungsi
melegitimasi kekuasaan kelas penguasa dalam masyarakat.[19] Tegas
Eagleton, sastra tidak hanya bersifat pasif mencerminkan ideologi, tetapi
membuat kita juga “merasa” dan “merasakan” ideologi tersebut.[20] Karya sastra merupakan
bentuk persepsi dan sebagai salah satu metode untuk melihat “mentalitas sosial”
atau ideologi di masanya.[21] Dengan demikian,
termasuk juga novel Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam, erat juga
kaitannya dengan politik.
Meskipun dalam sejarahnyasetting peperangan
Arab-Israel tahun 1972-1985
merupakan perang kemenangan
Islam,
[22] tetapi di dalam novel
ini terdapat juga beberapa krisis nasionalisme pada rakyat Palestina. Untuk menemukan krisis nasionalisme tersebut, teori plot
Tzvetan Todorov dibantu dengan konsep nasionalisme. Menurut P.H. Collin,
nasionalisme yaitu: the desire for political independence by people who have
the same cultures (keinginan untuk kemerdekaan politik oleh orang yang
memiliki kebudayaan yang sama).[23]
Untuk itu, “situasi awal cerita yang ricuh” dalam teori Todorov didefenisikan
dengan krisis nasionalisme pada masyarakat Palestina. Seterusnya, maksud “pada
akhirnya, situasi itu terselesaikan” adalah timbulnya semangat nasionalisme
masyarakat Palestina untuk membela tanah airnya pada akhir cerita novel Anak
Golda Meir-pun Memeluk Islam.
Adapun dalam upaya mencari penyimpangan sistem politik
Mossad dalam novel ini berdasarkan teori oposisi biner Lévi Strauss, bisa
menggunakan konsep khalifah di dalam sistem dasar politik Islam. Menurut Nu‘ma>n ‘Abd
al-Razza>q al-Sa>mira>’i: al-h}aki>m fi> al-niz}a>m
al-siya>si> al-Isla>mi> waki>l
‘an al-ummah, wa-lays mufawwad}an ‘an Alla>h (pemerintah di dalam
sistem politik Islam hanyalah wakil rakyat, dan bukanlah [orang] yang diberi
kuasa penuh oleh Allah). Hal inilah yang dipraktekkan Abu> Bakr
al-S{iddi>q ketika seseorang memanggilnya “ya> khali>fat Alla>h”
(wahai khalifah Allah), lalu ia menjawab “ana> khalifat al-Rasu>l”
(aku khalifah Rasul). Kemudian
periode pemerintahan sesudahnya, ‘Umar bin al-Khat}t}a>b, ia merasa berat
jika dijuluki “khalifah khalifah Rasul” dan ia berkata: kalian orang mukmin,
julukilah aku “amirulmukminin.” Pemerintah itu terikat oleh akidah dan syariat
Islam, apabila ia keluar dari keduanya, maka jangan mengikutinya.[24] Untuk itu, maksud dua
sifat yang berlawanan dalam teori Lévi Strauss ialah sifat pemerintah
yang sejalan dengan konsep khalifah dan tidak.
Sementara itu, untuk menjawab kesalahan fatal Mossad dalam
merekrut agen berdasarkan teori karakter Vladimir Propp, bisa menggunakan
konsep perekrutan agen perspektif Quran. Pada penelitian Fauzun Jamal menyebutkan, terdapat
dua konsep rekrutmen personal intelijen di dalam Alquran, yaitu secara terbuka
dan tertutup. Dalam perekrutan terbuka, tentunya, aktivitas-aktivitas itu
diketahui oleh masyarakat. Adapun
tertutup, setiap aktivitasnya tidak mudah terdeteksi oleh orang lain
serta mereka sangat menghindari kegiatan ataupun aktivitas yang mengundang
perhatian orang. Baik terbuka maupun tertutup, perekrutannya harus melalui
proses analisa yang baik terhadap loyalitas dan kejujuran mereka dalam
melaksanakan tugas. Kemudian, individu yang direkrut itu benar-benar orang yang
tepat, dapat berperan baik dan terhindar dari kesalahan personal.[25] Oleh sebab itu,
karakter villian didefenisikan sebagai tokoh yang merekrut agen dalam
cerita ini tidak sejalan dengan konsep perekrutan agen perspektif Alquran,
sedangkan hero ialah tokoh yang konsisten dengan konsep perekrutan agen itu.
C.
Studi
Kasus
Novel Anak Golda Meir-pun Mememluk Islam ini
diterbitkan di majalah Majallah Saudi, edisi Januari-Februari 1990.
Kisah ini merupakan kisah nyata yang diangkat ‘Abd Alla>h ‘Isa>
berdasarkan dokumentasi milik Badan Rahasia PLO (Palestine Liberation
Organization) dan termasuk juga data-data peribadinya tentang Mossad.
Kemudian ‘Abd Alla>h ‘Isa> sendiri merupakan mantan perwira Badan
Intelijen Mesir dan kini sebagai pakar tentang Mossad. Sebagian peristiwa
penting di dalam kisah ini menyajikan berbagai praktek keji Mossad terhadap
anak Palestina. Selanjutnya kisah di dalam novel ini merupakan setting tahun
1972-1985.[26]
Sinopsis
Cerita
ini dimulai diawali dengan perjalanan Mahmud al-Ayed sebelum dijebak oleh
Zaher, salah satu perwira Mossad, menjadi mata-mata untuk Israel. Sebelum
sampai di kota Netanya, al-Ayed tinggal di desa Qabatia, sekitar delapan kilo
meter dari kota Jenin Selatan. Al-Ayed pemuda yang suka berfoya-foya, mendatangi
kafe dan bioskop, meminum minuman keras dan mengganggu gadis-gadis. Selain dari
al-Ayed, pemuda Palestina lainnya juga dijebak oleh Zaher, salah satunya Adnan.
Meskipun keduanya bekerja untuk Mossad, tetapi Adnan berbeda dengan al-Ayed,
karena Adnan aslinya bekerja sebagai mata-mata PLO.
Tugas
mereka berdua mendampingi George atau anak Golda Meir mencari informasi tentang
rencana PLO di Beirut. Untuk pertama kalinya, tugas itu diberikan ke al-Ayed,
tetapi gagal. Al-Ayed tergiur dengan bisnis narkotika, sehingga harus tertahan
di Amman dengan hukuman tujuh tahun penjara atas tuduhan perdagangan narkotika
secara tidak sah. Berbeda dengan Adnan, ia berhasil dalam tugasnya dan
mendapatkan simpati Mossad. Padahal, tugas yang ia jalankan hanyalah sebagai
kedok sesuai yang direncanakan PLO.
Setelah
tiba di Libanon, Adnan menemui Jawwad Hussein – salah satu anggota Badan
Rahasia PLO – dan menceritakan seluruh kejadian yang dialami mendampingi
George. Selain dari sumber Adnan, Badan Rahasia PLO juga mengumpulkan berbagai
informasi mengenai George dari berbagai sumber. Menurut sumber-sumber itu,
George sedang mengalami krisis psikis setelah mengetahui perlakuan kejam Mossad
terhadap masyarakat sipil Palestina. Ia tidak menerima perlakuan brutal
tersebut juga terjadi di Israel. Mendengar berita tersebut, Ali Bassouni –
rekan Jawwad Hussein di PLO – berencana mendekati George secara bertahap.
Rencananya merekrut George dengan cara penyadaran tanpa membuatnya merasa
direkrut.
Pada
pertengahan Mei 1978, Adnan pergi lagi ke Nicosia menemui George. Pada saat
yang bersamaan, secara rahasia, beberapa orang Badan Rahasia PLO berangkat ke
Nicosia melewati berbagai rute. Di sana, Jawwad Hussein mendekati George dan
menceritakan rasialisme dalam politik Israel, yaitu politik yang menghancurkan
bangsa Yahudi dan Arab. Pada akhir pertemuan itu, Jawwad Hussein memperkenalkan
dirinya sebagai anggota PLO. Tegasnya, yang kuinginkan ialah kerja sama dengan
hati nuranimu George dan politik ini harus segera dihentikan.
Setelah
mendengar penjelasan Hussein, pada malamnya, kondisi psikis George semakin
berat. Akhirnya, ia memutuskan akan berdiri di atas kebenaran dan memeluk agama
Islam. Melalui rekannya Adnan, ia serahkan semua dokumen mengenai reaktor
nuklir Dimona dan daya kemampuannya memproduksi senjata-senjata nuklir, serta
catatan hasil pertemuan yang dilakukan Mossad. Segera dokumen tersebut
diserahkan Ali Bassouni kepada Direktur Badan Rahasia PLO. Menurut Ali
Bassouni, “operasi ini merupakan pukulan berat bagi Mossad.”
Selain
dari itu, George menyerahkan juga dokumen tentang kegiatan-kegiatan kedutaan
besar Israel di Eropa dan daftar nama para anggota Mossad yang ditempatkan di
benua itu. Termasuk juga informasi tentang alamat pos Mossad yang biasa dipakai
para agen badan rahasia itu sebagai sarana komunikasi. Kemudian Pada Maret
1982, George langsung yang menemui
Hussein dan menceritakan tentang rencana pasukan Israel untuk menyerbu Libanon.
Segera PLO mempelajari dan mensiasati penyerbuan Israel. Namun, sebelum
peristiwa penyerbuan Israel, beberapa bulan sebelum tanggal 6 Juni 1982, Goerge
dikabarkan telah gugur dalam peristiwa peledakan markas Mossad di Sidon.
D.
Analisis
Pada bagian ini, novel Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam dianalisis
melalui tiga teori naratif, yaitu plot, oposisi biner dan karakter.
D.1. Novel Anak Golda Meir-pun
Memeluk Islam Perspektif Teori Plot Tzvetan Todorov
Cerita ini diawali dari perjalan masa
kecil al-Ayed yang tinggal di Desa Qabatia, kawasan pangkalan gerakan
perlawanan Palestina yang diduduki Israel.
“pada musim panas 1968 umur al-Ayed belum lebih dari 12
tahun. Suatu pagi ketika ia keluar dari rumahnya, seperti anak-anak lain, ia
nelihat suatu pemandangan yang
mengerikan. Seorang lelaki, berumur sekitar 30 tahun, sedang berjalan di
depan rumhanya. Jalan di depan rumahnya saat itu sedang lengang. Tiba-tiba
seorang lelaki menutupi kepalanya dengan koufiyeh Palestina, mendekati
dan menarik picu pistolnya kearah orang itu...Lelaki yang sedang berjalan itu
jatuh terkulai.”
[27]
Selain dari itu, Al-Ayed menjadi saksi
dari peristiwa konflik Arab-Israel. Pada tahun 1976, ia bekerja di kota Netanya
pada sebuah bengkel bus Israel “Ejd.” Sehari sebelum al-Ayed bekerja di sana, ia dan temannya Mustafa
jalan-jalan ke pantai di dekat kota Netanya. Di sana, ia diperiksa oleh
mata-mata Israel. Menurut mustafa, pemeriksaan itu rutin dilakukan mata-mata Palestina,
ketika mereka mendapati fedayeen palestina, segera mereka akan
menangkapnya. Pemeriksaan itu rutin dilakukan Intelijen Israel dan mereka
memeriksa kartu pengenal orang-orang Arab setiap hari yang ada di tempat itu.[28]
Tidak lama setelah bekerja di bengkel
itu, al-Ayed dan temanya Adnan dijebak dan diancam oleh Zaher, perwira Mossad,
menjadi mata-mata untuk Israel. Al-Ayed merupakan pemuda Palestina yang
direkrut Mossad sebelum Adnan. Pada perekrutan al-Ayed, ia dijebak dengan video
mesumnya bersama wanita bayaran Zaher sehingga ia tidak punya pilihan selain
bekerja sebagai mata-mata Israel.[29]
Sementara Adnan, ia dijebak dengan tuduhan meledakkan bus-bus “Ejd” Israel
tempat mereka bekerja.[30]
Terlihat al-Ayed sangat menikmati pekerjaan agen itu, berbeda dengan Adnan yang
berkerja sebagai agen Mossad untuk mengorek informasi tentang Intelijen Israel.
Meskipun Adnan bekerja sebagai mata-mata untuk Israel, tetapi kenyataannya ia
agen PLO.
Pada tanggal 24 Februari 1988,
“kesadaran baru telah muncul untuk mempertahankan dan membangun kembali negeri
mereka yang masih berada di bawah pendudukan Israel.” Warga palestina tidak
sabar lagi membiarkan adanya warga mereka mengotori Palestina dan menjadi
mata-mata untuk Israel. Bersama-sama mereka mengepung rumah al-Ayed dan salah
satu anggota Satuan “77” menembakinya dengan timah panas hingga ia mati.
Penembakan itu dilakukan karena al-Ayed nekad melawan warga dan menembaki
seorang anak lelaki berumur empat tahun dan melukai tiga belas orang lainnya.
“setelah peristiwa itu sejumlah agen
dan mata-mata pasukan penduduk Israel dari kalangan warga desa itu menyerahkan
senjata mereka dan menyatakan penyesalan mereka di masjid desa itu. Hal serupa
juga terjadi di banyak desa-desa Paletina lainnya, dan juga di kamp-kamp
Palestina.”[31]
Melalui plot tersebut, terlihat kritik
krisis nasionalisme pada rakyat Palestina. Pada awal tahun 1970-an, rakyat
Palestina tidak begitu peduli dengan penjajahan di negerinya. Meskipun banyak
dari pemuda dijebak oleh Mossad untuk bekerja sebagai mata-matanya tetapi
rakyat Palestina tidak melakukan perlawanan. Semangat nasionalisme mulai muncul
pada tahun 1988. Hal itu ditandai dengan penangkapan al-Ayed dan pemuda
Plestina lainnya yang bekerja sebagai mata-mata Israel.
D.2. Novel Anak Golda Meir-pun
Memeluk Islam Perspektif Teori Oposisi Biner Lévi-Strauss
Berdasarkan
konsep khalifah di dalam sistem dasar politik Islam, oposisi biner cerita ini
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu menghancurkan dan menyelamatkan.
Menghancurkan di sini maksudnya ialah politik Israel yang menyimpang dan
berencana menghancurkan orang Yahudi dan Arab. Pada bulan Mei 1978, saat George
berada di Nicosia bertemu dengan temannya Mikhail. Dalam pertemuan itu, Mikhail
mendiskusikan tentang politik Israel. Menurut Mikhail, “politik pemerintah
Israel kini lebih banyak dimaksudkan untuk menghancurkan bangsa Yahudi dan
Arab.” Sebagaimana yang dilakukan Israel terhadap Libanon, menghancurkan
Libanon dan menjadikannya pangkalan militer bagi negara Barat untuk menguasai
Timur Tengah.[32]
Politik
seperti itu tidak dibenarkan dalam Islam, karena bertentangan dengan tugas
pemerintah sebagai wakil rakyat. Tugas manusia di dunia ini, termasuk
pemerintah, berkontribusi mengatur bumi berdasarkan syariat Islam, memanfaatkan
kekayaan bumi dengan ketentuan Allah dan berlaku adil untuk kemaslahatan umat
manusia.[33]
Dilihat dari sejarahnya, pada konflik Palestina-Israel, identitas agama sangat
mengkristal dan menjadi alat legitimasi dan kekuatan politik. Israel meyakini
bahwa Palestina adalah negara yang dijanjikan Tuhan mereka dan mengklaim bahwa
Yerussalem sebagai ibukota Israel. Oleh sebab itu, sebagaimana dikutip Nuzul
Fitri pendapat Blumer, wajar jika banyak kekerasan terhadap rakyat Palestina,
karena merupakan tindakan untuk menunjukkan identitas dan eksistensi mereka.[34]
Namun, hal demikian juga tidak dibenarkan, karena sistem politik Israel tidak
hanya menghancurkan orang Arab, tetapi juga orang Yahudi.
Kondisi
tersebut di atas berbeda dengan politik Palestina, diwakili Mikhail alias
Jawwad Husein, dengan tujuan menyelamatkan orang Yahudi dan Arab. Dengan dakwah
yang dilakukan, ia berhasil menyadarkan George, meskipun pada dasarnya
kesusksesan dakwah menurut Andi Faisal Bakti bukan hanya dilihat dari
keberhasilan da’i mengubah orang, tetapi dilihat juga dari cara penyampaiannya.
Tegasnya, penyampaian da’i dalam berdakwah harus terang, jelas dan mudah
dicerna. Adapun “soal diterima atau tidaknya pesan dakwah bukanlah urusan
da’i.”[35]
Di
dalam novel ini, Ujar Mikhail, “mari kita bekerjasama untuk melindungi
orang-orang Yahudi dan Palestina.”[36]
Dakwah Mikhail senada dengan defenisi dakwah menurut Bakti,
[37]
yaitu tujuan menyadarkan George dengan menceritakan kekejian politik Israel dan
segera menghentikannya untuk kemaslahatan manusia. Penjelasan itu disambut baik
olehnya, hingga pada bulan September 1978, George memutuskan masuk Islam.
Setelah George masuk Islam, dia banyak memberikan informasi penting tentang
rencana dan kegiatan Mossad, hingga PLO kali ini berhasil meringkus agen-agen
Mossad.
D.3. Novel Anak Golda Meir-pun
Memeluk Islam Perspektif Teori Karakter Vladimir Propp
Adapun karakter hero dan penjahat dalam kisah ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.
Villian
(Penjahat)
Karekter
Zaher di sini sebagai villian. Sebagai perwira Mossad, sebagaimana telah
di atas Zaher banyak menjebak pemuda Palestina untuk bekerjasama dengannya
dalam memata-matai Intelijen Palestina. Selain dari mengancam, Zaher juga
mengiming-ngimin dengan kedudukan dan uang terhadap pemuda Palestina yang
direkrut.[38]
Namun, Zaher tidak begitu memperhatikan latar belakang pemuda Palestina yang
direkrut. Salah satunya, Zaher tidak mengetahui bahwa Adnan itu agen ganda.
2.
Hero
Adnan Ramadhan merupakan tokoh hero dalam cerita ini. Dia
salah satu pemuda Palestina yang direkrut Abdurrahman untuk menjadi mata-mata
untuk Palestina. Selain dari Adnan, pemuda Palestina lain juga ada yang
direkrutnya. Meskipun jumlah mereka sedikit, tetapi mereka bertindak efektif,
sistematis dan rapi. Sebelum mendapati tugas memata-matai George, Adnan
memata-matai al-Ayed, karena melihat dari gerak-geriknya yang mencurigakan.[39]
Di dalam tugasnya mendampingi
George, Adnan mendapati secara langsung informasi tentang George dan
memberitahu ke Abdurrahman. Kemudian pada bulan Mei 1978, George dan Adnan
berkunjung ke Nicosia. Di sana, sebuah hotel tempat ia menginap, George bertemu
dengan temannya Mikhail, hingga keduanya ngobrol dan diskusi. Ternyata diskusi
tersebut menyadarkan George tentang kondisi politik Israel yang keji, yaitu
rencana mereka menghancurkan orang Yahudi dan Arab, hingga tidak lama
setelahnya, George memutuskan untuk masuk Islam.[40]
BAB III
KESIMPULAN
Tanpa memperhatikan unsur
ekstrinsik, analisis terhadap unsur intrinsik sastra saja sudah menjawab objek
penelitian. Berdasarkan analisis intrinsik tersebut, novel
Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam lahir sebagai kritikan novelis ‘Abd
Alla>h I<sa> terhadap kondisi politik Palestina dan Israel. Minimal,
terdapat tiga hal dari kritikan tersebut, pertama, termasuk bagian
kritik terhadap krisis nasionalisme yang melanda warga Palestina. Warga
Palestina pada awal tahun 1970-an tidak begitu peduli dengan penjajahan di
negerinya sendiri dan kepedulian itu mulai tumbuh pada tahun 1988. Kedua, novelis
juga mengkritik terhadap kekejian politik Israel yang berencana memusnahkan orang
Arab dan Yahudi. Meskipun demikian, bahasa yang digunakan tetaplah bahasa yang
sopan, meskipun yang disudutkan itu pemerintah Israel.
Ketiga, novel ini juga mengkritik penyimpangan
Mossad dalam merekrut agen. Dalam usaha mendapatkan informasi dari PLO, Mossad
banyak menjebak pemuda Palestina sendiri untuk tujuan itu. Kesalahan fatal
Mossad ialah tidak mencari informasi tentang latar belakang agen-agen yang
direkrut, padahal dari mereka ada juga yang bekerja di PLO. Berbeda dengan
perekrutan agen yang dilakukan PLO, hanya merekrut pemuda Palestina yang cerdas
dan cekatan. Meskipun jumlah mereka sedikit, tetapi mereka bertindak secara
efektif, sistematis dan rapi.
‘Abd
Alla>h ‘I<sa> menyajikan kondisi intelijen Mossad dan PLO sangat
detail, mulai dari cara Mossad merekrut agen, operasi kedua agen Mossad dan
PLO, hingga Mossad menyerahkan senjata pada tahun 1988. Memang, beberapa
peristiwa di dalamnya diangkat berdasarkan dokumen rahasia milik PLO dan
novelis sendiri mantan perwira Badan Intelijen Mesir dan kini sebagai pakar
tentang Mossad.
Meskipun
novel ini kritik politik ‘Abd Alla>h
‘I<sa> dalam menyikapi kondisi di perbatasan Palestina dan Israel
tahun 1972 – 1985, tetapi cerita utama novel ini menceritakan praktek keji
Mossad dalam menjebak pemuda – pemuda Palestina. Hadirnya novel ini merupakan
bentuk protes dari novelis terhadap kekejian itu. Agen keamanan Israel sengaja
memanfaatkan kelemahan pemuda Palestina. Ada yang diiming-imingi dengan jabatan
yang tinggi dan ada juga bayaran yang tinggi. Selain dari itu, ada yang melalui
tuduhan pelanggaran, seperti pelaku video mesum dan peledakan atas bus “Ejd.”
DAFTAR PUSTAKA
‘I<sa>, ‘Abd Alla>h. Layali Musad fi> Nataniya, diterjemahkan
oleh Ahmad Rofi‘ dengan judul Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam. Bandung: Pustaka, 2004.
Ahimsa-Putra,
Heddy Shri. Strukturalisme Lévi-Strauss Mitos dan
Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel
Press, 2006.
al-Sa>mira>’i, Nu‘ma>n ‘Abd al-Razza>q. al-Niz}a>m al-Siya>si> fi> al-Isla>m. al-Riya>d}: Fahrasat Maktabat al-Mulk Fahd
al-Wat}aniyah Athna>’ al-Nashr, 1418.
Badcock, Christopher R. Lévi – Strauss: Structuralism
and Sociological Theory diterjemahkan
oleh Robby Habibah Abror dengan judul Levi – Strauss Strukturalisme dan
Teori Sosiologi. Yogyakarta: Insight Reference, 2006.
Bakti, Andi Faisal. “Dakwah dalam Komunikasi.” http://www.andifaisalbakti.net/REPUBLIKA_DAKWAH-DALAM-KOMUNIKASI.pdf
(diakses 5 Juni 2015).
Branston, Gill dan
Roy Stafford. The Media Student’s Book. London:
Routledge, 2003.
Collin, P. H. Dictionary
of Politics and Government. London: Bloomsbury, 2004.
Cuddon, J. A. The Penguin Dictionary of Literary Terms
and Literary Theory. New York: Penguin Books, 1999.
Dundes, Alan. “Binary Opposition in Myth: The Propp/Lévi-Strauss
Debate in Retrospect.”
Western Folklore Vol. 56, No. 1 (Winter 1997): 39-50.
Eagleton, Terry. Marxis
and Literary Criticism. London: Taylor & Francis e-Library, 2006.
Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks
Media. Yogyakarta: LKis, 2008.
Esposito, John L. (ed.). Islam and Development Religion and Sociopolitical, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin dengan judul Identitas
Islam pada Perubahan Sosial-Politik. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986.
Fitri, Nuzul. “Intervensi Pihak Ketiga dalam Penyelesaian Konflik
Agama: Strategi Solusi Konflik di Palestina – India dan Indonesia.” Dialog Vol. 35, No. 1 (Juni 2012): 17-30.
Hudson, Michael C. Arab Politics the Search for
Legitimacy. New Haven dan London: Yale University Press, 1977.
Jamal, Fauzun. Konsep Intelijen dalam Pandangan Quran. Jakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, 2008.
Kamil, Sukron. Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Lizardo, Omar. “Beyond the antinomies
of structure: Levi-Strauss, Giddens,
Bourdieu, and Sewell.” Theory and Society Vol. 39, No.
6 (November 2010): 657-658.
Panikkar, K. N. “Literature as
History of Social Change.” Social
Scientist Vol. 40, No. 3/4 (Maret – April 2012), 3-15.
Ratna, Nyoman
Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Riedl, Mark O. dan R.
Michael. “Narrative Planning: Balancing Plot and Character.” Journal of Artificial
Intelligence Research No. 39 (2010): 217-268.
Sanusi, Ibrahim
Chinade. “Structuralism as a Literary Theory: An Overview.” Afrrev Laligens Vol.1,
No.1 (Maret 2012): 124-131.
Sha>yib, Ah{mad. Us}u>l al-Naqd al-Adabi>. Kairo: Maktabat al-Nahd}at al-Mis}riyah, 1964.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
Tim Modul Pelatihan LP2I. Panduan Pembinaan Generasi Muda Islam. Bandung: LP2I, 2001.
[1]Disampaikan pada Mata Kuliah Islam, Media, and Politic bersama
Prof.
Andi Faisal Bakti, M.A., Ph.D.
[2]Sukron
Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern (Jakarta: Rajawali
Pers, 2012), 186-187.
[3]Nyoman
Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), 93.
[4]Sukron
Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 183.
[5]Ibrahim
Chinade Sanusi, “Structuralism as a Literary Theory: An Overview,” Afrrev
Laligens Vol.1, No.1 (Maret 2012), 124-131.
[6]Omar
Lizardo, “Beyond the Antinomies
of Structure: Levi-Strauss, Giddens,
Bourdieu, and Sewell,” Theory and Society Vol. 39, No.
6 (November 2010), 657-658.
[8]Gill Branston dan Roy Stafford, The
Media Student’s Book, 33.
[10]Mark O. Riedl dan R. Michael Young
menyebutkan bahwa plot dalam sebuah cerita adalah hal utama dan penting, karena
cerita adalah novel yang memiliki unsur plot yang disusun untuk memiliki efek
tertentu pada penonton dari waktu ke waktu. Mark O. Riedl dan R. Michael, “Narrative Planning:
Balancing Plot and Character,” Journal
of Artificial
Intelligence Research No. 39 (2010), 219.
[11]Ah{mad Sha>yib,Us}u>l al-Naqd
al-Adabi> (Kairo: Maktabat al-Nahd}at al-Mis}riyah, 1964), 334.
[12]J. A. Cuddon, The Penguin Dictionary
of Literary Terms and Literary Theory (New York: Penguin Books, 1999), 676.
[13]Branston dan Roy Stafford, The Media
Student’s Book, 40.
[14]Ada tujuh unsur kebudayaan menurut
Soekanto, yaitu: teknologi, ekonomi, hukum, bahasa (linguistik), seni, sistem
pengetahuan dan agama. Soerjono Soekanto,Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2006), 154.
[15]Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme
Lévi-Strauss Mitos dan Karya Sastra (Yogyakarta: Kepel Press, 2006), 23.
[17]Gill
Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, 33. Lihat juga Alan Dundes, “Binary Opposition in Myth: The
Propp/Lévi-Strauss Debate in Retrospect,” Western Folklore Vol. 56, No. 1 (Winter 1997), 39.
[18]Gill Branston dan Roy Stafford, The
Media Student’s Book, 33-34.
[20]“However, art does more than just
passively reflect that experience. It is held within ideology, but also manages
to distance itself from it, to the point where it permits us to ‘feel’ and
‘perceive’ the ideology from which it springs.” Terry
Eagleton, Marxis and Literary Criticism,
9.
[21]Terry
Eagleton, Marxis and Literary Criticism,
3. Lihat juga K. N.
Panikkar, “Literature
as History of Social Change,” Social
Scientist Vol. 40, No.
3/4 (Maret – April 2012),
5-6.
[22]Terutama pada
perang Arab-Israel tahun 1973 merupakan perang kemenangan Islam, Perang ini
bertepatan pada bulan Ramadan dan diberi sandi sebagai perang Badr, karena
saat Rasulullah perang Badr (13 Maret 624) juga terjadi pada bulan Ramadan.
Pasukan Muslim pada peperangan ini berbeda dengan peperangan tahun 1967
(disebut juga dengan perang “enam hari”) yang mempercayai penuh terhadap
perlengkapan militer, sedangkan perang tahun 1973 sangat jelas pekikan terhadap
identitas Islam. Bahkan, pada peperangan itu sangat jelas ucapan Alla>h
akbar dari pasukan Muslim. Oleh sebab itu, menurut Yvonne Haddad, perang
Arab-Israel itu merupakan perang penegasan terhadap identitas Islam. Hal ini
berdasarkan pada hasil konferensi Dewan Tertinggi Penelitian Islam bulan
Februari 1970 bahwa masalah Palestina dan Israel bukanlah masalah nasional dan
politik, tetapi murni masalah identitas Islam. John L.
Esposito (ed.), Islam and Development Religion and Sociopolitical, diterjemahkan
oleh A. Rahman Zainuddin dengan judul Identitas Islam pada Perubahan
Sosial-Politik (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986), 187-189.
[24]Nu‘ma>n
‘Abd al-Razza>q al-Sa>mira>’i, al-Niz}a>m al-Siya>si>
fi> al-Isla>m (al-Riya>d}: Fahrasat Maktabat al-Mulk Fahd
al-Wat}aniyah Athna>’ al-Nashr, 1418 H), 17.
[25]Fauzun
Jamal, Konsep Intelijen dalam Pandangan Quran (Jakarta: Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2008), 77-81.
[26]‘Abd
Alla>h ‘Isa>, Layali Musad fi> Nataniya, diterjemahkan oleh
Ahmad Rofi‘ dengan judul Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam (Bandung:
Pustaka, 2004), 174.
[27]‘Abd
Alla>h ‘Isa>, Layali Musad fi> Nataniya, 3.
[28]‘Abd
Alla>h ‘Isa>, Layali Musad fi> Nataniya, 14.
[29]‘Abd
Alla>h ‘Isa>, Layali Musad fi> Nataniya, 24.
[31]‘Abd
Alla>h ‘Isa>, Layali Musad fi> Nataniya, 173.
[34]Nuzul
Fitri, “Intervensi Pihak Ketiga dalam Penyelesaian Konflik Agama: Strategi
Solusi Konflik di Palestina – India dan Indonesia,” Dialog Vol. 35, No.
1 (Juni 2012), 18-19.
[35]Andi
Faisal Bakti, “Dakwah dalam Komunikasi,” http://www.andifaisalbakti.net/REPUBLIKA_DAKWAH-DALAM-KOMUNIKASI.pdf
(diakses 5 Juni 2015).
[37]Dakwah menurut Andi Faisal Bakti ialah
“berusaha mengajak manusia untuk sama-sama membangun dunia ini dengan penuh
kedamaian (salam), keadilan, cinta, kasih, etika dan akhlak yang luhur, demi
mencapai masyarakat berkeadaban yang hormat menghormati satu sama lain,
mengedepankan musyawarah (deliberasi), di atas sunnatullah...” Andi Faisal Bakti, “Dakwah dalam Komunikasi.”
[38]Seperti
halnya Zaher mengiming-ngiming al-Ayed menjadi direkturnya pada perusahaan biro
perjalanan dan pariwisata, serta mengiming-ngiming Adnan dengan uang yang
banyak. ‘Abd Alla>h ‘Isa>, Layali Musad fi> Nataniya, 18 dan
40.
[40]‘Abd
Alla>h ‘Isa>, Layali Musad fi> Nataniya, 69-150.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar