PENGARUH AGAMA ISLAM TERHADAP
SASTRA ARAB
(Komparasi Antara Sastra Arab Jahiliyah dengan Sastra Arab
Masa Islam)
Muhammad Isya
Nim.: 13.2.00.0.06.01.0065
Konsentrasi Bahasa dan Sastra
Arab
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
E-mail: Muhammadisya92@gmail.com
Abstrak
Ada banyak hal yang menjadi
penyebab perubahan sosial di masyarakat dan hal tersebut adalah sikap yang
wajar karena adanya usaha dari masyarakat jahiliyah
sendiri ingin memperbaiki diri dan sikap tidak puas dengan kehidupan yang ada.
Selain dari itu, menurut Pitirim A. Sorokim “adanya perubahan yang terjadi
karena adanya sebuah kebenaran yang dirasakan oleh manusia berdasarkan
kepercayaannya.” Begitu juga dengan pendapat Hanna al-Fakhuri, terdapat
perubahan yang siginfikan pada sastra Arab setelah Alquran diturunkan. Berbeda
dengan pendapatnya Nawal Karim Zarzur (2011) dan Nadiah ‘Atha Khamis (2009) yang menyatakan tidak ada perubahan dari segi
bahasa dan uslub sastra Arab setelah Alquran diturunkan, karena tidak adanya
perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Arab jahiliyah setelah Alquran
diturunkan. Padahal, ada banyak hal yang berubah pada sastra Arab setelah Islam
datang.
Sastra Arab, Sastra Arab Jahiliyah, Sastra Arab Masa Islam, Alquran
A. MENGENAL
SASTRA ARAB
Secara
pengertian, sastra dikenal dengan الأدب di dalam bahasa Arab, yaitu kumpulan teks-teks prosa dan puisi
yang beredar dengan keindahan bentuk serta ungkapannya terhadap ide-ide yang
mempunyai keabadian nilai.[1]
Sementara menurut Hanna al-Fakhuri, sastra merupakan
kumpulan teks-teks tertulis yang terkandung di dalamnya ide-ide baik berupa
karangan atau seni tulisan.[2]
Tampaknya makna ini tidak jauh berbeda dengan sastra Indonesia, yaitu suatu
tulisan yang mempunyai pengertian luas, baik berupa puisi atau prosa dan
nilainya sangat tergantung ekpresi jiwa manusia dan kedalaman pikiran manusia.[3]
Dari defenisi sastra di atas, telah menggambarkan dari wujud atau bentuk
dari sastra itu sendiri, yaitu prosa (al-Nathr) dan puisi (al-Shi‘r).
Prosa adalah bentuk sastra yang dikarang (yang tidak mempunyai ritme dan
majas), sedangkan puisi adalah seni kata yang mempunyai ritme dan majas.[4] Perlu
diketahui bahwa al-Fakhuri membagi jenis sastra Arab ke dalam dua bentuk,
pertama insha’i atau ija’i yang berbentuk prosa dan puisi, kedua wasfi
atau maudhu‘i yang berbentuk ekspresi sastra dan sejarah sastra.[5]
Baik prosa maupun puisi, meskipun masih di dalam satu jenis sastra insha’i
, akan tetapi memiliki tema yang berbeda. Diantara tema-tema puisi adalah al-Hamasah
(keberanian), al-Fakhr (membangga-banggakan), al-Madh (pujian),
al-Ritha’ (ratapan), al-Hija’ (cacian), al-Wasf (mendeskripsikan), al-Ghazal (gombal), al-I‘tidhar
(permintaan maaf). Adapun tema-tema prosa adalah al-Hikmah (kata-kata
bijak), al-Amthal (Peribahasa), Saj‘ al-Kuhhan (mantra), al-Wasiyah
(wasiat), al-Khitabah (Pidato).[6]
Akan tetapi menurut
hemat penulis, tema prosa yang disebutkan oleh Akhmad Muzakki adalah jenis
prosa dan bukan tema prosa. Berikut ini akan dijelaskan komparasi antara dua
tema sastra Arab pada dua periode, yaitu periode Jahiliyah dan Islam.
B.
SASTRA ARAB JAHILIYAH
Adapun tentang sastra Arab Jahiliyah, khususnya jenis sastranya dan temanya
akan dijelaskan sebagai berikut:
1) Prosa
Sebelum penulis mengenal bentuk-bentuk nathr pada
periode Jahilyah, penulis akan mengemukan terlebih dahulu tentang ciri-cirinya,
diantaranya sebagai berikut: ia merupakan susunan kalimat yang sangat pendek,
namun ia memiliki makna yang sangat dalam, maknanya beruang-ulang sebagai
penguat kata sebelum dan sesudahnya, atau yang lebih dikenal dengan ta’kid[7].
Kemudian Ahmad Hasan al-Ziyat menjelaskan bentuk-bentuk prosa yang terdapat pada
masa jahiliyah, adapun rinciannya sebagai berikut:
a.
Al-Khatabah (pidato)
Dalam bahasa Arab, Khatabah merupakan jama‘ dari
kata khutbah yang mempunyai makna pidato.[8]
Secara istilah, khutbah hampir sama dengan puisi yang sama-sama
mempunyai khayal (imajinasi) di dalamnya dan balaghah (gaya
bahasa yang indah) kemudian ia juga mempengaruhi pendengar dengan bahasanya
yang menggelora. Memanfaatkan lisan dan penjelasan yang murni, keanggunan
dialek, dan fasih.[9]
Meskipun masa Jahiliyah ini masyarakat buruk dalam
aqidah, akan tetapi dalam hal kebudayaan, masayarakat Arab sangat kaya.
Sehingga terlihat bahwa khutbah pada masa Jahiliyah sudah baik dari segi balaghahnya,
segi ekspresinya, segi keringkasan kalimatnya, dan segi kejelasannya.[10]Adapun
faktor-faktor yang memicu munculnya pidato pada masa Jahiliyah adalah, 1).
Untuk menyemangati pasukan perang, 2). Menghormati para raja, 3). Untuk
kebanggaan, 4). Untuk mendamaika sengketa, 5). Belasungkawa, 6). Menyampaikan
nasehat, dan 7). Membimbing.[11]
Tokoh prosa pada masa Jahiliyah yang terkenal adalah Qis
bin Sa‘idah al-Ayadiy ( 600 M). Ia merupakan
keturunan Bani Iyad di daerah Najran, sebelah selatan dari Jazirah Arab. Dia
menyeru orang Arab untuk menyembah berhala, tapi juga menyeru manusia agar
menyembah yang kuasa. Dia sering berkhutbah pada saat pesta-pesta umum, dan ia
adalah termasuk orang yang pertama menggunakan kata أما بعد dan yang pertama menggunakan
tombak saat berkhutbah.[12]
Berikut akan ditampilkan contoh dari pidato Qis.
"أيهاالناس ! اسمعوا وعوا، إنه من عاش مات، ومن فات مات، وكل
ما هو آت آت ليل داج، ونهار ساج وسماء ذات أبراج، ونجوم تزهر، وجبال مرساة، وأرض
مدحاة، وأنهار مجراة، إن في السماء لخبرا، وفي الأرض لعبرا، ما بال الناس يذهبون
ولا يرجعون؟ أرضوا فأقاموا؟ أم تركو فنام؟.... يا معشر إياد أين الآباء والأجداد،
وأين الفراعنة الشداد؟
Wahai manusia dengarkanlah, dan ingatlah, siapa pun yang hidup akan mati,
siapa pun yang mati akan binasa, semuanya pasti terjadi. Malam yang gelap,
siang yang tenang, dan langit yang berbintang, ingatlah aku hendak menyampaikan
pesan di padang pasir, dan pelajarang di tempat penguburan! Sesungguhnya ada
berita di langit dan ada pelajaran di bumi, mengapa aku melihat manusia pergi
dan mereka tak kembali? Adakah mereka rela di suatu tempat kemudian
mendiaminya? Ataukah mereka meninggalkan kemudian tidur? Wahai kaum Iyad,
dimana ayah dan kakek? Dimana orang yang sakit dan pengunjungnya.[13]
b.
Amthal (kata bijak)
Amthal merupakan jamak
dari kata mithl yang punya pengertian pepatah, pribahasa.[14]
Jadi, amtsal ialah sebuah pribahasa yang didapatkan melalui
peristiwa-peristiwa atau di Indonesia dikenal dengan kata bijak. Kadang-kadang
ia berbentuk kata-kata hikmah dan kadang-kadang berbentuk untaian puisi,[15]
seperti:
من سار على الدرب وصل
Jika ada kemauan, disana ada jalan.
من يزرع يخصد
Siapa pun yang menanam, maka kelak ia akan memetik hasil.
c.
Hikmah (peribahasa)
Secara bahasa, pengertian hikmah adalah
pepatah, pribahasa.[16]
Sedangkan menurut istilah merupakan kalimat-kalimat yang singkat, mempunyai
makna yang begitu luas, yang didapatkan melalui perjalan manusia, atau dalam
kata lain didapatkan melalui peristiwa penting yang dialami.[17] Contohnya:
آفات الرأي الهوى
Rusaknya argumen disebabkan oleh dorongan hawa nafsu.
d.
Saj‘ al-Kuhan (mantra)
Saj‘ al-Kuhan merupakan mantra-mantra yang dipakai oleh dukun-dukun guna mencapai
tujuannya. Sebagai cirinya, mempunyai bahasa yang tidak jelas dan tidak dimengerti sehingga terlihat asing, selain dari itu
kalimatnya pendek-pendek.[18]
Contohnya:
مصباحه مصباح، وقوله صلاح، ودينه فلاح، وأمره نجاح، وقرنه نطاح ذلت له البطاح،
ما ينفع الصياح، لو وقع الذباح وسلت الصفاح، وموت الرماح.
Lampunya benar-benar
lampu, ucapannya membawa kebaikan, agamanya membahagiakan, urusannya berhasil,
dan tanduknya adalah sapi jantan yang membuat ia tersungur, tidak ada gunanua
teriakan, sekalipun ada pengorbanan, rusuk manusia tercabut, dan mati akibat tusukan
tombak.[19]
2) Puisi
Pada masa Jahiliyah, puisi hanya terdiri dari tiga jenis,
yaitu ghina’i (puisi lirik), qasasi (puisi eptik) dan tamthili
(puisi dramatik). Ghina’i adalah puisi yang berasal dari diri penyair,
merupakan pancaran hati dan ungkapan perasaan. Tentunya akan menggambarkan
keribadaian si pengarang. Qasasi termasuk di dalam sistem peperangan,
menjadi penyemangat kaumnya di dalam bentuk cerita dari sejarah-sejarah
pahlawan dan dinyanyikan. Tamthili adalah puisi yang pendek, dipentaskan
dan agak mirip dengan puisi qasasi kemudian ditujukan mengungkapkan
perasaan penyair dan agak mirip juga dengan Ghina‘i.
Meskipun terlihat bahwa orang Arab mempunyai watak yang
keras di bandingkan dengan orang Indonseia, tetapi perasaan mereka lembut. Pada
masa itu, kedudukan penyair sangat terhormat di masyarakat. Kedudukannya di
atas orator lainnya dan omongannya lebih berpengaruh. Bahkan kedudukan penyair
lebih terhormat dari pemimpin kaum, karena ia memberikan penderangan agi masyarakat. Hal ini terlihat dari perkebangan sastra yang
begitu pesat. Berpuisi sudah menjadi tradisi Arab Jahiliyah baik sedang di
padang pasir, di atas unta dan lain-lain, makanya tidak heran jika puisi Arab
berkembang. ‘Abd al-‘Aziz menjelaskan asumsi penyebab munculnya puisi Arab,
yaitu: 1) berasal dari irama hentakan kaki unta, sehingga muncullah wazan puisi.
2) berasal dari lagu yang sering dinyanyikan di padang pasir.[20]
Tema dan tujuan puisi Arab Jahiliyah tergantung dari fenomena yang berasal dari diri penyair, baik
yang berasal dari kehindupan lingkungan yang alami, maupun kehidupan sosialnya.
Hanna al-Fakhuri menjelaskan tema atau tujuan puisi pada masa Jahiliyah, yaitu:
al-Wasaf (deskripsi), al-Madh (pujian), al-Ritha’ (ratapan),
al-Hija’ (celaan), al-Fakhr (kebanggan), al-Ghazal (gombal),
al-Khamar (minuman keras), al-Zuhud (zuhud), dan al-Hikmah (kata
bijak). Berikut ini akan dijelaskan dari jenis tujuan dan tema tersebut.[21]
Al-Wasaf merupakan tema
puisi yang mendeskripsikan lingkungan sekitar penyair. Biasanya yang
dideskripsikan adalah negara, bumi, laut, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan tanah. Termasuk
juga penampilan, peperangan, majlis dan gurauan. Jelasnya mendeskripsikan hal
semua hal yang didapati oleh penyair.[22]
Diantara penyair yang menggunakan tema al-wasaf dalam puisinya adalah Umru‘ al-Qais, Zuhair
bin Abi Sulma, al-Nabighah al-Zhubyani, dan ‘Antarah al-‘Abasi. Kemudian al-Madh
adalah salah satu tema puisi yang sifatnya memuji keutamaan yang ada pada
masyarakat jahiliyah untuk menyemangatinya. Dalam hal ini bisa saja yang dipuji
adalah kaum maupun seseorang yang menyangkut akhlak maupun perlakuan. Adapun
penyair yang termasyur menggunakan tema ini dalam puisinya adalah Zuhair bin
Abi Sulma,[23]
al-Nabighah al-Zhubyani, dan al-A‘sha.[24]
Adapun al-Ritha’ merupakan tema puisi yang
dilatarbelakangi oleh kesedihan penyair atas terbunuhnya salah satu kaumnya dan
merupan doa juga bagi yang gugur tersebut. Rasa kesedihan dan tangisan
dihadapan jenazah yang dihormati baik keluarga maupun temannya akan diungkapkan
dalam bentuk puisi. Selain al-Ritha’ digunakan oleh ahli keluarga yang
ditinggal mati, digunakan juga oleh pemimpin kaumnya. Penyair yang paling
terkenal menggunakan tema puisi model ini adalah al-Muhalhal dan al-Khunsa’. Al-Hija’
dilatarbelakangi dari sikap benci penyair dengan cara mengungkapkan
kelemahan dari orang yang benci tersebut. kemudian al-Fakhr merupakan
tema yang dipakai oleh penyair dengan tujuan membangga-banggakan moral kaumnya,
akhlak kaumnya yang terpuji, keturunan dan perbuatannya yang mulia. Penyair
yang ternama menggunakan tema ini adalah ‘Antarah, al-Samwa’al, al-Harith bin
Hallazah, ‘Umar bin Kalthum, dan al-A‘sha.[25]
Ketika penyair Arab jatuh cinta, maka ia menggunakan tema
puisinya al-Ghazal. Ketika di kehidupan penyair banyak memikirkan
tentang wanita yang ia cintai, maka penyair menyampaikan hal tersebut melalui
bait-bait puisi. Diantara penyair yang terkenal menggunakan tema ini adalah
al-Hadari, dan Umru‘ al-Qais. Dikarenakan memang kedudukan wanita sangat
ditinjolkan, dimana wanita dipuji bagi kaum penyair.[26]
Kemudian al-Khamar berasal dari Suriah Palestina dan negara Arab
lainnya. Ketika para penyair meminum al-Khamar tersebut, maka mereka pun
mendeskripsikannya dan membangga-banggakannya. Penyair yang terkenal
menggunakan tema ini adalah al-A‘sha dan Tarfah. Adapun tema al-Zuhud digunakan
oleh penyair ketika ia memandang dunia ini akan sirna. Seterusnya al-Hikmah merupakan tema yang digunakan oleh penyair di
dalam bait puisinya tentang sebuah pengalaman hidup, tanpa ada penelitian yang
akurat sebelumnya. Penyair yang memakai tema ini adalah Zuhair bin Abi Sulma,
Wa‘di bin Zaid, dan Umayyah bin Abi al-Sult.[27]
C.
SASTRA ARAB MASA ISLAM
Ketika di jazirah Arab masih terpisahnya antara kehidupan
sosial dan politik, lahirlah seorang bayi yatim dan menghadapi situasi manusia yang
lagi menyembah berhala. Dialah Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaih wa-Sallam, lahir
pada tahun 570 M di kota Mekah. Kemudian
ketika ia mulai tumbuh dewasa, ia menyeru manusia bertauhid dan berIslam.
Masyarakat masih belum bersatu dan kekuatan yang menjadi tantangan Rasulullah
masih kuat untuk dihadapi, hingga beliau dan para pengikutnya hijrah ke Yathrib
(sekarang dikenal dengan Madinah) pada tahun 622 M. Mulai tahun itu juga
menjadi awal perhitungan tahun Hijriyah bagi umat Islam. Setelah di Madinah
umat Islam mempunyai kekuatan, barulah umat Islam menaklukkan Mekah dan Islam
pun berkembang. Sehingga bangsa Arab pada masa itu bersatu dalam kesatuan yang
kokoh dan dibentuklah dasar-dasar pada pemerintahan Arab.[28]
Alquran yang menjadi sumber hukum Islam diturunkan
pertama kali di Mekah sebanyak 92 surat dan Madinah 22 surat. Tentunya surat
yang diturunkan di Mekah banyak menyangkut tentang iman kepada Allah sebagai
pondasi agama yang pertama, karena beriringan dengan kondisi umat pada masa itu
menyembah berhala dan Alquran membantah itu. Kemudian selain dari yang
disebutkan, isi kandungan al-Suwar al-Makiyah (surat Alquran yang diturunkan di Mekah
atau ditujukan untuk orang Mekah waktu itu) mengandung masalah penguatan
risalah kenabian Muhammad Salla Allah ‘Alaih wa-Sallam, ajakan tauhid,
larangan berbuat shirik (menyekutukan Allah) dan kisah-kisah Nabi.[29]
larangan menyembah berhala. Seterusnya tema al-Suwar al-Madaniyah (surat
Alquran yang diturunkan di Madinah atau ditujukan untuk orang Madinah waktu
itu) menyangkut masalah dasar-dasar hukum ibadah dan mu‘amalah yang di dalamnya
terdapat hukum agama seputar puasa, zakat, haji dan sebagainya. Kemudian hukum
ibadah sosial, seperti hukum seputar pernikahan, talak, warisan, keadilan,[30]
penyesalan,[31]
dan lain-lain. Dasar politik seperti peperangan dengan tujuan dakwah dan
mencari rida Allah Subhanahu wa-Ta‘ala.[32]
Uslub (gaya bahasa)
Alquran itu khusus, bukan puisi atau prosa. Terkait dengan uslub, al-Fakhuri
mengutip pendapat Ibn Khaldun dalam komentarnya tentang Alquran. “jika Alquran
itu berbentuk prosa, maka tidak ada yang mutlak di dalamnya dan Aquran juga
bukan sajak. Demikian juga halnya bahwa di dalam bahasa Alquran tidak
mengandung qafiyah (ritme).” Akan tetapi, Alquran mengandung banyak
nilai stilistika baik itu terkait dengan bahasa kisah-kisah di dalamnya, bahasa
hukum-hukum, haji, minta ampunan, pengajaran, dan lain-lain. Kemudian belum
lagi nilai balaghah di dalamnya sangat dalam, seperti tashbih, tamthil,
taukid, dan seterusnya. Makanya dari segi bahasanya Alquran tidak bisa
ditandingi dan itu merupakan kemukjizatannya.[33] Nadiah ‘Atha Khamis mendefenisikan prosa pada masa ini
adalah kata mursal (yang disampaikan) yang tidak terikat oleh wazan (pola
prosa Arab seperti مستفعل) dan qafiyah (ritme). Secara garis besar, Khamis membagi
prosa ke dalam tiga bentuk. Pertama, prosa al-‘Adi yaitu yang digunakan
secara umum oleh manusia baik itu terkait dengan bahasa yang digunakan dan tidak kata ada sumpah di dalam bahasa
tersebut. Kedua, prosa ‘Ilmi yaitu prosa yang mempunyai hakikat ilmiah
pada pengungkapannya dan tidak ada unsur artistik di dalamnya. Ketiga, prosa Fanni
yaitu prosa yang mengandung unsur seni, mempunyai beragam dekorasi,
stilisasi, serta katanya yang dipilih mengandung makna sangat dalam.[34]
Pengaruh Alquran Terhadap Sastra Arab
Menurut Soerjono Soekanto, ada empat hal yang menjadi faktor
pada perubahan sosial, yaitu: bertambah atau berkurangya penduduk, penemuan-penemuan
baru, konflik di masayarkat, dan pemberontakan atau revolusi. Selain dari itu,
Soekanto juga menjelaskan sembilan faktor yang menjadi pendorong pada perubahan
sosial, ialah: kontak dengan kebudayaan lain, sistem pendidikan formal yang
maju, sikap menghargai karya orang lain dan keinginan-keinginan untuk maju,
toleransi, sistem terbuka lapisan masyarakat, penduduk yang heterogen,
ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, orientasi
ke masa depan, dan nilai bahwa manusia harus selalu memperbaiki diri.[35]
Terjadinya perubahan sosial pada masyarakat jahiliyah yang tercermin di dalam
puisinya diakibatkan adanya usaha dari masayarakat jailiyah sendiri ingin
memperbaiki diri dan sikap tidak puas dengan kehidupan yang ada. Selain dari
itu, menurut Pitirim A. Sorokim “adanya perubahan yang terjadi karena adanya
sebuah kebenaran yang dirasakan oleh mansusia berdasarakan kepercayaannya.”[36]
Setelah Alquran diturunkan yang merupakan sumber hukum
pada perubahan sosial masyarakat Muslim memberikan dampak pada perubahan sosial
masyarakat jahiliyah. Selain dari itu, Alquran banyak mengandung di dalamnya
kesatuan dialek Quraish dan itu juga yang menjadi sebab paling kuat dalam penjagaan
keontetikan Alquran, seperti kata-katanya dan uslub. Kemudian oleh
pengaruh Alquran juga menjadi dasar-dasar ilmu agama Islam misalnya Fiqh dan tafsir. Seterusnya juga bagi ilmu bahasa
yaitu bayan, nahu, sharaf dan lain-lain.[37]
Berbeda dengan pendapatnya Nadiah ‘Atha Khamis,
menurutnya tidak ada perubahan yang terjadi pada prosa setelah Islam datang
dengan diturunkan al-Quran, terutama pada uslub dan katanya. Dikarenakan
memang tidak adanya perubahan sosial setelah Islam datang. Kemudian unsur yang
terdapat di dalam prosa yaitu khayal (emosi) juga masih sama dengan masa
jahiliyah. Tegasnya lagi, yang terjadi perubahan itu hanya pada aghrad (dalam
sastra dikenal dengan istilah tema atau tujuan) sastra. Untuk itu, makna prosa
itu mengalami perubahan seiring dengan munculnya Islam karena adanya tujuan
yang baru dibawanya. Melihat dari bahasanya, prosa masa kenabian lebih bagus
daripada prosa pada masa modern, karena prosa masa itu mengandung nilai
artistik secara khusus, kata yang digunakan juga bagus, kemudian ada makna
nasehat di dalamnya.[38]
Sebagaimana yang ungkapkan juga oleh Nawal Karim Zarzur
bahwa memang pada puisi jahiliyah sudah banyak mengadung kesamaan bahasa dengan
Alquran. Artinya, secara kebahasaan tidak ada pengaruh Islam. Dalam penelitian
yang lakukan, ia membandingkan kata al-Bakhl (kikir) di dalam puisi dengan
al-Bakhl di dalam Alquran. Salah satu contonya adalah ayat Alquran surat
Ali ‘Imran, 3: 180.
187. Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari
orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan
isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya," lalu
mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya
dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima.
Terlihat bahwa bahwa al-Bakhl dalam Alquran hanya dikaitkan dengan orang
yang kikir terhdap hartanya, tidak mau berinfak dan berzakat dari harta yang
titipkan Allah kepadanya. Sementara di dalam puisi jahiliyah sudah menggunakan
kata al-Bakhl juga, namun mempunyai makna yang berbeda-beda. Apabila
kata al-Bakhl sama
polanya dengan al-Fa‘lah, maka diartikan hanya berbuat kikir satu kali.
Bisa juga makna al-Bakhl berarti tidak mau bertemu seperti puisi dan ungkapan Laila kepada Umr’
al-Qais
فأعرضتُ عن سلمى وقلتُ لصاحبي
سواءٌ
علينا بخل سلمى وجودها[39]
Aku menjauh dari Sulma dan aku berkata kepada temanku
Sama saja bagi kami dengan Sulma yang tidak mau bertemu dan keberadaanya.
Dilihat dari puisi, yaitu temanya, Alquran banyak
mempengaruhi tema sastra. Puisi misalnya, terlihat pada tema puisi banyak
mengalami perubahan. Tema al-Ritha’[40]
pada masa jahilyah merupakan ungkapan kesedihan penyair atas kematian orang
yang dimuliakan dan ditangisi dalam bentuk puisi. Tentunya ini merupakan
ungkapan kejujuran penyair dengan emosinya dan jiwa yang terguncang. Bisa saja
yang diratapi adalah ayahnya, anaknya, istri dan saudaranya. Selain dari itu,
pada masa jahiliyah penyair meratapi hanya sebatas kepergian jenazah saja tanpa
ada hal lainnya. Berbeda dengan masa kenabian, al-Ritha’ merupakan
kesedihan yang sangat tulus diucapkan dengan bait-bait puisi. Hal itu
disebabkan ajaran Islam sudah sampai ke umat dan sebagaimana diajarkan oleh
Rasulullah sendiri. Meskipun pada masa ini ada tema puisi al-Ritha’, tetapi
kesedihan itu diungkapkan tidak melampaui batas kesadaran penyair. Bisa dilihat
dari puisi Hasan bin Thabit ketika Rasulullah wafat.
وهل عدلت يوما رزية هالك
رزية يوم
مات فيه محمد
تقطع فيه منزلــ الوحي عنهم
وقد كان
ذا نور يغود وينجد
Apakah musibah pada hari ini mengimbangi kehidupan yang fana
Musibah pada hari kematian Muhammad
Terputuslah turunnya wahyu kepada mereka
(Padahal) Wahyu mempunyai cahaya, dia menyelami dan menyelamatkan.
Puisi tersebut di atas merupakan gambaran jiwa
kaum muslimin waktu itu ketika Rasulullah wafat, sehingga mendorong penyair Hasan bin Thabit untuk berpuisi. Bisa dipastikan umat
Muslim belum ada yang menangisi seperti halnya para sahabat Rasulullah menangisi
kepergian beliau. Ketika itu juga para sahabat ragu atas meninggalnya beliau,
seperti ‘Umar bin ‘Affan yang tidak percaya bahwa Rasulullah wafat, hingga
datanglah Abu Bakr al-Siddiq menghibur dan memberi penjelasan kepadanya. Tidak
heran dari kesedihan para sahabat Nabi terhadap Rasulullah, kerena memang
Rasulullah adalah imam dan memberikan petunjuk kekpada mereka baik dalam hal
perkataan dan perbuatannya. Akan tetapi, Ritha’ para sahabat tidaklah seperti Ritha’ masa jahiliyah dahulu. Sahabat meyakini akan
ada pertemuan di syurga nanti bersama Rasulullah. Sedangkan Ritha’ jahiliyah
menganggap orang yang sudah mati tidak akan pernah bertemu lagi di kemudian
hari. Seperti puisi yang ungkapkan Hissan berikut ini:
وليس هو أمي نازعا عن ثنائه
لعلي
به جنة الخلد أخلد
مع مصطفى أرجو بذلك جواره
في
نيل ذاك اليوم أسعى وأجهد
Dia (Rasulullah) ummi (tidak bisa tulis
dan baca) tidaklah menjadi penghalang untuk dipuji
Agar aku bersama dia di syurga
selama-lamanya
Bersama Rasulullah aku berharap
berdekatan
Dalam kedekatan itu ada suatu hari aku
berusaha dan berusaha.
Kemudian terlihat juga bahwa tema al-Ritha’
pada masa kenabian ini banyak mengandung ruh Islam dan Alquran; mengandung
nilai-nilai Islam karena memang ada nilai petunjuk yang dibawanya.[41]
Jika
dibandingkan dengan dengan prosa khutbah masa jahiliyah dengan masa
Rasulullah, terlihat banyak pengaruh dari Islam. Sebagimana yang terlihat pada khutbah
Rasulullah saat Haji Wada‘, yaitu:
الحمد لله نحمده
و نستعينه و نستغفره، و نتوب إليه، و نعوذ ب لله من شرور أنفسنا و من سيئات أعمالنا،
من يهد الله فلا مضل له، و من يضلل فلا هادي له، و أشهد أن لا إله إلا الله و حده لا
شريك له، و أشهد أن محمدا عبده ورسوله.
أو صيكم عباد الله
بتقوى الله، و أحثكم على طاعته، و أستفتح بالذي هو خير.
أما بعد أيها الناس، اسمعوا مني أبين
لكم، فاءني لا أدري لعلي لا ألقاكم بعد عامي فذا، في موقي هذا...[42]
Segala puji bagi Allah yang kita puji, memohon pertolongan, minta ampun dan
bertaubat. Kami berlindung kepada Allah dari segala kejahatan diri kami sendiri
dan keburukan amal kami. Siapa pun yang Allah tunjuki maka ia takkan pernah
sesat dan siapa pun yang Allah sesatkan maka tiada petunjuk atasnya. Aku
bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Nabi Muhammad utusan Allah.
Aku berwasiat kepadamu sekalian
hamba Allah agar bertaqwa kepada-Nya, aku juga mendorongmu untuk mentaati-Nya
dan aku buka khutbah ini dengan hal-hal yang baik.
Wahai manusia, dengarlah apa yang hendak kukatakan. Mungkin setelah tahun
ini, aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian di tempat ini...
Penutup
Tidak bisa
dipungkiri bahwa banyak perubahan sosial yang terjadi pada masyakarat jahiliyah
setelah Islam datang dan hal tersebut terlihat dari sastra Arab. Jika pada masa
jahiliyah sastra Arab hanya sebatas emosi, perjalanan, lingkungan dan hal yang
dialami sastrawan. Akan tetapi, pada masa Islam sudah ada nilai-nilai Islam dan
misi-misi Islam. Pada tema al-Ritha’ misalnya, jika dahulu
dilatarbelakangi dari penyair yang mengalami kesedihan, yaitu ditinggal pergi
oleh seseorang yang ia cintai dan mereka menganggap tidak akan pernah bertemu
lagi. Berbeda dengan al-Ritha’ pada masa kenabian, penyair tetap sedih,
tetapi sedih karena Islam dan hal itu juga tidak secara berlebihan serta keluar
dari nilai Islam. Penyair pun sadar bahwa dunia ini fana dan akan ada masanya
di kemudian hari saat pertemuan itu lagi. Meskipun ada yang menolak bahwa tidak
ada perubahan dari segi bahasa pada sastra Arab ketika Islam datang. Maka dalam
hal ini merupakan pendapat yang keliru. Karena pada prosa misalnya, banyak
pengaruh dari Islam dan Alquran, seperti penggunaan ayat Alquran di dalam prosa
tersebut dan mempunyai nilai Islam sebagai misi dakwah.
[1]Munir Ba‘alnaki, Al-Mawrid al-Asasi Qamus
Inkilizi-‘Arabi (Bayrut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 2002), 534.
[4]Majdi Wahbah dan
Kamil al-Muhandis, Mu'jam al-Mustalahat al-‘Arabiyah fi al-Lughah wa-Adab (Bayrut:
Maktabah Lubnan Sahat Riyadh al-Sulh, 1984), 401 dan 610.
[6]Tema-tema tersebut dikumpulkan oleh Akhmad
Muzakki. Lihat Akhmad Muzakki, Kusasteraan Arab Pengantar Teori dan Terapan (Yogyakarta:
Ar-Ruz Media, 2006), 1-98.
[7]Ahmad Busyrowi, An-Natsru Nasyatuhu wa tathawwuruhu, Padang: Haifa
Press, 2009, hal. 18- 17
[8]Munir Ba‘alnaki, Al-Mawrid al-Asasi Qamus
Inkilizi-‘Arabi, 886.
[10]Ahmad Busyrowi, Al-Nathr al-Nash’atuh wa-Tatawwuruh, 18- 17.
[11]Faktor-faktor ini dikutip oleh Akhmad
Muzakki dari pendapat Hasan al-Nas. Lihat Akhmad Muzakki, Kusasteraan Arab
Pengantar Teori dan Terapan, 92.
[12]Ahmad Busyrowi, Al-Nathr al-Nash’atuh wa-Tatawwuruh, 3
[13]Teks tersebut di atas dierjemahkan oleh
Akhmad Muzakki. Lihat Akhmad Muzakki, Kusasteraan Arab Pengantar Teori dan
Terapan, 54.
[14]Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998), 218.
[15]Ahmad Busyrowi, Al-Nathr al-Nash’atuh wa-Tatawwuruh, 2.
[16]Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia , 787.
[18]Akhmad Muzakki, Kusasteraan Arab Pengantar
Teori dan Terapan, 94.
[19]Teks ini dikutip oleh Akhmad Muzakki
melalui bukunya Husain al-Hajj Hasan, Adab al-‘Arab fi ‘Asr al-Jahiliyah (Bayrut:
1990), 250. Akhmad Muzakki, Kusasteraan
Arab Pengantar Teori dan Terapan, 94.
[20]‘Abd al-‘Aziz, Al-Adab al-‘Arabi wa-al-Tarikh (Riyad:
al-Mamlakat al-‘Arabiyat al-Su‘udiyat, 1405 H), 53.
[22]Seperti halnya penyair mendeskripsikan
tentang kapal dan laut, karena memang ia sedang mengalami saat di atas kapal.
Seperti puisinya Umayyah saat ia mengingat kejadian di dalam kapal.
ترفع في جري كان أطيطه # صريف محال تستعيد الدواليا
على ظهر جون لم يعد لراكب #
سراه وغيم ألبس الماء داجيا
Di dalam puisi ini Umyyah ingat laut yang dilalui oleh kapal, air yang
luas, banyak dan belum pernah ia jadi nahkoda sebelumnya. Sa‘d Khadir ‘Abbas,
“al-Safinat wa-al-Bahr fi Shi‘r al-Jahili,” Journal of the College of Basic
Education 15 (2010), 1-12, http://iasj.net/iasj?func=fulltext&aId=10765
(diakses 28 Desember 2014).
[23]Bahkan tentang tema al-Madh
pada puisi Zuhair bin Abi Sulma sudah ada yang membahasnya pada tahun 2008. Pada BaB I penelitian itu
memabahas tentang defenisi al-Madh secara umum, kemudian dihubungkan
dengan jenis Bahar (dalam pelajaran Sastra Arab mata kuliah ‘Arud
Qawafi) yang digunakan di dalam puisi tersebut. Bab II menjelaskan tentang
hakikat al-Madh di dalam puisi-puisi Zuhair bin Abi Sulma. Bab III
adalah Bab terakhir yang menjelaskan tentang karakteristik puisi-puisi Zuhair
bin Abi Sulma, kemudian dijelaskan juga dari segi balaghah (stilistika),
seperti penggunaan tashbih, isti‘arah di dalam puisi tersebut, sehingga
terlihatlah keindahan dari puisi-puisinya. Lihat penelitian Sa‘d Khadir ‘Abbas,
“al-Madih fi Shi‘r Zuhair bin Abi Sulma,” Al-Fatih journal 2 (2008), 189-196 http://iasj.net/iasj?func= fulltext&aId=17400
(diakses 29 Desember 2014).
[26]Kedudukan wanita pada puisi jahiliyah
sangat terhormat, seperti salah satu contohnya jika orang Arab itu memuliakan
salah seorang ibu, maka ia memberi gelar ibu itu dengan nama anaknya. Seperti Umm al-Fadl istrinya al-‘Abbas bin
‘Abd al-Mutalib pamannya Rasulullah, yaitu Lubabah binti al-Harith bin Huzn bin
Bajir bin Hilaliyah, karena salah satu nama anaknya Fadl, maka ia digelari
dengan Umm al-Fadl, seperti perkataannya ‘Abd Allah bin Yazid al-Hilali:
ما ولدت نجيبة من فحل #
كسته من بطن أم الفضل
Tidaklah lahir yang mulia dari fisik yang kuat # dilahirkan dari perut Umm al-Fadl. Lihat Ra’idah Mahdi Jabir, “Daur al-Mar’ah fi al-Si‘r
al-Jahili,” Basic Education College Magazine For Educational and Humanities
Sciences 1(2010), 23-34, http://iasj.net/iasj?func=fulltext&aId=74735
(diakses 28 Desember 2014).
[29]Salah satunya tentang
kisah Nabi Dawd dan Sulaiman di dalam Alquran yang diteli oleh Taj al-Din
Amajid ‘Abd al-Mun‘im. Dalam penelitian itu membahas tentang fitnah yang
menimpa kedua Nabi tersebut yang terdapat di dalam Alquran. Taj al-Din Amajid
‘Abd al-Mun‘im, “Fitnata Dawd wa-Sulayman (‘Alayhima al-Salam) fi al-Qur’an
al-Karim,” Journal of Surra Man Raa 7 (2011), 120-134, http://iasj.net/iasj?func=fulltext&aId=20700 (diakses 30 Desember
2014).
[30]Tema keadilan dalam
Alquran sudah menjadi bahan kajian menarik. Pada penelitian yang dilakukan oleh
peneliti Timur Tengah Mahmud ‘Idan Ahmad (2011). Dalam penelitian tersebut, Bab
I membahas tentang konsep adil menurut bahasa. Bab II membahas tentang ayat
Alquran yang berbicara tentang keadilan. Bab III menjelaskan tentang tema-tema
adil dalam Alquran, karena bagaimana pun adil adalah perintah Allah dan para
Nabi. Kemudian membahas juga tentang hal-hal yang menjadi syarat dalam
melakukan keadilan. Lihat Mahmud ‘Idan Ahmad, “al-‘Adl fi al-Qur’an; Dirasat
Mawdu‘iyat,” Tikrit University Journal For Sientific Asslmic 8 (2011),
1-24, http://iasj.net/iasj? func=fulltext&aId=22655
(diakses 30 Desember 2014).
[31]Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Bashshar ‘Abd al-Latif menyimpulkan bahwa penyesalan di dalam
Alquran bisa dikelompokkan menjadi dua bentuk. Pertama, penyesalan dunia
merupakan penyesalan yang bermanfaat bagi manusia sebelum kematian. Kedua,
penyesalan yang tidak bermanfaat lagi karena sudah berada di akhirat. Bashshar
‘Abd al-Latif, “al-Nadam fi al-Qur’an al-Karim,” Journal of Research Diyala
humanity 50 (2011), 29-70, http://iasj.net/iasj?func=fulltext&aId=17959
(diakses 30 Desember 2014).
[34]Nadiah
‘Atha Khamis, “al-Nathr al-Fanni fi ‘Ashr al-Nubuwah,” Journal of
Al-qadisiya in arts and educational sciense 8 (2009), 131-148, http://iasj.net/iasj?func=fulltext&aId=13468
(diakses 27 Desember 2014).
[36]Pendapat ini dikutip oleh Soerjono
Soekanto melalui bukunya Pitirim A. Sorokin, Social and Cultural Dynamics (Boston:
Pargent, 1957). Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 269.
[38]Nadiah ‘Atha Khamis, “al-Nathr al-Fanni fi ‘Ashr
al-Nubuwah,” 131-148.
[39]Nawal Karim Zarzur, “al-Tatawwur al-Dilali li Alfaz al-Bukhl Bayn
Lughat al-Shi‘r al-Jahili wa-al-Lughat al-Qur’an al-Karim,” Al-Mustansiriya
Journal of Arts 54 (2011), 1-43, http://iasj.net/iasj?func=fulltext&aId=38676 (diakses 28 Desember
2014).
[40]Melihat dari katanya, al-Ritha’ mempunyai
padanan kata yaitu الرث، الرثة، الرثيث، مرثاة،رثاء
yang punya pengertian
ratapan tetapi jika
digabungkan dengan kata اليت
yaitu رثيث الميت
artinya meratapi jenazah. Lihat Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia, 958-959.
[41]‘Azhra’ ‘Awdah Husain,
“Ritha’ fi al-Shi‘r al-Jahili wa-Islam,” Alustath 1 (2014), 143-152, http://iasj.net/iasj?func=fulltext&aId =93500
(diakses 28 Desember 2014).
[42]Sebenarnya
teks khutbah Haji Wada‘ ini panjang dan banyak mengandung pesan-pesan
tekahir Rasulullah, namun penulis mengambil pendahuluannya saja untuk
membandingkan dengan prosa masa jahiliyah. Lihat Wirdayanti dan Ahmad Busyrowi, Min al-Nusus
al-Adabiyat
(Padang: Haifa
Press Padang, 2009), 101-102.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar