Senin, 12 Januari 2015

PENGARUH AGAMA ISLAM TERHADAP SASTRA ARAB

PENGARUH AGAMA ISLAM TERHADAP SASTRA ARAB
(Komparasi Antara Sastra Arab Jahiliyah dengan Sastra Arab Masa Islam)

Muhammad Isya
Nim.: 13.2.00.0.06.01.0065
Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
E-mail: Muhammadisya92@gmail.com
Abstrak
Ada banyak hal yang menjadi penyebab perubahan sosial di masyarakat dan hal tersebut adalah sikap yang wajar karena adanya usaha dari masyarakat jahiliyah sendiri ingin memperbaiki diri dan sikap tidak puas dengan kehidupan yang ada. Selain dari itu, menurut Pitirim A. Sorokim “adanya perubahan yang terjadi karena adanya sebuah kebenaran yang dirasakan oleh manusia berdasarkan kepercayaannya.” Begitu juga dengan pendapat Hanna al-Fakhuri, terdapat perubahan yang siginfikan pada sastra Arab setelah Alquran diturunkan. Berbeda dengan pendapatnya Nawal Karim Zarzur (2011) dan Nadiah ‘Atha Khamis (2009) yang menyatakan tidak ada perubahan dari segi bahasa dan uslub sastra Arab setelah Alquran diturunkan, karena tidak adanya perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Arab jahiliyah setelah Alquran diturunkan. Padahal, ada banyak hal yang berubah pada sastra Arab setelah Islam datang.

Sastra Arab, Sastra Arab Jahiliyah, Sastra Arab Masa Islam, Alquran

A.   MENGENAL SASTRA ARAB
Secara pengertian, sastra dikenal dengan الأدب di dalam bahasa Arab, yaitu kumpulan teks-teks prosa dan puisi yang beredar dengan keindahan bentuk serta ungkapannya terhadap ide-ide yang mempunyai keabadian nilai.[1] Sementara menurut Hanna al-Fakhuri, sastra merupakan kumpulan teks-teks tertulis yang terkandung di dalamnya ide-ide baik berupa karangan atau seni tulisan.[2] Tampaknya makna ini tidak jauh berbeda dengan sastra Indonesia, yaitu suatu tulisan yang mempunyai pengertian luas, baik berupa puisi atau prosa dan nilainya sangat tergantung ekpresi jiwa manusia dan kedalaman pikiran manusia.[3]
Dari defenisi sastra di atas, telah menggambarkan dari wujud atau bentuk dari sastra itu sendiri, yaitu prosa (al-Nathr) dan puisi (al-Shi‘r). Prosa adalah bentuk sastra yang dikarang (yang tidak mempunyai ritme dan majas), sedangkan puisi adalah seni kata yang mempunyai ritme dan majas.[4] Perlu diketahui bahwa al-Fakhuri membagi jenis sastra Arab ke dalam dua bentuk, pertama insha’i atau ija’i yang berbentuk prosa dan puisi, kedua wasfi atau maudhu‘i yang berbentuk ekspresi sastra dan sejarah sastra.[5]
Baik prosa maupun puisi, meskipun masih di dalam satu jenis sastra insha’i , akan tetapi memiliki tema yang berbeda. Diantara tema-tema puisi adalah al-Hamasah (keberanian), al-Fakhr (membangga-banggakan), al-Madh (pujian), al-Ritha’ (ratapan), al-Hija’ (cacian), al-Wasf  (mendeskripsikan), al-Ghazal (gombal), al-I‘tidhar (permintaan maaf). Adapun tema-tema prosa adalah al-Hikmah (kata-kata bijak), al-Amthal (Peribahasa), Saj‘ al-Kuhhan (mantra), al-Wasiyah (wasiat), al-Khitabah (Pidato).[6] Akan tetapi menurut hemat penulis, tema prosa yang disebutkan oleh Akhmad Muzakki adalah jenis prosa dan bukan tema prosa. Berikut ini akan dijelaskan komparasi antara dua tema sastra Arab pada dua periode, yaitu periode Jahiliyah dan Islam.

B.   SASTRA ARAB JAHILIYAH
Adapun tentang sastra Arab Jahiliyah, khususnya jenis sastranya dan temanya akan dijelaskan sebagai berikut:
1)     Prosa
Sebelum penulis mengenal bentuk-bentuk nathr pada periode Jahilyah, penulis akan mengemukan terlebih dahulu tentang ciri-cirinya, diantaranya sebagai berikut: ia merupakan susunan kalimat yang sangat pendek, namun ia memiliki makna yang sangat dalam, maknanya beruang-ulang sebagai penguat kata sebelum dan sesudahnya, atau yang lebih dikenal dengan ta’kid[7]. Kemudian Ahmad Hasan al-Ziyat menjelaskan bentuk-bentuk prosa yang terdapat pada masa jahiliyah, adapun rinciannya sebagai berikut:
a.         Al-Khatabah (pidato)
Dalam bahasa Arab, Khatabah merupakan jama‘ dari kata khutbah yang mempunyai makna pidato.[8] Secara istilah, khutbah hampir sama dengan puisi yang sama-sama mempunyai khayal (imajinasi) di dalamnya dan balaghah (gaya bahasa yang indah) kemudian ia juga mempengaruhi pendengar dengan bahasanya yang menggelora. Memanfaatkan lisan dan penjelasan yang murni, keanggunan dialek, dan fasih.[9]
Meskipun masa Jahiliyah ini masyarakat buruk dalam aqidah, akan tetapi dalam hal kebudayaan, masayarakat Arab sangat kaya. Sehingga terlihat bahwa khutbah pada masa Jahiliyah sudah baik dari segi balaghahnya, segi ekspresinya, segi keringkasan kalimatnya, dan segi  kejelasannya.[10]Adapun faktor-faktor yang memicu munculnya pidato pada masa Jahiliyah adalah, 1). Untuk menyemangati pasukan perang, 2). Menghormati para raja, 3). Untuk kebanggaan, 4). Untuk mendamaika sengketa, 5). Belasungkawa, 6). Menyampaikan nasehat, dan 7). Membimbing.[11]
Tokoh prosa pada masa Jahiliyah yang terkenal adalah Qis bin Sa‘idah al-Ayadiy ( 600 M).  Ia merupakan keturunan Bani Iyad di daerah Najran, sebelah selatan dari Jazirah Arab. Dia menyeru orang Arab untuk menyembah berhala, tapi juga menyeru manusia agar menyembah yang kuasa. Dia sering berkhutbah pada saat pesta-pesta umum, dan ia adalah termasuk orang yang pertama menggunakan kata أما بعد dan yang pertama menggunakan tombak saat berkhutbah.[12] Berikut akan ditampilkan contoh dari pidato Qis.
"أيهاالناس ! اسمعوا وعوا، إنه من عاش مات، ومن فات مات، وكل ما هو آت آت ليل داج، ونهار ساج وسماء ذات أبراج، ونجوم تزهر، وجبال مرساة، وأرض مدحاة، وأنهار مجراة، إن في السماء لخبرا، وفي الأرض لعبرا، ما بال الناس يذهبون ولا يرجعون؟ أرضوا فأقاموا؟ أم تركو فنام؟.... يا معشر إياد أين الآباء والأجداد، وأين الفراعنة الشداد؟
Wahai manusia dengarkanlah, dan ingatlah, siapa pun yang hidup akan mati, siapa pun yang mati akan binasa, semuanya pasti terjadi. Malam yang gelap, siang yang tenang, dan langit yang berbintang, ingatlah aku hendak menyampaikan pesan di padang pasir, dan pelajarang di tempat penguburan! Sesungguhnya ada berita di langit dan ada pelajaran di bumi, mengapa aku melihat manusia pergi dan mereka tak kembali? Adakah mereka rela di suatu tempat kemudian mendiaminya? Ataukah mereka meninggalkan kemudian tidur? Wahai kaum Iyad, dimana ayah dan kakek? Dimana orang yang sakit dan pengunjungnya.[13]

b.        Amthal (kata bijak)
Amthal merupakan jamak dari kata mithl yang punya pengertian pepatah, pribahasa.[14] Jadi, amtsal ialah sebuah pribahasa yang didapatkan melalui peristiwa-peristiwa atau di Indonesia dikenal dengan kata bijak. Kadang-kadang ia berbentuk kata-kata hikmah dan kadang-kadang berbentuk untaian puisi,[15] seperti:
من سار على الدرب وصل
Jika ada kemauan, disana ada jalan.
من يزرع يخصد
Siapa pun yang menanam, maka kelak ia akan memetik hasil.

c.       Hikmah (peribahasa)
Secara bahasa, pengertian hikmah adalah pepatah, pribahasa.[16] Sedangkan menurut istilah merupakan kalimat-kalimat yang singkat, mempunyai makna yang begitu luas, yang didapatkan melalui perjalan manusia, atau dalam kata lain didapatkan melalui peristiwa penting yang dialami.[17] Contohnya:
آفات الرأي الهوى
     Rusaknya argumen disebabkan oleh dorongan hawa nafsu.

d.      Saj‘ al-Kuhan (mantra)
Saj‘ al-Kuhan merupakan mantra-mantra yang dipakai oleh dukun-dukun guna mencapai tujuannya. Sebagai cirinya, mempunyai bahasa yang tidak jelas dan tidak dimengerti sehingga terlihat asing, selain dari itu kalimatnya pendek-pendek.[18] Contohnya:
مصباحه مصباح، وقوله صلاح، ودينه فلاح، وأمره نجاح، وقرنه نطاح ذلت له البطاح، ما ينفع الصياح، لو وقع الذباح وسلت الصفاح، وموت الرماح.
Lampunya benar-benar lampu, ucapannya membawa kebaikan, agamanya membahagiakan, urusannya berhasil, dan tanduknya adalah sapi jantan yang membuat ia tersungur, tidak ada gunanua teriakan, sekalipun ada pengorbanan, rusuk manusia tercabut, dan mati akibat tusukan tombak.[19]


2)     Puisi
Pada masa Jahiliyah, puisi hanya terdiri dari tiga jenis, yaitu ghina’i (puisi lirik), qasasi (puisi eptik) dan tamthili (puisi dramatik). Ghina’i adalah puisi yang berasal dari diri penyair, merupakan pancaran hati dan ungkapan perasaan. Tentunya akan menggambarkan keribadaian si pengarang. Qasasi termasuk di dalam sistem peperangan, menjadi penyemangat kaumnya di dalam bentuk cerita dari sejarah-sejarah pahlawan dan dinyanyikan. Tamthili adalah puisi yang pendek, dipentaskan dan agak mirip dengan puisi qasasi kemudian ditujukan mengungkapkan perasaan penyair dan agak mirip juga dengan Ghina‘i.
Meskipun terlihat bahwa orang Arab mempunyai watak yang keras di bandingkan dengan orang Indonseia, tetapi perasaan mereka lembut. Pada masa itu, kedudukan penyair sangat terhormat di masyarakat. Kedudukannya di atas orator lainnya dan omongannya lebih berpengaruh. Bahkan kedudukan penyair lebih terhormat dari pemimpin kaum, karena ia memberikan penderangan  agi masyarakat.  Hal ini terlihat dari perkebangan sastra yang begitu pesat. Berpuisi sudah menjadi tradisi Arab Jahiliyah baik sedang di padang pasir, di atas unta dan lain-lain, makanya tidak heran jika puisi Arab berkembang. ‘Abd al-‘Aziz menjelaskan asumsi penyebab munculnya puisi Arab, yaitu: 1) berasal dari irama hentakan kaki unta, sehingga muncullah wazan puisi. 2) berasal dari lagu yang sering dinyanyikan di padang pasir.[20]
Tema dan tujuan puisi Arab Jahiliyah tergantung dari  fenomena yang berasal dari diri penyair, baik yang berasal dari kehindupan lingkungan yang alami, maupun kehidupan sosialnya. Hanna al-Fakhuri menjelaskan tema atau tujuan puisi pada masa Jahiliyah, yaitu: al-Wasaf (deskripsi), al-Madh (pujian), al-Ritha’ (ratapan), al-Hija’ (celaan), al-Fakhr (kebanggan), al-Ghazal (gombal), al-Khamar (minuman keras), al-Zuhud (zuhud), dan al-Hikmah (kata bijak). Berikut ini akan dijelaskan dari jenis tujuan dan tema tersebut.[21]
Al-Wasaf merupakan tema puisi yang mendeskripsikan lingkungan sekitar penyair. Biasanya yang dideskripsikan adalah negara, bumi, laut, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan tanah. Termasuk juga penampilan, peperangan, majlis dan gurauan. Jelasnya mendeskripsikan hal semua hal yang didapati oleh penyair.[22] Diantara penyair yang menggunakan tema al-wasaf  dalam puisinya adalah Umru‘ al-Qais, Zuhair bin Abi Sulma, al-Nabighah al-Zhubyani, dan ‘Antarah al-‘Abasi. Kemudian al-Madh adalah salah satu tema puisi yang sifatnya memuji keutamaan yang ada pada masyarakat jahiliyah untuk menyemangatinya. Dalam hal ini bisa saja yang dipuji adalah kaum maupun seseorang yang menyangkut akhlak maupun perlakuan. Adapun penyair yang termasyur menggunakan tema ini dalam puisinya adalah Zuhair bin Abi Sulma,[23] al-Nabighah al-Zhubyani, dan al-A‘sha.[24]
Adapun al-Ritha’ merupakan tema puisi yang dilatarbelakangi oleh kesedihan penyair atas terbunuhnya salah satu kaumnya dan merupan doa juga bagi yang gugur tersebut. Rasa kesedihan dan tangisan dihadapan jenazah yang dihormati baik keluarga maupun temannya akan diungkapkan dalam bentuk puisi. Selain al-Ritha’ digunakan oleh ahli keluarga yang ditinggal mati, digunakan juga oleh pemimpin kaumnya. Penyair yang paling terkenal menggunakan tema puisi model ini adalah al-Muhalhal dan al-Khunsa’. Al-Hija’ dilatarbelakangi dari sikap benci penyair dengan cara mengungkapkan kelemahan dari orang yang benci tersebut. kemudian al-Fakhr merupakan tema yang dipakai oleh penyair dengan tujuan membangga-banggakan moral kaumnya, akhlak kaumnya yang terpuji, keturunan dan perbuatannya yang mulia. Penyair yang ternama menggunakan tema ini adalah ‘Antarah, al-Samwa’al, al-Harith bin Hallazah, ‘Umar bin Kalthum, dan al-A‘sha.[25]
Ketika penyair Arab jatuh cinta, maka ia menggunakan tema puisinya al-Ghazal. Ketika di kehidupan penyair banyak memikirkan tentang wanita yang ia cintai, maka penyair menyampaikan hal tersebut melalui bait-bait puisi. Diantara penyair yang terkenal menggunakan tema ini adalah al-Hadari, dan Umru‘ al-Qais. Dikarenakan memang kedudukan wanita sangat ditinjolkan, dimana wanita dipuji bagi kaum penyair.[26] Kemudian al-Khamar berasal dari Suriah Palestina dan negara Arab lainnya. Ketika para penyair meminum al-Khamar tersebut, maka mereka pun mendeskripsikannya dan membangga-banggakannya. Penyair yang terkenal menggunakan tema ini adalah al-A‘sha dan Tarfah. Adapun tema al-Zuhud digunakan oleh penyair ketika ia memandang dunia ini akan sirna. Seterusnya al-Hikmah  merupakan tema yang digunakan oleh penyair di dalam bait puisinya tentang sebuah pengalaman hidup, tanpa ada penelitian yang akurat sebelumnya. Penyair yang memakai tema ini adalah Zuhair bin Abi Sulma, Wa‘di bin Zaid, dan Umayyah bin Abi al-Sult.[27]

C.   SASTRA ARAB MASA ISLAM
Ketika di jazirah Arab masih terpisahnya antara kehidupan sosial dan politik, lahirlah seorang bayi yatim dan menghadapi situasi manusia yang lagi menyembah berhala. Dialah Nabi Muhammad Salla Allah ‘Alaih wa-Sallam, lahir pada tahun 570 M  di kota Mekah. Kemudian ketika ia mulai tumbuh dewasa, ia menyeru manusia bertauhid dan berIslam. Masyarakat masih belum bersatu dan kekuatan yang menjadi tantangan Rasulullah masih kuat untuk dihadapi, hingga beliau dan para pengikutnya hijrah ke Yathrib (sekarang dikenal dengan Madinah) pada tahun 622 M. Mulai tahun itu juga menjadi awal perhitungan tahun Hijriyah bagi umat Islam. Setelah di Madinah umat Islam mempunyai kekuatan, barulah umat Islam menaklukkan Mekah dan Islam pun berkembang. Sehingga bangsa Arab pada masa itu bersatu dalam kesatuan yang kokoh dan dibentuklah dasar-dasar pada pemerintahan Arab.[28]
Alquran yang menjadi sumber hukum Islam diturunkan pertama kali di Mekah sebanyak 92 surat dan Madinah 22 surat. Tentunya surat yang diturunkan di Mekah banyak menyangkut tentang iman kepada Allah sebagai pondasi agama yang pertama, karena beriringan dengan kondisi umat pada masa itu menyembah berhala dan Alquran membantah itu. Kemudian selain dari yang disebutkan, isi kandungan al-Suwar al-Makiyah  (surat Alquran yang diturunkan di Mekah atau ditujukan untuk orang Mekah waktu itu) mengandung masalah penguatan risalah kenabian Muhammad Salla Allah ‘Alaih wa-Sallam, ajakan tauhid, larangan berbuat shirik (menyekutukan Allah) dan kisah-kisah Nabi.[29] larangan menyembah berhala. Seterusnya tema al-Suwar al-Madaniyah (surat Alquran yang diturunkan di Madinah atau ditujukan untuk orang Madinah waktu itu) menyangkut masalah dasar-dasar hukum ibadah dan mu‘amalah yang di dalamnya terdapat hukum agama seputar puasa, zakat, haji dan sebagainya. Kemudian hukum ibadah sosial, seperti hukum seputar pernikahan, talak, warisan, keadilan,[30] penyesalan,[31] dan lain-lain. Dasar politik seperti peperangan dengan tujuan dakwah dan mencari rida Allah Subhanahu wa-Ta‘ala.[32]
Uslub (gaya bahasa) Alquran itu khusus, bukan puisi atau prosa. Terkait dengan uslub, al-Fakhuri mengutip pendapat Ibn Khaldun dalam komentarnya tentang Alquran. “jika Alquran itu berbentuk prosa, maka tidak ada yang mutlak di dalamnya dan Aquran juga bukan sajak. Demikian juga halnya bahwa di dalam bahasa Alquran tidak mengandung qafiyah (ritme).” Akan tetapi, Alquran mengandung banyak nilai stilistika baik itu terkait dengan bahasa kisah-kisah di dalamnya, bahasa hukum-hukum, haji, minta ampunan, pengajaran, dan lain-lain. Kemudian belum lagi nilai balaghah di dalamnya sangat dalam, seperti tashbih, tamthil, taukid, dan seterusnya. Makanya dari segi bahasanya Alquran tidak bisa ditandingi dan itu merupakan kemukjizatannya.[33] Nadiah ‘Atha Khamis mendefenisikan prosa pada masa ini adalah kata mursal (yang disampaikan) yang tidak terikat oleh wazan (pola prosa Arab seperti مستفعل) dan qafiyah (ritme). Secara garis besar, Khamis membagi prosa ke dalam tiga bentuk. Pertama, prosa al-‘Adi yaitu yang digunakan secara umum oleh manusia baik itu terkait dengan bahasa yang digunakan  dan tidak kata ada sumpah di dalam bahasa tersebut. Kedua, prosa ‘Ilmi yaitu prosa yang mempunyai hakikat ilmiah pada pengungkapannya dan tidak ada unsur artistik di dalamnya. Ketiga, prosa Fanni yaitu prosa yang mengandung unsur seni, mempunyai beragam dekorasi, stilisasi, serta katanya yang dipilih mengandung makna sangat dalam.[34]

Pengaruh Alquran Terhadap Sastra Arab
Menurut Soerjono Soekanto, ada empat hal yang menjadi faktor pada perubahan sosial, yaitu: bertambah atau berkurangya penduduk, penemuan-penemuan baru, konflik di masayarkat, dan pemberontakan atau revolusi. Selain dari itu, Soekanto juga menjelaskan sembilan faktor yang menjadi pendorong pada perubahan sosial, ialah: kontak dengan kebudayaan lain, sistem pendidikan formal yang maju, sikap menghargai karya orang lain dan keinginan-keinginan untuk maju, toleransi, sistem terbuka lapisan masyarakat, penduduk yang heterogen, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, orientasi ke masa depan, dan nilai bahwa manusia harus selalu memperbaiki diri.[35] Terjadinya perubahan sosial pada masyarakat jahiliyah yang tercermin di dalam puisinya diakibatkan adanya usaha dari masayarakat jailiyah sendiri ingin memperbaiki diri dan sikap tidak puas dengan kehidupan yang ada. Selain dari itu, menurut Pitirim A. Sorokim “adanya perubahan yang terjadi karena adanya sebuah kebenaran yang dirasakan oleh mansusia berdasarakan kepercayaannya.”[36]
Setelah Alquran diturunkan yang merupakan sumber hukum pada perubahan sosial masyarakat Muslim memberikan dampak pada perubahan sosial masyarakat jahiliyah. Selain dari itu, Alquran banyak mengandung di dalamnya kesatuan dialek Quraish dan itu juga yang menjadi sebab paling kuat dalam penjagaan keontetikan Alquran, seperti kata-katanya dan uslub. Kemudian oleh pengaruh Alquran juga menjadi dasar-dasar ilmu agama Islam misalnya Fiqh  dan tafsir. Seterusnya juga bagi ilmu bahasa yaitu bayan, nahu, sharaf dan lain-lain.[37]
Berbeda dengan pendapatnya Nadiah ‘Atha Khamis, menurutnya tidak ada perubahan yang terjadi pada prosa setelah Islam datang dengan diturunkan al-Quran, terutama pada uslub dan katanya. Dikarenakan memang tidak adanya perubahan sosial setelah Islam datang. Kemudian unsur yang terdapat di dalam prosa yaitu khayal (emosi) juga masih sama dengan masa jahiliyah. Tegasnya lagi, yang terjadi perubahan itu hanya pada aghrad (dalam sastra dikenal dengan istilah tema atau tujuan) sastra. Untuk itu, makna prosa itu mengalami perubahan seiring dengan munculnya Islam karena adanya tujuan yang baru dibawanya. Melihat dari bahasanya, prosa masa kenabian lebih bagus daripada prosa pada masa modern, karena prosa masa itu mengandung nilai artistik secara khusus, kata yang digunakan juga bagus, kemudian ada makna nasehat di dalamnya.[38]
Sebagaimana yang ungkapkan juga oleh Nawal Karim Zarzur bahwa memang pada puisi jahiliyah sudah banyak mengadung kesamaan bahasa dengan Alquran. Artinya, secara kebahasaan tidak ada pengaruh Islam. Dalam penelitian yang lakukan, ia membandingkan kata al-Bakhl (kikir) di dalam puisi dengan al-Bakhl di dalam Alquran. Salah satu contonya adalah ayat Alquran surat Ali ‘Imran, 3: 180.
187. Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima.

Terlihat bahwa bahwa al-Bakhl   dalam Alquran hanya dikaitkan dengan orang yang kikir terhdap hartanya, tidak mau berinfak dan berzakat dari harta yang titipkan Allah kepadanya. Sementara di dalam puisi jahiliyah sudah menggunakan kata al-Bakhl juga, namun mempunyai makna yang berbeda-beda. Apabila kata al-Bakhl sama polanya dengan al-Fa‘lah, maka diartikan hanya berbuat kikir satu kali. Bisa juga makna al-Bakhl berarti tidak mau bertemu seperti puisi dan ungkapan Laila kepada Umr’ al-Qais
فأعرضتُ عن سلمى وقلتُ لصاحبي
                                سواءٌ علينا بخل سلمى وجودها[39]
Aku menjauh dari Sulma dan aku berkata kepada temanku
Sama saja bagi kami dengan Sulma yang tidak mau bertemu dan keberadaanya.
Dilihat dari puisi, yaitu temanya, Alquran banyak mempengaruhi tema sastra. Puisi misalnya, terlihat pada tema puisi banyak mengalami perubahan. Tema al-Ritha’[40] pada masa jahilyah merupakan ungkapan kesedihan penyair atas kematian orang yang dimuliakan dan ditangisi dalam bentuk puisi. Tentunya ini merupakan ungkapan kejujuran penyair dengan emosinya dan jiwa yang terguncang. Bisa saja yang diratapi adalah ayahnya, anaknya, istri dan saudaranya. Selain dari itu, pada masa jahiliyah penyair meratapi hanya sebatas kepergian jenazah saja tanpa ada hal lainnya. Berbeda dengan masa kenabian, al-Ritha’ merupakan kesedihan yang sangat tulus diucapkan dengan bait-bait puisi. Hal itu disebabkan ajaran Islam sudah sampai ke umat dan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah sendiri. Meskipun pada masa ini ada tema puisi al-Ritha’, tetapi kesedihan itu diungkapkan tidak melampaui batas kesadaran penyair. Bisa dilihat dari puisi Hasan bin Thabit ketika Rasulullah wafat.
وهل عدلت يوما رزية هالك
                                 رزية يوم مات فيه محمد
تقطع فيه منزلــ الوحي عنهم
                                 وقد كان ذا نور يغود وينجد
Apakah musibah pada hari ini mengimbangi kehidupan yang fana
Musibah pada hari kematian Muhammad
Terputuslah turunnya wahyu kepada mereka
(Padahal) Wahyu mempunyai cahaya, dia menyelami dan menyelamatkan.
Puisi tersebut di atas merupakan gambaran jiwa kaum muslimin waktu itu ketika Rasulullah wafat, sehingga mendorong penyair Hasan bin Thabit untuk berpuisi. Bisa dipastikan umat Muslim belum ada yang menangisi seperti halnya para sahabat Rasulullah menangisi kepergian beliau. Ketika itu juga para sahabat ragu atas meninggalnya beliau, seperti ‘Umar bin ‘Affan yang tidak percaya bahwa Rasulullah wafat, hingga datanglah Abu Bakr al-Siddiq menghibur dan memberi penjelasan kepadanya. Tidak heran dari kesedihan para sahabat Nabi terhadap Rasulullah, kerena memang Rasulullah adalah imam dan memberikan petunjuk kekpada mereka baik dalam hal perkataan dan perbuatannya. Akan tetapi, Ritha’  para sahabat tidaklah seperti Ritha’  masa jahiliyah dahulu. Sahabat meyakini akan ada pertemuan di syurga nanti bersama Rasulullah. Sedangkan Ritha’ jahiliyah menganggap orang yang sudah mati tidak akan pernah bertemu lagi di kemudian hari. Seperti puisi yang ungkapkan Hissan berikut ini:
وليس هو أمي نازعا عن ثنائه
                                لعلي به جنة الخلد أخلد
مع مصطفى أرجو بذلك جواره
                                في نيل ذاك اليوم أسعى وأجهد
Dia (Rasulullah) ummi (tidak bisa tulis dan baca) tidaklah menjadi penghalang untuk dipuji
Agar aku bersama dia di syurga selama-lamanya
Bersama Rasulullah aku berharap berdekatan
Dalam kedekatan itu ada suatu hari aku berusaha dan berusaha.
Kemudian terlihat juga bahwa tema al-Ritha’ pada masa kenabian ini banyak mengandung ruh Islam dan Alquran; mengandung nilai-nilai Islam karena memang ada nilai petunjuk yang dibawanya.[41]
            Jika dibandingkan dengan dengan prosa khutbah masa jahiliyah dengan masa Rasulullah, terlihat banyak pengaruh dari Islam. Sebagimana yang terlihat pada khutbah Rasulullah saat Haji Wada‘, yaitu:
الحمد لله نحمده و نستعينه و نستغفره، و نتوب إليه، و نعوذ ب لله من شرور أنفسنا و من سيئات أعمالنا، من يهد الله فلا مضل له، و من يضلل فلا هادي له، و أشهد أن لا إله إلا الله و حده لا شريك له، و أشهد أن محمدا عبده ورسوله.
أو صيكم عباد الله بتقوى الله، و أحثكم على طاعته، و أستفتح بالذي هو خير.
أما بعد أيها الناس، اسمعوا مني أبين لكم، فاءني لا أدري لعلي لا ألقاكم بعد عامي فذا، في موقي هذا...[42]

Segala puji bagi Allah yang kita puji, memohon pertolongan, minta ampun dan bertaubat. Kami berlindung kepada Allah dari segala kejahatan diri kami sendiri dan keburukan amal kami. Siapa pun yang Allah tunjuki maka ia takkan pernah sesat dan siapa pun yang Allah sesatkan maka tiada petunjuk atasnya. Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Nabi Muhammad utusan Allah.
 Aku berwasiat kepadamu sekalian hamba Allah agar bertaqwa kepada-Nya, aku juga mendorongmu untuk mentaati-Nya dan aku buka khutbah ini dengan hal-hal yang baik.
Wahai manusia, dengarlah apa yang hendak kukatakan. Mungkin setelah tahun ini, aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian di tempat ini...

Penutup
Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak perubahan sosial yang terjadi pada masyakarat jahiliyah setelah Islam datang dan hal tersebut terlihat dari sastra Arab. Jika pada masa jahiliyah sastra Arab hanya sebatas emosi, perjalanan, lingkungan dan hal yang dialami sastrawan. Akan tetapi, pada masa Islam sudah ada nilai-nilai Islam dan misi-misi Islam. Pada tema al-Ritha’ misalnya, jika dahulu dilatarbelakangi dari penyair yang mengalami kesedihan, yaitu ditinggal pergi oleh seseorang yang ia cintai dan mereka menganggap tidak akan pernah bertemu lagi. Berbeda dengan al-Ritha’ pada masa kenabian, penyair tetap sedih, tetapi sedih karena Islam dan hal itu juga tidak secara berlebihan serta keluar dari nilai Islam. Penyair pun sadar bahwa dunia ini fana dan akan ada masanya di kemudian hari saat pertemuan itu lagi. Meskipun ada yang menolak bahwa tidak ada perubahan dari segi bahasa pada sastra Arab ketika Islam datang. Maka dalam hal ini merupakan pendapat yang keliru. Karena pada prosa misalnya, banyak pengaruh dari Islam dan Alquran, seperti penggunaan ayat Alquran di dalam prosa tersebut dan mempunyai nilai Islam sebagai misi dakwah.


[1]Munir Ba‘alnaki, Al-Mawrid al-Asasi Qamus Inkilizi-‘Arabi (Bayrut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 2002), 534.  
[2]Hanna al-Fakhuri, Tarikh al-Adab al-‘Arabi (al-Maktabah al-Bulisiyah, 1987), 797.
[3]Abdul Rozak Zaidan (ed.), Kamus Istilah Sastra (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 180.
[4]Majdi Wahbah dan Kamil al-Muhandis, Mu'jam al-Mustalahat al-‘Arabiyah fi al-Lughah wa-Adab (Bayrut: Maktabah Lubnan Sahat Riyadh al-Sulh, 1984), 401 dan 610.
[5]Hanna al-Fakhuri, Tarikh al-Adab al-‘Arabi, 797.
[6]Tema-tema tersebut dikumpulkan oleh Akhmad Muzakki. Lihat Akhmad Muzakki, Kusasteraan Arab Pengantar Teori dan Terapan (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2006), 1-98.
[7]Ahmad Busyrowi, An-Natsru  Nasyatuhu wa tathawwuruhu, Padang: Haifa Press, 2009, hal. 18- 17
[8]Munir Ba‘alnaki, Al-Mawrid al-Asasi Qamus Inkilizi-‘Arabi, 886.
[9]Ahmad Hasan al-Ziyat, Tarikh al-Adab al-‘Arabi (Bayrut: Dar al-Ma‘rifah, 2001), 19.
[10]Ahmad Busyrowi, Al-Nathr  al-Nash’atuh wa-Tatawwuruh, 18- 17.
[11]Faktor-faktor ini dikutip oleh Akhmad Muzakki dari pendapat Hasan al-Nas. Lihat Akhmad Muzakki, Kusasteraan Arab Pengantar Teori dan Terapan, 92.
[12]Ahmad Busyrowi, Al-Nathr  al-Nash’atuh wa-Tatawwuruh, 3
[13]Teks tersebut di atas dierjemahkan oleh Akhmad Muzakki. Lihat Akhmad Muzakki, Kusasteraan Arab Pengantar Teori dan Terapan, 54.
[14]Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998), 218.
[15]Ahmad Busyrowi, Al-Nathr  al-Nash’atuh wa-Tatawwuruh, 2.
[16]Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia , 787.
[17]Muhammad ‘Abd al-Mun‘im, al-Shi‘r al-Jahili (Bayrut: Dar al-Kitab, 1995), 141.
[18]Akhmad Muzakki, Kusasteraan Arab Pengantar Teori dan Terapan, 94.
[19]Teks ini dikutip oleh Akhmad Muzakki melalui bukunya Husain al-Hajj Hasan, Adab al-‘Arab fi ‘Asr al-Jahiliyah (Bayrut: 1990), 250.  Akhmad Muzakki, Kusasteraan Arab Pengantar Teori dan Terapan, 94.
[20]Abd al-‘Aziz, Al-Adab al-‘Arabi wa-al-Tarikh (Riyad: al-Mamlakat al-‘Arabiyat al-Su‘udiyat, 1405 H), 53.
[21]Hanna al-Fakhuri, Tarikh al-Adab al-‘Arabi, 58.
[22]Seperti halnya penyair mendeskripsikan tentang kapal dan laut, karena memang ia sedang mengalami saat di atas kapal. Seperti puisinya Umayyah saat ia mengingat kejadian di dalam kapal.
ترفع في جري كان أطيطه # صريف محال تستعيد الدواليا
على ظهر جون لم يعد لراكب # سراه وغيم ألبس الماء داجيا
Di dalam puisi ini Umyyah ingat laut yang dilalui oleh kapal, air yang luas, banyak dan belum pernah ia jadi nahkoda sebelumnya. Sa‘d Khadir ‘Abbas, “al-Safinat wa-al-Bahr fi Shi‘r al-Jahili,” Journal of the College of Basic Education 15 (2010), 1-12, http://iasj.net/iasj?func=fulltext&aId=10765 (diakses 28 Desember 2014).
[23]Bahkan tentang tema al-Madh pada puisi Zuhair bin Abi Sulma sudah ada yang membahasnya  pada tahun 2008. Pada BaB I penelitian itu memabahas tentang defenisi al-Madh secara umum, kemudian dihubungkan dengan jenis Bahar (dalam pelajaran Sastra Arab mata kuliah ‘Arud Qawafi) yang digunakan di dalam puisi tersebut. Bab II menjelaskan tentang hakikat al-Madh di dalam puisi-puisi Zuhair bin Abi Sulma. Bab III adalah Bab terakhir yang menjelaskan tentang karakteristik puisi-puisi Zuhair bin Abi Sulma, kemudian dijelaskan juga dari segi balaghah (stilistika), seperti penggunaan tashbih, isti‘arah di dalam puisi tersebut, sehingga terlihatlah keindahan dari puisi-puisinya. Lihat penelitian Sa‘d Khadir ‘Abbas, “al-Madih fi Shi‘r Zuhair bin Abi Sulma,” Al-Fatih journal 2 (2008), 189-196 http://iasj.net/iasj?func= fulltext&aId=17400 (diakses 29 Desember 2014).
[24]Hanna al-Fakhuri, Tarikh al-Adab al-‘Arabi, 60.
[25]Hanna al-Fakhuri, Tarikh al-Adab al-‘Arabi, 61.
[26]Kedudukan wanita pada puisi jahiliyah sangat terhormat, seperti salah satu contohnya jika orang Arab itu memuliakan salah seorang ibu, maka ia memberi gelar ibu itu dengan nama anaknya.  Seperti Umm al-Fadl istrinya al-‘Abbas bin ‘Abd al-Mutalib pamannya Rasulullah, yaitu Lubabah binti al-Harith bin Huzn bin Bajir bin Hilaliyah, karena salah satu nama anaknya Fadl, maka ia digelari dengan Umm al-Fadl, seperti perkataannya ‘Abd Allah bin Yazid al-Hilali:
ما ولدت نجيبة من فحل # كسته من بطن أم الفضل
Tidaklah lahir yang mulia dari fisik yang kuat # dilahirkan dari perut Umm al-Fadl. Lihat Ra’idah Mahdi Jabir, “Daur al-Mar’ah fi al-Si‘r al-Jahili,” Basic Education College Magazine For Educational and Humanities Sciences 1(2010), 23-34, http://iasj.net/iasj?func=fulltext&aId=74735 (diakses 28 Desember 2014).
[27]Hanna al-Fakhuri, Tarikh al-Adab al-‘Arabi, 61-62.
[28]Hanna al-Fakhuri, Tarikh al-Adab al-‘Arabi, 210.
[29]Salah satunya tentang kisah Nabi Dawd dan Sulaiman di dalam Alquran yang diteli oleh Taj al-Din Amajid ‘Abd al-Mun‘im. Dalam penelitian itu membahas tentang fitnah yang menimpa kedua Nabi tersebut yang terdapat di dalam Alquran. Taj al-Din Amajid ‘Abd al-Mun‘im, “Fitnata Dawd wa-Sulayman (‘Alayhima al-Salam) fi al-Qur’an al-Karim,” Journal of Surra Man Raa 7 (2011), 120-134, http://iasj.net/iasj?func=fulltext&aId=20700 (diakses 30 Desember 2014).
[30]Tema keadilan dalam Alquran sudah menjadi bahan kajian menarik. Pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti Timur Tengah Mahmud ‘Idan Ahmad (2011). Dalam penelitian tersebut, Bab I membahas tentang konsep adil menurut bahasa. Bab II membahas tentang ayat Alquran yang berbicara tentang keadilan. Bab III menjelaskan tentang tema-tema adil dalam Alquran, karena bagaimana pun adil adalah perintah Allah dan para Nabi. Kemudian membahas juga tentang hal-hal yang menjadi syarat dalam melakukan keadilan. Lihat Mahmud ‘Idan Ahmad, “al-‘Adl fi al-Qur’an; Dirasat Mawdu‘iyat,” Tikrit University Journal For Sientific Asslmic 8 (2011), 1-24, http://iasj.net/iasj? func=fulltext&aId=22655 (diakses 30 Desember 2014).
[31]Dalam penelitian yang dilakukan oleh Bashshar ‘Abd al-Latif menyimpulkan bahwa penyesalan di dalam Alquran bisa dikelompokkan menjadi dua bentuk. Pertama, penyesalan dunia merupakan penyesalan yang bermanfaat bagi manusia sebelum kematian. Kedua, penyesalan yang tidak bermanfaat lagi karena sudah berada di akhirat. Bashshar ‘Abd al-Latif, “al-Nadam fi al-Qur’an al-Karim,” Journal of Research Diyala humanity 50 (2011), 29-70, http://iasj.net/iasj?func=fulltext&aId=17959 (diakses 30 Desember 2014).
[32]Hanna al-Fakhuri, Tarikh al-Adab al-‘Arabi, 213.
[33]Hanna al-Fakhuri, Tarikh al-Adab al-‘Arabi, 214.
[34]Nadiah ‘Atha Khamis, “al-Nathr al-Fanni fi ‘Ashr al-Nubuwah,” Journal of Al-qadisiya in arts and educational sciense 8 (2009), 131-148, http://iasj.net/iasj?func=fulltext&aId=13468 (diakses 27 Desember 2014).
[35]Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 275-282.
[36]Pendapat ini dikutip oleh Soerjono Soekanto melalui bukunya Pitirim A. Sorokin, Social and Cultural Dynamics (Boston: Pargent, 1957). Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 269.
[37]Hanna al-Fakhuri, Tarikh al-Adab al-‘Arabi, 214.
[38]Nadiah ‘Atha Khamis, “al-Nathr al-Fanni fi ‘Ashr al-Nubuwah,” 131-148.
[39]Nawal Karim Zarzur, “al-Tatawwur al-Dilali li Alfaz al-Bukhl Bayn Lughat al-Shi‘r al-Jahili wa-al-Lughat al-Qur’an al-Karim,” Al-Mustansiriya Journal of Arts 54 (2011), 1-43, http://iasj.net/iasj?func=fulltext&aId=38676 (diakses 28 Desember 2014).
[40]Melihat dari katanya, al-Ritha’ mempunyai padanan kata yaitu الرث، الرثة، الرثيث، مرثاة،رثاء yang punya pengertian  ratapan tetapi jika digabungkan dengan kata اليت yaitu  رثيث الميت artinya meratapi jenazah. Lihat Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, 958-959.
[41]‘Azhra’ ‘Awdah Husain, “Ritha’ fi al-Shi‘r al-Jahili wa-Islam,” Alustath 1 (2014), 143-152, http://iasj.net/iasj?func=fulltext&aId =93500 (diakses 28 Desember 2014).
[42]Sebenarnya teks khutbah Haji Wada‘ ini panjang dan banyak mengandung pesan-pesan tekahir Rasulullah, namun penulis mengambil pendahuluannya saja untuk membandingkan dengan prosa masa jahiliyah. Lihat Wirdayanti dan Ahmad Busyrowi, Min al-Nusus al-Adabiyat (Padang: Haifa Press Padang, 2009), 101-102.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar