Senin, 08 Februari 2016

NOVEL SEBAGAI KRITIK POLITIK


NOVEL SEBAGAI KRITIK POLITIK
(Studi Atas Novel Anak Golda Meir-Pun Memeluk Islam Karya ‘Abd Alla<h ‘I<sa< Perspektif Naratif)[1]
Oleh:
Muhammad Isya
E-mail: muhammadisya92@gmail.com


ABSTRAK

Karya sastra adalah petanda yang memperoleh makna berdasarkan kesadaran pembaca. Oleh sebab itu, menurut aliran strukturalisme dinamik, teks sastra perlu dihubungkan dengan unsur ekstrinsiknya (Ratna 2007, 93). Padahal, penelitian dengan menghubungkan teks sastra dengan unsur ekstrinsiknya akan menimbulkan keraguan. Penelitian sastra dengan pendekatan intrisiknya saja sudah bisa membuktikan secara empirik objek yang diteliti (Kamil 2012, 187). Bahkan, menurut Sanusi, teks sastra itu produk bahasa dan tidak ada kaitannya dengan penulis atau keadaan sosial (Sanusi 2012, 131).
            Satu pertanyaan mayor dan tiga pertanyaan minor merumuskan penelitian ini: Bagaimana gambaran kritik politik ‘Abd Alla>h ‘I<sa> dalam novel Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam? Seperti apa krisis nasionalisme yang melanda masyarakat Palestina? Sistem politik apa saja yang dianggap menyimpang pada Mossad dibandingkan PLO? Apakah kesalahan fatal Mossad dalam merekrut agen sehingga ia kalah dari PLO?
Hanya berdasarkan analisis intrinsik terhadap novel Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam, penelitian ini mencoba menyingkap bentuk protes novelis terhadap praktek – praktek Mossad kepada pemuda Palestina. Mengingat, novel ini diangkat dari kisah nyata berdasarkan dokumen – dokumen milik Badan Rahasia PLO dan catatan pribadi pengarang sebagai mantan perwira Badan Intelijen Mesir.
Penelitian ini menggunakan teori plot. Menurut Tzvetan Todorov (lahir 1939), plot itu biasanya pada situasi awal cerita yang disajikan itu ricuh, kemudian pada akhirnya, situasi itu terselesaikan. Penelitian ini juga menggunakan teori oposisi biner yang menurut Lévi Strauss (1905-2009) bahwa setiap makna di dalam fiksi tergantung pada dua sifat yang berlawanan. Seterusnya, penelitian ini juga menggunakan teori karakter perspektif Vladimir Propp (1985-1970). Menurutnya, setiap cerita bisa dikelompokkan menjadi delapan karakter, yaitu:villian, hero, donor, helper,princess, false hero, dispatcher dan father (Branston 2003, 32-47).
Situasi ricuh dan pada akhirnya terselesaikan dalam teori plot adalah krisis nasionalisme pada rakyat Palestina dan pada akhirnya semangat nasionalisme itu muncul. Nasionalisme ialah keinginan untuk merdeka dari orang-orang yang mempunyai kesamaan budaya (Collin 2004, 158). Seterusnya, untuk menemukan kesalahan fatal Mossad dalam perekrutan agen, teori oposisi biner dibantu dengan konsep perekrutan agen perspektif Alquran (Jamal 2008, 77-81). Kemudian untuk menemukan penyimpangan politik Mossad, teori karakter dibantu dengan konsep khalifah dalam dasar politik Islam (al-Sa>mira>’i 1418 H., 17).
Novel Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam terlahir sebagai kritikan ‘Abd Alla>h  ‘I<sa> terhadap kondisi politik Palestina dan Israel. Minimal, terdapat tiga hal dari kritikan tersebut, pertama, termasuk bagian kritik terhadap krisis nasionalisme yang melanda warga Palestina pada awal tahun 1970-an. Kedua, novelis juga mengkritik terhadap kekejian politik Israel yang berencana memusnahkan orang Arab dan Yahudi. Ketiga, novel ini juga mengkritik kesalahan fatal Mossad ialah tidak mencari informasi tentang latar belakang agen-agen yang direkrut. Padahal, selain bekerja di Mossad, salah satu dari mereka bekerja juga untuk PLO.
Meskipun secara umum novel ini kritik politik ‘Abd Alla>h  ‘I<sa>, tetapi cerita utama novel ini menceritakan praktek keji Mossad dalam menjebak pemuda – pemuda Palestina. Hadirnya novel ini merupakan bentuk protes dari novelis terhadap kekejian itu. Agen keamanan Israel sengaja memanfaatkan kelemahan pemuda Palestina. Ada yang diiming-imingi dengan jabatan yang tinggi dan ada juga bayaran yang tinggi. Selain dari itu, ada yang melalui tuduhan pelanggaran, seperti pelaku video mesum dan peledakan atas bus “Ejd.”

Kata kunci: Plot, oposisi biner, karakter, novel Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam.


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Konteks Teori Naratif
Teori naratif (salah satunya teori strukturalisme) dalam penelitian sastra dinilai sebagai teori monodisipliner, yaitu teori yang mengabaikan ilmu di luar ilmu sastra. Artinya, teori ini mengabaikan seperti data – data biografi, psikologi, sosiologi, sejarah, budaya, politik, dan lain-lain.[2] Menurut aliran strukturalisme dinamik, “karya sastra merupakan proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur, dan nilai-nilai.” Kemudian karya sastra adalah petanda yang memperoleh makna berdasarkan kesadaran pembaca. Oleh sebab itu, karya sastra harus dikembalikan pada kompetensi pembaca, penulis dan masyarakat.[3]
Seharusnya, dalam mengkaji sastra, teks tidak perlu dihubungkan dengan ilmu di luar sastra (ekstrinsik), karena akan menimbulkan keraguan. Penelitian sastra dengan pendekatan intrisiknya saja sudah bisa membuktikan secara empirik objek yang diteliti.[4] Menurut Sanusi, teks sastra yang merupakan produk dari bahasa dan tidak ada kaitannya dengan penulis atau keadaan sosial. [5]  Senada dengan pendapat Sanusi, Omar Lizardo menyebutkan bahwa “struktur (unsur intrinsik sastra) adalah konstituen utama dari realitas sosial.” [6] Oleh sebab itu, dengan menggunakan bantuan linguistik atau penelitian dengan menggunakan teori struktural sudah cukup untuk memahami konteks sosial teks sastra.

B.   Pertanyaan-pertanyaan Penelitian
Satu pertanyaan mayor dan tiga pertanyaan minor merumuskan penelitian ini: Bagaimana gambaran kritik politik novelis ‘Abd Alla>h di dalam novel Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam perspektif naratif? Seperti apa krisis nasionalisme yang melanda masyarakat Palestina? Sistem politik apa saja yang dianggap menyimpang pada Mossad dibandingkan PLO? Apakah kesalahan fatal dari Mossad dalam merekrut agen?

C.   Pernyataan Tesis
Hanya berdasarkan analisis intrinsik terhadap novel Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam, penelitian ini mencoba menyingkap bentuk protes novelis terhadap praktek – praktek Mossad kepada pemuda Palestina. Mengingat, novel ini diangkat dari kisah nyata berdasarkan dokumen – dokumen milik Badan Rahasia PLO dan catatan pribadi pengarang sebagai mantan perwira Badan Intelijen Mesir.

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Teori Naratif
Teori naratif dalam Studi Media mencoba memahami perangkat dan konvensi yang terstruktur di dalam cerita-cerita, baik yang bersifat khayali maupun nyata, dan pengaruhnya terhadap audien-audien sehingga membuat mereka tertarik mambaca atau menyaksikannya.[7] Studi Media, meskipun tidak terlibat dalam menghasilkan cerita, tetapi akan bertujuan memahami peran sosial dan ideologis cerita. Branigan berpendapat bahwa tujuan tersebut pengorganisasian data spasial dan temporal menjadi rantai sebab-akibat dari peristiwa (awal, tengah dan akhir) yang mencangkup penilaian tentang sifat kejadian. Selain dari itu, teoretisi penting di dalam pendekatan ini adalah Propp, Barthes, Todorov dan Levi-Strauss. Melalui mitos, novel dan cerita rakyat, mereka mencoba memahami bagaimana bentuk-bentuk narasi dan nilai-nilai budaya tertentu.[8]

A.1. Narasi, Cerita dan Plot
Narasi dalam sebuah cerita akan menjelaskan bagaimana cerita-cerita itu diceritakan, bagaimana material cerita itu diseleksi dan diadakan sehingga dapat memengaruhi penonton atau pembaca. Adapun cerita, keseluruhan peristiwa di dalam naratif, disajikan dan disimpulkan secara eksplisit.[9] Demikian juga dengan plot (alur)[10] di dalam istilah sastra Arab dikenal dengan khut}t}ah,[11] yaitu peristiwa-peristiwa di dalam novel dan berhubungan dengan sebab-akibat. Menurut kamus sastra Inggris, plot adalah rencana, desain, skema atau pola peristiwa dalam karya sastra; selanjutnya dengan menampilkan peristiwa dan karakter itu bertujuan mendorong rasa ingin tahu dan ketegangan dari penonton atau pembaca.[12] kemudian Menurut Tzvetan Todorov (lahir tahun 1939), linguis struskturalis asal Bulgaria, biasanya pada situasi awal cerita yang disajikan itu ricuh, kemudian pada akhirnya, situasi itu terselesaikan, tentu saja, melalui intervensi ajaib dari produk yang dijual.[13]

A.2. Oposisi Biner
            Linguistik merupakan salah satu disiplin ilmu yang bisa dimanfaatkan untuk mengkaji kebudayaan. Alasan pertama, menurut Soerjono Soekanto, karena linguistik sendiri merupakan salah satu unsur kebudayaan[14] dan alasan kedua karena keduanya (linguistik dan budaya) memiliki hubungan yang saling memengaruhi. Oleh sebab itu, tidak heran jika ahli antropologi memanfaatkan media linguistik untuk mempelajari masalah kebudayaan.[15] Seperti halnya yang dilakukan Lévi Strauss (1905-2009), antropolog Prancis, menggunakan media linguistik untuk mengkaji kebudayaan. Menurutnya, struktur seluruh makna bergantung pada oposisi biner atau konflik antara dua sifat atau istilah yang ada pada fiksi.[16]

A.3. Karakter
          Vladimir Propp (1985-1970) merupakan kritikus Rusia dan juga penulis cerita rakyat. Bukunya yang terkenal dan sudah diterjemahkan adalah Morfologi Folk Tale (pertama kali diterbitkan pada tahun 1928).[17] Propp telah meneliti ratusan contoh jenis cerita rakyat, yang bersifat wondertale heroik, untuk melihat strukturnya. Dia berpendapat bahwa meskipun pada dasaranya ada perbedaan pada cerita-cerita tersebut, tetapi peran karakter bisa dikelompokkan menjadi delapan, yaitu:
1.      Villian (penjahat)
2.   Hero (pahlawan), atau karakter yang mencari sesuatu dan biasanya pada awal-awal, karakter ini termotivasi karena tak punya uang atau ibu. (Konsep pahlawan di sini tidaklah sama dengan konsep pahlawan di luar, yaitu peran yang biasanya identik dengan tokoh laki-laki dan mempunyai konotasi moral “terpuji” atau “baik.” Namum, pahlawan yang dimaksud di sini dideskripsikan sebagai tokoh yang terlibat aktif dalam peristiwa cerita.)
3.      Donor, yaitu tokoh yang memberikan beberapa properti sihir
4.      Helper (penolong), yaitu tokoh pembantu pahlawan
5.   Princess (putri), yaitu hadiah untuk pahlawan dan tokoh yang menjadi objek kejahatan penjahat
6.      Father (ayah), yaitu tokoh yang memberikan hadiah kepada pahlawan
7.      Dispatcher, yaitu tokoh yang mengirim pahlawan
8.      False hero (pahlawan palsu).[18]

B.   Konsep Metodologi
Hubungan antara sastra dan politik tidak bisa dipisahkan atau dalam bahasa Terry Eagleton (lahir 1943) disebut “ideologi.” Menurutnya, ideologi itu bisa berwujud hukum, politik, agama, etika, estetika dan sebagainya dengan fungsi melegitimasi kekuasaan kelas penguasa dalam masyarakat.[19] Tegas Eagleton, sastra tidak hanya bersifat pasif mencerminkan ideologi, tetapi membuat kita juga “merasa” dan “merasakan” ideologi tersebut.[20] Karya sastra merupakan bentuk persepsi dan sebagai salah satu metode untuk melihat “mentalitas sosial” atau ideologi di masanya.[21] Dengan demikian, termasuk juga novel Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam, erat juga kaitannya dengan politik.
Meskipun dalam sejarahnyasetting peperangan Arab-Israel tahun 1972-1985  merupakan  perang kemenangan Islam, [22] tetapi di dalam novel ini terdapat juga beberapa krisis nasionalisme pada rakyat Palestina. Untuk menemukan krisis nasionalisme tersebut, teori plot Tzvetan Todorov dibantu dengan konsep nasionalisme. Menurut P.H. Collin, nasionalisme yaitu: the desire for political independence by people who have the same cultures (keinginan untuk kemerdekaan politik oleh orang yang memiliki kebudayaan yang sama).[23] Untuk itu, “situasi awal cerita yang ricuh” dalam teori Todorov didefenisikan dengan krisis nasionalisme pada masyarakat Palestina. Seterusnya, maksud “pada akhirnya, situasi itu terselesaikan” adalah timbulnya semangat nasionalisme masyarakat Palestina untuk membela tanah airnya pada akhir cerita novel Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam.
Adapun dalam upaya mencari penyimpangan sistem politik Mossad dalam novel ini berdasarkan teori oposisi biner Lévi Strauss, bisa menggunakan konsep khalifah di dalam sistem dasar politik Islam. Menurut Nu‘ma>n ‘Abd al-Razza>q al-Sa>mira>’i: al-h}aki>m fi> al-niz}a>m al-siya>si> al-Isla>mi> waki>l  ‘an al-ummah, wa-lays mufawwad}an ‘an Alla>h (pemerintah di dalam sistem politik Islam hanyalah wakil rakyat, dan bukanlah [orang] yang diberi kuasa penuh oleh Allah). Hal inilah yang dipraktekkan Abu> Bakr al-S{iddi>q ketika seseorang memanggilnya “ya> khali>fat Alla>h” (wahai khalifah Allah), lalu ia menjawab “ana> khalifat al-Rasu>l” (aku khalifah Rasul).  Kemudian periode pemerintahan sesudahnya, ‘Umar bin al-Khat}t}a>b, ia merasa berat jika dijuluki “khalifah khalifah Rasul” dan ia berkata: kalian orang mukmin, julukilah aku “amirulmukminin.” Pemerintah itu terikat oleh akidah dan syariat Islam, apabila ia keluar dari keduanya, maka jangan mengikutinya.[24] Untuk itu, maksud dua sifat yang berlawanan dalam teori Lévi Strauss ialah sifat pemerintah yang sejalan dengan konsep khalifah dan tidak.
Sementara itu, untuk menjawab kesalahan fatal Mossad dalam merekrut agen berdasarkan teori karakter Vladimir Propp, bisa menggunakan konsep perekrutan agen perspektif Quran. Pada penelitian Fauzun Jamal menyebutkan, terdapat dua konsep rekrutmen personal intelijen di dalam Alquran, yaitu secara terbuka dan tertutup. Dalam perekrutan terbuka, tentunya, aktivitas-aktivitas itu diketahui oleh masyarakat. Adapun  tertutup, setiap aktivitasnya tidak mudah terdeteksi oleh orang lain serta mereka sangat menghindari kegiatan ataupun aktivitas yang mengundang perhatian orang. Baik terbuka maupun tertutup, perekrutannya harus melalui proses analisa yang baik terhadap loyalitas dan kejujuran mereka dalam melaksanakan tugas. Kemudian, individu yang direkrut itu benar-benar orang yang tepat, dapat berperan baik dan terhindar dari kesalahan personal.[25] Oleh sebab itu, karakter villian didefenisikan sebagai tokoh yang merekrut agen dalam cerita ini tidak sejalan dengan konsep perekrutan agen perspektif Alquran, sedangkan hero ialah tokoh yang konsisten dengan konsep perekrutan agen itu.

C.   Studi Kasus
Novel Anak Golda Meir-pun Mememluk Islam ini diterbitkan di majalah Majallah Saudi, edisi Januari-Februari 1990. Kisah ini merupakan kisah nyata yang diangkat ‘Abd Alla>h ‘Isa> berdasarkan dokumentasi milik Badan Rahasia PLO (Palestine Liberation Organization) dan termasuk juga data-data peribadinya tentang Mossad. Kemudian ‘Abd Alla>h ‘Isa> sendiri merupakan mantan perwira Badan Intelijen Mesir dan kini sebagai pakar tentang Mossad. Sebagian peristiwa penting di dalam kisah ini menyajikan berbagai praktek keji Mossad terhadap anak Palestina. Selanjutnya kisah di dalam novel ini merupakan setting tahun 1972-1985.[26]

Sinopsis
Cerita ini dimulai diawali dengan perjalanan Mahmud al-Ayed sebelum dijebak oleh Zaher, salah satu perwira Mossad, menjadi mata-mata untuk Israel. Sebelum sampai di kota Netanya, al-Ayed tinggal di desa Qabatia, sekitar delapan kilo meter dari kota Jenin Selatan. Al-Ayed pemuda yang suka berfoya-foya, mendatangi kafe dan bioskop, meminum minuman keras dan mengganggu gadis-gadis. Selain dari al-Ayed, pemuda Palestina lainnya juga dijebak oleh Zaher, salah satunya Adnan. Meskipun keduanya bekerja untuk Mossad, tetapi Adnan berbeda dengan al-Ayed, karena Adnan aslinya bekerja sebagai mata-mata PLO.
Tugas mereka berdua mendampingi George atau anak Golda Meir mencari informasi tentang rencana PLO di Beirut. Untuk pertama kalinya, tugas itu diberikan ke al-Ayed, tetapi gagal. Al-Ayed tergiur dengan bisnis narkotika, sehingga harus tertahan di Amman dengan hukuman tujuh tahun penjara atas tuduhan perdagangan narkotika secara tidak sah. Berbeda dengan Adnan, ia berhasil dalam tugasnya dan mendapatkan simpati Mossad. Padahal, tugas yang ia jalankan hanyalah sebagai kedok sesuai yang direncanakan PLO.
Setelah tiba di Libanon, Adnan menemui Jawwad Hussein – salah satu anggota Badan Rahasia PLO – dan menceritakan seluruh kejadian yang dialami mendampingi George. Selain dari sumber Adnan, Badan Rahasia PLO juga mengumpulkan berbagai informasi mengenai George dari berbagai sumber. Menurut sumber-sumber itu, George sedang mengalami krisis psikis setelah mengetahui perlakuan kejam Mossad terhadap masyarakat sipil Palestina. Ia tidak menerima perlakuan brutal tersebut juga terjadi di Israel. Mendengar berita tersebut, Ali Bassouni – rekan Jawwad Hussein di PLO – berencana mendekati George secara bertahap. Rencananya merekrut George dengan cara penyadaran tanpa membuatnya merasa direkrut.
Pada pertengahan Mei 1978, Adnan pergi lagi ke Nicosia menemui George. Pada saat yang bersamaan, secara rahasia, beberapa orang Badan Rahasia PLO berangkat ke Nicosia melewati berbagai rute. Di sana, Jawwad Hussein mendekati George dan menceritakan rasialisme dalam politik Israel, yaitu politik yang menghancurkan bangsa Yahudi dan Arab. Pada akhir pertemuan itu, Jawwad Hussein memperkenalkan dirinya sebagai anggota PLO. Tegasnya, yang kuinginkan ialah kerja sama dengan hati nuranimu George dan politik ini harus segera dihentikan.
Setelah mendengar penjelasan Hussein, pada malamnya, kondisi psikis George semakin berat. Akhirnya, ia memutuskan akan berdiri di atas kebenaran dan memeluk agama Islam. Melalui rekannya Adnan, ia serahkan semua dokumen mengenai reaktor nuklir Dimona dan daya kemampuannya memproduksi senjata-senjata nuklir, serta catatan hasil pertemuan yang dilakukan Mossad. Segera dokumen tersebut diserahkan Ali Bassouni kepada Direktur Badan Rahasia PLO. Menurut Ali Bassouni, “operasi ini merupakan pukulan berat bagi Mossad.”
Selain dari itu, George menyerahkan juga dokumen tentang kegiatan-kegiatan kedutaan besar Israel di Eropa dan daftar nama para anggota Mossad yang ditempatkan di benua itu. Termasuk juga informasi tentang alamat pos Mossad yang biasa dipakai para agen badan rahasia itu sebagai sarana komunikasi. Kemudian Pada Maret 1982, George langsung  yang menemui Hussein dan menceritakan tentang rencana pasukan Israel untuk menyerbu Libanon. Segera PLO mempelajari dan mensiasati penyerbuan Israel. Namun, sebelum peristiwa penyerbuan Israel, beberapa bulan sebelum tanggal 6 Juni 1982, Goerge dikabarkan telah gugur dalam peristiwa peledakan markas Mossad di Sidon.

D.   Analisis
Pada bagian ini, novel Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam dianalisis melalui tiga teori naratif, yaitu plot, oposisi biner dan karakter.

D.1. Novel Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam Perspektif Teori Plot Tzvetan Todorov
Cerita ini diawali dari perjalan masa kecil al-Ayed yang tinggal di Desa Qabatia, kawasan pangkalan gerakan perlawanan Palestina yang diduduki Israel.
“pada musim panas 1968 umur al-Ayed belum lebih dari 12 tahun. Suatu pagi ketika ia keluar dari rumahnya, seperti anak-anak lain, ia nelihat suatu pemandangan yang  mengerikan. Seorang lelaki, berumur sekitar 30 tahun, sedang berjalan di depan rumhanya. Jalan di depan rumahnya saat itu sedang lengang. Tiba-tiba seorang lelaki menutupi kepalanya dengan koufiyeh Palestina, mendekati dan menarik picu pistolnya kearah orang itu...Lelaki yang sedang berjalan itu jatuh terkulai.” [27]

Selain dari itu, Al-Ayed menjadi saksi dari peristiwa konflik Arab-Israel. Pada tahun 1976, ia bekerja di kota Netanya pada sebuah bengkel bus Israel “Ejd.” Sehari sebelum al-Ayed  bekerja di sana, ia dan temannya Mustafa jalan-jalan ke pantai di dekat kota Netanya. Di sana, ia diperiksa oleh mata-mata Israel. Menurut mustafa, pemeriksaan itu rutin dilakukan mata-mata Palestina, ketika mereka mendapati fedayeen palestina, segera mereka akan menangkapnya. Pemeriksaan itu rutin dilakukan Intelijen Israel dan mereka memeriksa kartu pengenal orang-orang Arab setiap hari yang ada di tempat itu.[28]
Tidak lama setelah bekerja di bengkel itu, al-Ayed dan temanya Adnan dijebak dan diancam oleh Zaher, perwira Mossad, menjadi mata-mata untuk Israel. Al-Ayed merupakan pemuda Palestina yang direkrut Mossad sebelum Adnan. Pada perekrutan al-Ayed, ia dijebak dengan video mesumnya bersama wanita bayaran Zaher sehingga ia tidak punya pilihan selain bekerja sebagai mata-mata Israel.[29] Sementara Adnan, ia dijebak dengan tuduhan meledakkan bus-bus “Ejd” Israel tempat mereka bekerja.[30] Terlihat al-Ayed sangat menikmati pekerjaan agen itu, berbeda dengan Adnan yang berkerja sebagai agen Mossad untuk mengorek informasi tentang Intelijen Israel. Meskipun Adnan bekerja sebagai mata-mata untuk Israel, tetapi kenyataannya ia agen PLO.
Pada tanggal 24 Februari 1988, “kesadaran baru telah muncul untuk mempertahankan dan membangun kembali negeri mereka yang masih berada di bawah pendudukan Israel.” Warga palestina tidak sabar lagi membiarkan adanya warga mereka mengotori Palestina dan menjadi mata-mata untuk Israel. Bersama-sama mereka mengepung rumah al-Ayed dan salah satu anggota Satuan “77” menembakinya dengan timah panas hingga ia mati. Penembakan itu dilakukan karena al-Ayed nekad melawan warga dan menembaki seorang anak lelaki berumur empat tahun dan melukai tiga belas orang lainnya.
“setelah peristiwa itu sejumlah agen dan mata-mata pasukan penduduk Israel dari kalangan warga desa itu menyerahkan senjata mereka dan menyatakan penyesalan mereka di masjid desa itu. Hal serupa juga terjadi di banyak desa-desa Paletina lainnya, dan juga di kamp-kamp Palestina.”[31]

Melalui plot tersebut, terlihat kritik krisis nasionalisme pada rakyat Palestina. Pada awal tahun 1970-an, rakyat Palestina tidak begitu peduli dengan penjajahan di negerinya. Meskipun banyak dari pemuda dijebak oleh Mossad untuk bekerja sebagai mata-matanya tetapi rakyat Palestina tidak melakukan perlawanan. Semangat nasionalisme mulai muncul pada tahun 1988. Hal itu ditandai dengan penangkapan al-Ayed dan pemuda Plestina lainnya yang bekerja sebagai mata-mata Israel.

D.2. Novel Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam Perspektif Teori Oposisi Biner Lévi-Strauss
Berdasarkan konsep khalifah di dalam sistem dasar politik Islam, oposisi biner cerita ini dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu menghancurkan dan menyelamatkan. Menghancurkan di sini maksudnya ialah politik Israel yang menyimpang dan berencana menghancurkan orang Yahudi dan Arab. Pada bulan Mei 1978, saat George berada di Nicosia bertemu dengan temannya Mikhail. Dalam pertemuan itu, Mikhail mendiskusikan tentang politik Israel. Menurut Mikhail, “politik pemerintah Israel kini lebih banyak dimaksudkan untuk menghancurkan bangsa Yahudi dan Arab.” Sebagaimana yang dilakukan Israel terhadap Libanon, menghancurkan Libanon dan menjadikannya pangkalan militer bagi negara Barat untuk menguasai Timur Tengah.[32]
Politik seperti itu tidak dibenarkan dalam Islam, karena bertentangan dengan tugas pemerintah sebagai wakil rakyat. Tugas manusia di dunia ini, termasuk pemerintah, berkontribusi mengatur bumi berdasarkan syariat Islam, memanfaatkan kekayaan bumi dengan ketentuan Allah dan berlaku adil untuk kemaslahatan umat manusia.[33] Dilihat dari sejarahnya, pada konflik Palestina-Israel, identitas agama sangat mengkristal dan menjadi alat legitimasi dan kekuatan politik. Israel meyakini bahwa Palestina adalah negara yang dijanjikan Tuhan mereka dan mengklaim bahwa Yerussalem sebagai ibukota Israel. Oleh sebab itu, sebagaimana dikutip Nuzul Fitri pendapat Blumer, wajar jika banyak kekerasan terhadap rakyat Palestina, karena merupakan tindakan untuk menunjukkan identitas dan eksistensi mereka.[34] Namun, hal demikian juga tidak dibenarkan, karena sistem politik Israel tidak hanya menghancurkan orang Arab, tetapi juga orang Yahudi.
Kondisi tersebut di atas berbeda dengan politik Palestina, diwakili Mikhail alias Jawwad Husein, dengan tujuan menyelamatkan orang Yahudi dan Arab. Dengan dakwah yang dilakukan, ia berhasil menyadarkan George, meskipun pada dasarnya kesusksesan dakwah menurut Andi Faisal Bakti bukan hanya dilihat dari keberhasilan da’i mengubah orang, tetapi dilihat juga dari cara penyampaiannya. Tegasnya, penyampaian da’i dalam berdakwah harus terang, jelas dan mudah dicerna. Adapun “soal diterima atau tidaknya pesan dakwah bukanlah urusan da’i.”[35]
Di dalam novel ini, Ujar Mikhail, “mari kita bekerjasama untuk melindungi orang-orang Yahudi dan Palestina.”[36] Dakwah Mikhail senada dengan defenisi dakwah menurut Bakti, [37] yaitu tujuan menyadarkan George dengan menceritakan kekejian politik Israel dan segera menghentikannya untuk kemaslahatan manusia. Penjelasan itu disambut baik olehnya, hingga pada bulan September 1978, George memutuskan masuk Islam. Setelah George masuk Islam, dia banyak memberikan informasi penting tentang rencana dan kegiatan Mossad, hingga PLO kali ini berhasil meringkus agen-agen Mossad.

D.3. Novel Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam Perspektif Teori Karakter Vladimir Propp
Adapun karakter hero dan penjahat dalam kisah ini dapat dijelaskan  sebagai berikut:
1.        Villian (Penjahat)
Karekter Zaher di sini sebagai villian. Sebagai perwira Mossad, sebagaimana telah di atas Zaher banyak menjebak pemuda Palestina untuk bekerjasama dengannya dalam memata-matai Intelijen Palestina. Selain dari mengancam, Zaher juga mengiming-ngimin dengan kedudukan dan uang terhadap pemuda Palestina yang direkrut.[38] Namun, Zaher tidak begitu memperhatikan latar belakang pemuda Palestina yang direkrut. Salah satunya, Zaher tidak mengetahui bahwa Adnan itu agen ganda.

2.        Hero
Adnan Ramadhan merupakan tokoh hero dalam cerita ini. Dia salah satu pemuda Palestina yang direkrut Abdurrahman untuk menjadi mata-mata untuk Palestina. Selain dari Adnan, pemuda Palestina lain juga ada yang direkrutnya. Meskipun jumlah mereka sedikit, tetapi mereka bertindak efektif, sistematis dan rapi. Sebelum mendapati tugas memata-matai George, Adnan memata-matai al-Ayed, karena melihat dari gerak-geriknya yang mencurigakan.[39]
Di dalam tugasnya  mendampingi George, Adnan mendapati secara langsung informasi tentang George dan memberitahu ke Abdurrahman. Kemudian pada bulan Mei 1978, George dan Adnan berkunjung ke Nicosia. Di sana, sebuah hotel tempat ia menginap, George bertemu dengan temannya Mikhail, hingga keduanya ngobrol dan diskusi. Ternyata diskusi tersebut menyadarkan George tentang kondisi politik Israel yang keji, yaitu rencana mereka menghancurkan orang Yahudi dan Arab, hingga tidak lama setelahnya, George memutuskan untuk masuk Islam.[40]

BAB III
KESIMPULAN

Tanpa memperhatikan unsur ekstrinsik, analisis terhadap unsur intrinsik sastra saja sudah menjawab objek penelitian. Berdasarkan analisis intrinsik tersebut, novel Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam lahir sebagai kritikan novelis ‘Abd Alla>h I<sa> terhadap kondisi politik Palestina dan Israel. Minimal, terdapat tiga hal dari kritikan tersebut, pertama, termasuk bagian kritik terhadap krisis nasionalisme yang melanda warga Palestina. Warga Palestina pada awal tahun 1970-an tidak begitu peduli dengan penjajahan di negerinya sendiri dan kepedulian itu mulai tumbuh pada tahun 1988. Kedua, novelis juga mengkritik terhadap kekejian politik Israel yang berencana memusnahkan orang Arab dan Yahudi. Meskipun demikian, bahasa yang digunakan tetaplah bahasa yang sopan, meskipun yang disudutkan itu pemerintah Israel.
Ketiga, novel ini juga mengkritik penyimpangan Mossad dalam merekrut agen. Dalam usaha mendapatkan informasi dari PLO, Mossad banyak menjebak pemuda Palestina sendiri untuk tujuan itu. Kesalahan fatal Mossad ialah tidak mencari informasi tentang latar belakang agen-agen yang direkrut, padahal dari mereka ada juga yang bekerja di PLO. Berbeda dengan perekrutan agen yang dilakukan PLO, hanya merekrut pemuda Palestina yang cerdas dan cekatan. Meskipun jumlah mereka sedikit, tetapi mereka bertindak secara efektif, sistematis dan rapi.
‘Abd Alla>h ‘I<sa> menyajikan kondisi intelijen Mossad dan PLO sangat detail, mulai dari cara Mossad merekrut agen, operasi kedua agen Mossad dan PLO, hingga Mossad menyerahkan senjata pada tahun 1988. Memang, beberapa peristiwa di dalamnya diangkat berdasarkan dokumen rahasia milik PLO dan novelis sendiri mantan perwira Badan Intelijen Mesir dan kini sebagai pakar tentang Mossad.
Meskipun novel ini kritik politik ‘Abd Alla>h  ‘I<sa> dalam menyikapi kondisi di perbatasan Palestina dan Israel tahun 1972 – 1985, tetapi cerita utama novel ini menceritakan praktek keji Mossad dalam menjebak pemuda – pemuda Palestina. Hadirnya novel ini merupakan bentuk protes dari novelis terhadap kekejian itu. Agen keamanan Israel sengaja memanfaatkan kelemahan pemuda Palestina. Ada yang diiming-imingi dengan jabatan yang tinggi dan ada juga bayaran yang tinggi. Selain dari itu, ada yang melalui tuduhan pelanggaran, seperti pelaku video mesum dan peledakan atas bus “Ejd.”


DAFTAR PUSTAKA
‘I<sa>, ‘Abd Alla>h. Layali Musad fi> Nataniya, diterjemahkan oleh Ahmad Rofi‘ dengan judul Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam. Bandung: Pustaka, 2004.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. Strukturalisme Lévi-Strauss Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press, 2006.
al-Sa>mira>’i, Nu‘ma>n ‘Abd al-Razza>q. al-Niz}a>m al-Siya>si> fi> al-Isla>m. al-Riya>d}: Fahrasat Maktabat al-Mulk Fahd al-Wat}aniyah Athna>’ al-Nashr, 1418.
Badcock, Christopher R. Lévi – Strauss: Structuralism and Sociological Theory  diterjemahkan oleh Robby Habibah Abror dengan judul Levi – Strauss Strukturalisme dan Teori Sosiologi. Yogyakarta: Insight Reference, 2006.
Bakti, Andi Faisal. “Dakwah dalam Komunikasi.” http://www.andifaisalbakti.net/REPUBLIKA_DAKWAH-DALAM-KOMUNIKASI.pdf (diakses 5 Juni 2015).
Branston, Gill dan Roy Stafford. The Media Student’s Book. London: Routledge, 2003.
Collin, P. H. Dictionary of Politics and Government. London: Bloomsbury, 2004.
Cuddon, J. A. The Penguin Dictionary of Literary Terms and Literary Theory. New York: Penguin Books, 1999.
Dundes, Alan. Binary Opposition in Myth: The Propp/Lévi-Strauss Debate in Retrospect. Western Folklore Vol. 56, No. 1 (Winter 1997): 39-50.
Eagleton, Terry. Marxis and Literary Criticism. London: Taylor & Francis e-Library, 2006.
Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKis, 2008.
Esposito, John L. (ed.). Islam and Development Religion and Sociopolitical, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin dengan judul Identitas Islam pada Perubahan Sosial-Politik. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986.
Fitri, Nuzul. “Intervensi Pihak Ketiga dalam Penyelesaian Konflik Agama: Strategi Solusi Konflik di Palestina – India dan Indonesia.Dialog Vol. 35, No. 1 (Juni 2012): 17-30.
Hudson, Michael C. Arab Politics the Search for Legitimacy. New Haven dan London: Yale University Press, 1977.
Jamal, Fauzun. Konsep Intelijen dalam Pandangan Quran. Jakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2008.
Kamil, Sukron. Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Lizardo, Omar. Beyond the antinomies of structure: Levi-Strauss, Giddens, Bourdieu, and Sewell. Theory and Society Vol. 39, No. 6 (November 2010): 657-658.
Panikkar, K. N. Literature as History of Social Change.” Social Scientist Vol. 40, No. 3/4 (Maret – April 2012), 3-15.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Riedl, Mark O. dan R. Michael.Narrative Planning: Balancing Plot and Character.Journal of Artificial Intelligence Research No. 39 (2010): 217-268.
Sanusi, Ibrahim Chinade. “Structuralism as a Literary Theory: An Overview.” Afrrev Laligens Vol.1, No.1 (Maret 2012): 124-131.
Sha>yib, Ah{mad. Us}u>l al-Naqd al-Adabi>. Kairo: Maktabat al-Nahd}at al-Mis}riyah, 1964.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
Tim Modul Pelatihan LP2I. Panduan Pembinaan Generasi Muda Islam. Bandung: LP2I, 2001.



[1]Disampaikan pada Mata Kuliah Islam, Media, and Politic bersama Prof. Andi Faisal Bakti, M.A., Ph.D.
[2]Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 186-187.
[3]Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 93.
[4]Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, 183.
[5]Ibrahim Chinade Sanusi, “Structuralism as a Literary Theory: An Overview,” Afrrev Laligens Vol.1, No.1 (Maret 2012), 124-131.
[6]Omar Lizardo, “Beyond the Antinomies of Structure: Levi-Strauss, Giddens, Bourdieu, and Sewell,” Theory and Society Vol. 39, No. 6 (November 2010), 657-658.
[7]Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book (London: Routledge, 2003), 32.
[8]Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, 33.
[9]Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, 38.
[10]Mark O. Riedl dan R. Michael Young menyebutkan bahwa plot dalam sebuah cerita adalah hal utama dan penting, karena cerita adalah novel yang memiliki unsur plot yang disusun untuk memiliki efek tertentu pada penonton dari waktu ke waktu. Mark O. Riedl dan R. Michael, “Narrative Planning: Balancing Plot and Character,” Journal of Artificial Intelligence Research No. 39 (2010), 219.
[11]Ah{mad Sha>yib,Us}u>l al-Naqd al-Adabi> (Kairo: Maktabat al-Nahd}at al-Mis}riyah, 1964), 334.
[12]J. A. Cuddon, The Penguin Dictionary of Literary Terms and Literary Theory (New York: Penguin Books, 1999), 676.
[13]Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, 40.
[14]Ada tujuh unsur kebudayaan menurut Soekanto, yaitu: teknologi, ekonomi, hukum, bahasa (linguistik), seni, sistem pengetahuan dan agama. Soerjono Soekanto,Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), 154.
[15]Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Lévi-Strauss Mitos dan Karya Sastra (Yogyakarta: Kepel Press, 2006), 23.
[16]Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, 37-38.
[17]Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, 33. Lihat juga Alan Dundes, “Binary Opposition in Myth: The Propp/Lévi-Strauss Debate in Retrospect,” Western Folklore Vol. 56, No. 1 (Winter 1997), 39.
[18]Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, 33-34.
[19]Terry Eagleton,  Marxis and Literary Criticism (London: Taylor & Francis e-Library, 2006), 2.
[20]However, art does more than just passively reflect that experience. It is held within ideology, but also manages to distance itself from it, to the point where it permits us to ‘feel’ and ‘perceive’ the ideology from which it springs.Terry Eagleton,  Marxis and Literary Criticism, 9.
[21]Terry Eagleton,  Marxis and Literary Criticism, 3. Lihat juga K. N. Panikkar, “Literature as History of Social Change,” Social Scientist Vol. 40, No. 3/4 (Maret – April 2012), 5-6.
[22]Terutama pada perang Arab-Israel tahun 1973 merupakan perang kemenangan Islam, Perang ini bertepatan pada bulan Ramadan dan diberi sandi sebagai perang Badr, karena saat Rasulullah perang Badr (13 Maret 624) juga terjadi pada bulan Ramadan. Pasukan Muslim pada peperangan ini berbeda dengan peperangan tahun 1967 (disebut juga dengan perang “enam hari”) yang mempercayai penuh terhadap perlengkapan militer, sedangkan perang tahun 1973 sangat jelas pekikan terhadap identitas Islam. Bahkan, pada peperangan itu sangat jelas ucapan Alla>h akbar dari pasukan Muslim. Oleh sebab itu, menurut Yvonne Haddad, perang Arab-Israel itu merupakan perang penegasan terhadap identitas Islam. Hal ini berdasarkan pada hasil konferensi Dewan Tertinggi Penelitian Islam bulan Februari 1970 bahwa masalah Palestina dan Israel bukanlah masalah nasional dan politik, tetapi murni masalah identitas Islam. John L. Esposito (ed.), Islam and Development Religion and Sociopolitical, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin dengan judul Identitas Islam pada Perubahan Sosial-Politik (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986), 187-189.
[23]P. H. Collin, Dictionary of Politics and Government (London: Bloomsbury, 2004), 158.
[24]Nu‘ma>n ‘Abd al-Razza>q al-Sa>mira>’i, al-Niz}a>m al-Siya>si> fi> al-Isla>m (al-Riya>d}: Fahrasat Maktabat al-Mulk Fahd al-Wat}aniyah Athna>’ al-Nashr, 1418 H), 17.
[25]Fauzun Jamal, Konsep Intelijen dalam Pandangan Quran (Jakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2008), 77-81.
[26]‘Abd Alla>h ‘Isa>, Layali Musad fi> Nataniya, diterjemahkan oleh Ahmad Rofi‘ dengan judul Anak Golda Meir-pun Memeluk Islam (Bandung: Pustaka, 2004), 174.
[27]‘Abd Alla>h ‘Isa>, Layali Musad fi> Nataniya, 3.
[28]‘Abd Alla>h ‘Isa>, Layali Musad fi> Nataniya, 14.
[29]‘Abd Alla>h ‘Isa>, Layali Musad fi> Nataniya, 24.
[30]‘Abd Alla>h ‘Isa>, Layali Musad fi> Nataniya, 36-41.
[31]‘Abd Alla>h ‘Isa>, Layali Musad fi> Nataniya, 173.
[32]‘Abd Alla>h ‘Isa>, Layali Musad fi> Nataniya, 137-139.
[33]Tim Modul Pelatihan LP2I, Panduan Pembinaan Generasi Muda Islam (Bandung: LP2I, 2001), 12.
[34]Nuzul Fitri, “Intervensi Pihak Ketiga dalam Penyelesaian Konflik Agama: Strategi Solusi Konflik di Palestina – India dan Indonesia,” Dialog Vol. 35, No. 1 (Juni 2012), 18-19.
[35]Andi Faisal Bakti, “Dakwah dalam Komunikasi,” http://www.andifaisalbakti.net/REPUBLIKA_DAKWAH-DALAM-KOMUNIKASI.pdf (diakses 5 Juni 2015).
[36]‘Abd Alla>h ‘Isa>, Layali Musad fi> Nataniya, 139.
[37]Dakwah menurut Andi Faisal Bakti ialah “berusaha mengajak manusia untuk sama-sama membangun dunia ini dengan penuh kedamaian (salam), keadilan, cinta, kasih, etika dan akhlak yang luhur, demi mencapai masyarakat berkeadaban yang hormat menghormati satu sama lain, mengedepankan musyawarah (deliberasi), di atas sunnatullah...”  Andi Faisal Bakti, “Dakwah dalam Komunikasi.”
[38]Seperti halnya Zaher mengiming-ngiming al-Ayed menjadi direkturnya pada perusahaan biro perjalanan dan pariwisata, serta mengiming-ngiming Adnan dengan uang yang banyak. ‘Abd Alla>h ‘Isa>, Layali Musad fi> Nataniya, 18 dan 40.
[39]‘Abd Alla>h ‘Isa>, Layali Musad fi> Nataniya, 30-31.
[40]‘Abd Alla>h ‘Isa>, Layali Musad fi> Nataniya, 69-150.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar