Kamis, 15 Januari 2015

PASANG SURUT NASIONALISME ISLAM DI MESIR

PASANG SURUT NASIONALISME ISLAM DI MESIR

Muhammad Isya
Nim.: 13.2.00.0.06.01.0065
Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
E-mail: Muhammadisya92@gmail.com
Abstrak
Semakin modernitas, semakin nasionalisme cenderung ke arah Islam. Nasionalisme Mesir tidak bisa dipisahkan dengan Islam meskipun banyak pengaruh modernitas dan dominasi militer. Meskipun militer mempunyai kekuasaan yang kuat, tetapi semangat nasionalisme Mesir masih ada. Makalah ini sependapat dengan pendapatnya Peter Schroder, Huntington dan Finner yang mengatakan “kekuasaan penuh di suatu pemerintahan bukanlah dari golongan partai yang terpilih atau ormas lainnya, tetapi kekuasaan milterlah yang paling dominan atau dari kumpulan penguasa lainnya yang didasari dari hubungan pribadi.” Maka tidak heran jika Muhammad Mursi lengser atas dominasi politik yang dimainkan militer. Kemudian tidak tepat apa yang diutarakan Neumann, menurutnya “pada suatu negara yang paling berkuasa adalah pemerintah sendiri baik itu seseorang atau kelompok partai, bahkan pemerintah tersebut juga mengendalikan militer dan polisi untuk kekuatannya.”

Nasionalisme Islam, modernisme, militer Mesir

A.   Nasionalisme Islam di Mesir
Dalam sejarah, Islam pertama kali masuk ke Mesir pada tahun 19 H. yang dibawa oleh utusan perang khalifah Umar bin Khattab, yaitu ‘Amr bin ‘As. Dimana, pada masa itu pasukan ‘Amr bin As mampu mengusir pasukan Romawi yang sebelumnya menguasai daerah ini. Tampaknya keberhasilan itu merupakan kepiawaan perpoltikan ‘Amr sehingga mendapatkan dukungan penuh dari penduduk Mesir yang selama ini tertekan di bawah kekuasaan Romawi. Pasalnya, pasukan ‘Amr pada penaklukkan kota Bulbais, ia mampu mengalakan tentara Artabun dan menyandranya. Sementara dari salah satu sandraan tersebut ada puteri Gubernur Mesir yang mereka culik sebelum peperangan tersebut. Terlihat sekali peran politik ‘Amr untuk memperoleh dukungan rakyat Mesir, yaitu dengan menyelamatkan putri Gubernur dan mengirimkannya. Hingga terlihat bahwa ‘Amr adalah pahlawan dan Gubenur pun berhutang budi. Seterusnya pada episode selanjutnya dalam menaklukkan kota lainnya, pasukan ‘Amr sudah mendapatkan dukungan penuh dari gubernur Mesir dan rakyatnya.[1] Sampai akhir pemerintahan Umar bin Khattab, yaitu tahun 641 M.,[2] Islam mengalami perluasan yang pesat. Bukan hanya negara Mesir yang berhasil ditaklukkan, tetapi negera-negara lainnya yang meliputi Jazirah Arab, seperti Shiria, Irak, dan Palestina. Kemudian juga beberapa negara Persia.[3]
Islam tradisional memandang bahwa agama dan politik harus disatukan. Al-Quran dan Hadis yang menjadi sumber hukum Islam dapat membimbing manusia baik secara prabadi maupun kelompok, tentu dalam hal ini termasuk juga negara. Dengan perlindungan dan jaminan dari pemerintah, ulama berusaha maksimal untuk menafsirkan dua sumber itu. Dalam hal ini, pemerintah patuh pada sumber hukum Islam atau secara tidak langsung pemerintah mengikuti sumber hukum yang telah ditafsirkan oleh ulama, terkhusus dalam menentukan hal diperbolehkan dan tidak atau dalam konsep Islamnya halal dan haram. Artinya, ulama mendapati derajat yang mulia. Terlihat penyatuan agama dan politik dari dua tugas yang dilaksanakan, ulama memaksimalkan dalam menafsirkan dua sumber hukum itu sekaligus menyebarkannya dan pemerintah menerapkan pada negaranya agar terbentuk masyarakat Islam seperti yang harapkan.[4]
Ciri lain dari pada Islam tradisional adalah adanya peran kaum ulama sebagai penasehat di kenegaraan dan itu juga yang dianut oleh kaum sunni dalam hubungan dengan agama dan negara. Ketika pemerintah mengambil keputusan suatu hukum, tentunya harus bermusyawarah dulu dengan para ulama. Adanya ulama menjadi pengabsah dalam perpolitikan dan penengah dalam kehidupan sosial.  Tentunya, Islam sebagai identitas rakyat Mesir sangat berperan aktif dalam hal ini. Ini terlihat bahwa dari pemimpin Islam tidak menerima ide-ide politik Barat. Masyarakat Islam memandang dalam kaitannya dengan kekusaan, baik penguasa maupun yang dikuasai harus sama-sama memegang hukum shari‘ah. Walau bagaimana pun, semuanya harus mengikuti petunjuk al-Quran, terutama dalam kaitannya dengan politik, karena pemimpin di masyarakat adalah pemimpin agama juga. Ditambah lagi dengan kaum fundamentalis mengecam bahwa politik Barat banyak mengandung unsur yang tidak adil. Seterusnya politik sekular bisa dimanipulasi demi kepentingan tertentu dan menguntungkan pihak tertentu, serta politik sekular tidak mempunyai prinsip yang jelas. Akan tetapi begitu juga sebaliknya, pemikir Barat menganggap politik Islam adalah hal yang tradisional dan penuh dengan radikalisme, politik Islam tidak menerima sistem demokrasi dan bersikap tidak adil dalam hal ini.[5]
Pada pemerintahan Muhammad ‘Ali Basha (1805-1849) politik dan agama dipisahkan. Tampak Mesir masa ini cenderung ke arah sekular. Dia juga membentuk badan konsul Barat di Mesir.[6] Bahkan sikap yang diambil Basha adalah menghukum para ulama yang menentang keputusannya. Baginya, dalam kaitannya dengan kekuasaan, pemerintah berhak mengangkat dan memberhentikan jabatan ulama, mengambil kembali dana yang dihibahkan ke lembaga-lembaga keagamaan selama ini. Wajar jika pengaruh yang ditimbulkan adalah lembaga keagamaan banyak yang ditinggalkan begitu saja tanpa dilanjutkan. Masyarakat Islam dan sistem dari kegamaan dalam hal ini dirugikan. Ulama tidak dijadikan sebagai penesahat lagi di kenegaraan dan jika pun ada, pemerintah yang baru ini menolak dari nasehat itu. Tidak heran jika para ulama mulai menetang dengan rezim baru yang terapkan, walaupun itu hanya bersifat pribadi. Meskipun penentangan itu secara kelompok, akan tetapi ulama menganggap hal itu tidak berguna. Karena memang Basha menentang tradisi Islam nasional secara sembunyi dan hal itu meragukan ulama. Baginya, shari‘ah masih tetap dijunjung tinggi dan juga dalam halnya pendidikan agama di Mesir, Basha tidak pernah menentang.[7]
Terlihat juga perbedaan yang signifikan dalam pemerintahan Muhammad ‘Ali Basha yang pemerintahannya turun-temurun dari Sultan Abdülmecid,[8] jika masa sebelumnya ulama mendapati posisi penasehat dan mendapati lindungan dari militer khususnya, tetapi pada masa ini ulama dipandang sebagai penghambat bagi kemajuan Mesir, terutama dalam kaitannya dengan militer negara Islam dan menjadi lawan dalam hal kekuasaan. Perlu juga disadari bahwa pembaharuan Basha tidak mengambil secara keseluruhan dari modernisme Barat. Hanya bangian tertentu saja seperti dalam hal organisasi dan kemiliteran dan itu juga tidak merusak ideologi yang sudah ada. Artinya pembaharuan itu ditujukan untuk ketahanan dan kemajuan negara.[9]
Mesir di bawah pemerintahan Muhammad ‘Ali Basha, dalam tatanan ekonomi, mendapati kemajuan terutama ekonomi di Alexandria. Kota itu menjadi peran penting dalam perekonomian Mediterania Timur. Muhammad ‘Ali menyadari potensi Alexandria untuk menjadi pintu gerbang ekonomi ke Eropa, dan ia memerintahkan pembukaan segera pelabuhan barat untuk pengiriman ke Eropa. Suatu kebangkitan sektor ekonomi dan kesempatan kerja secara dramatis sehingga meningkatkan migrasi internal dan eksternal ke kota. Populasi penduduk Alexandria grafiknya naik menjadi lebih dari 104.000 pada 1848 dan mencapai 232.000. Meskipun tujuan utama Muhammad Ali yang militer, tujuan langsungnya adalah untuk memperkuat ekonomi Mesir melalui ekspor hasil bumi seperti bahan pokok kapas ke pasar Eropa. Untuk mencapai hal ini, ia mendorong pengembangan pertanian komersial, memperluas kapasitas infrastruktur pelabuhan barat, dan dilaksanakan proyek pekerjaan umum yang signifikan untuk revitalisasi Alexandria sebagai pintu gerbang perdagangan Mesir-Eropa. Perubahan struktural lebih terintegrasi dan menjadikan perekonomian Mesir masuk ke dalam sistem dunia, dan merupakan penyebab utama bagi migrasi massal dari ribuan orang Mesir, Levantines, dan Eropa Selatan ke kota, mengubahnya lagi menjadi sebuah metropolis yang besar dan beragam.[10]
Sehingga lahirlah nasionalisme yang bersifat Islam. Hal tersebut dipengaruhi oleh tokoh pergerakan Islam yaitu Jamal al-Afghani, Hasan al-Banna, Abu al-A‘la al-Maududi dan Iqbal. Jamal al-Afghani (1839 M.) dalam sejarah hidupnya ia sering berpindah-pindah dan inilah menjadi cikal bakal pemikiran tersebut. Dari Mesir terus ke London hingga ke Paris. Seruannya adalah agar umat Islam bisa bersatu dalam melepaskan diri dari kendali asing. Makanya solusi yang ia berikan adalah agar umat Islam bersatu dalam ideologi, berdakwah, membina akhlak umat dan berjuang.[11]
Dalam kaitannya dengan bidang politik, al-Afghani dikenal dengan tokoh gerakan Pan-Islamisme. Suatu gerakan yang menenakan pada ukhuwwah Islamiyah dalam mewujudkan kemajuan Islam tentunya. Dia memcoba mempersatukan terhadap umat Islam di seluruh dunia dan meperbaiki sistem politik ke arah yang berbasis Islam. Sebagai penyambut dari pemikiran ini, al-Afghani mempunyai dua orang murid, yaitu Rashid Rida dan Muhammad ‘Abduh.[12] Hal ini juga disebabkan karena Islam dan Politik adalah satu kesatuan yang saling melengkapi. Agama membutuhkan politik dalam penyebarannya dan politik pun akan butuh agama sebagai pemelihara. Sebagimana yang dikutip oleh Sukron Kamil pendapat al-Mawardi, jika politik dikuasai oleh Muslim, akan melahirkan pemeliharaan terhadap agama, pengelola terhadap kebutuhan manusia.[13]
Hasan al-Banna merupakan salah satu pria kelahiran Mesir pada tahun 1906 M. Kesehariannya memang orang yang cinta ilmu dan mempunyai semangat yang tinggi. Tidak heran juga jika al-Bana merupakan salah satu tokoh pembaru Islam di Mesir dan mendirikan organisasi Ikhwan al-Muslimin pada tahun 1928 M.[14] Lingkungannya yang mendukung yaitu perpustakaan milik ayahnya yang bernama Shaykh Ahmad menjadi pemicu semangatnya, baik buku yang berkenaan dengan fikih dan sejarah Nabi dan sahabatnya. Sehingga sejarah Rasulullah yang meragkap dua jabatan, kepala negara dan Nabi, menjadi pijakan pada ideologi yang ia anut. Menurutnya, dakwah harus masuk ke seluruh aspek kehidupan, baik dari segi ‘aqidah, mua‘amalah, akhlak, dan bentuk kehidupan sosial lainnya. Selain dari kecintaannya terhadap ilmu, ia adalah penganut tarekat. Dalam perpolitikan, dalam konsep tentang nasionalisme dan patriotisme sangat mendukung, asalkan kedunya berlandaskan iman kepada Allah SWT. Ada tiga prinsip pemerintahan Islam yang ia tawarkan, yaitu: penguasa harus bertanggung jawab terhadap Allah dan rakyat, umat harus bersatu agar kokoh dan pemimpin harus menghormati masyarakat.[15]

B.   Pengaruh Modernisme terhadap Nasionalisme Islam
Nasionalisme merupakan keinginan terhadap kebebasan berpolitik dengan orang yang mempunyai kebudayaan yang sama atau perasaan kebanggaan yang kuat di dalam suatu negeri.[16] Dalam konteksnya Arab, cikal bakal nasionalisme bermula dari masa ‘Umar bin Khattab. Semangat kearabannya orang-orang Arab menjadi pemicu mereka untuk menghadapi semua kendali asing.  Terutama pada masa ini menghadapi tentara Romawi dan Sasanid.
Hingga pada periode modern, semangat itu terus dipupuk oleh sekelompok intelektual Arab yang dipengaruhi oleh Barat dengan cara menanamkan kebencian terhadap tentara tentara Ushmani. Tercatat mulai tahun 1875, mereka berusaha keras untuk membangkitkan semagat nasionalisme itu dengan cara menampilkan bentuk-bentuk kekejaman dari tentara Uthmani terhadap rakyat Mesir.[17] Padahal, David Ayalon berpendapat, di dalam sejarah penaklukkan Mesir, oleh Uthmani tidak membuat kekacauan di masyarakat dan tindakan anarkis lainnya. Uthmani hanya melumpuhkan dari kekuasaan Mamluk terhadap wilayah itu.[18] Sejalan dengan tersebut, kisah penaklukkan Mamluk oleh Uthmani juga digambarkan oleh novelis Mesir Jamal al-Ghitani di dalam novel realis historisnya al-Zayni Barakat. Di dalamnya, al-Ghitani mengangkat tokoh pejuang Mesir masa akhir Mamluk dan awal Uthmani yang bernama al-Zayni Barakat bin Musa. Diceritakan bahwa pada penaklukkan Mamluk, tentara Uthmani hanya melumpuhkan kekuasaannya.[19]
Setelah Perang Dunia I, Turki Uthmani dikalahkan oleh tentara sekutu. Dampaknya, daerah-daerah yang menjadi kekuasaan Uthmani diambil alih oleh Prancis dan Inggris. Prancis mendapati wilayah Suriah dan Libanon dan Inggris mendapati Irak dan Palestina. Kemudian pada tahun 1948, Inggris mulai memperlihatkan politiknya dengan Yahudi lainnya dengan mendirikan Israel di Palestina. Peristiwa ini pun membangkitkan kembali nasionalisme Arab. Jika tadinya keAraban tersebut dipicu oleh kebencian terhdap tentara Uthmani, maka sekarang dipicu oleh keberadaan orang Yahudi di tanahnya Palestina.[20] Hal lain adalah Inggris menjajah Mesir.
Inggris memberikan jaminan kemerdakaan kepada Mesir, akan tetapi masih terbatas karena masih dibawah kekuasaannya. Nasionalisme kini menghadapi penjajahan Inggris dan rakyat Mesir bersatu dalam hal ini. Rakyat Mesir menganggap bahwa keburukan yang dilakukan Inggris kepada wanita Mesir, yaitu memperkosanya dianggap hal yang mencoreng identitas nasional mereka. Pada tahun 1919 merupakan revolusi Mesir, dimana beragam kelompok dimobilisasikan untuk memprotes Inggris dan menyerukan kemerdekaan. Terlihat yang banyak berperan aktif menuntut kebebasan ini adalah perempuan. Mesir modern di abad kesembilan belas sampai dengan aktivisme politik tahun 1940-an, mengeksplorasi hubungan antara gender negara dan tindakan politik perempuan. Perempuan memainkan peran kunci dalam gerakan nasionalis Mesir, karena  aktivisme mereka ditindas selama ini.[21]
Terlihat mulai dari kesembilan belas revolusi dan partisipasi perempuan di Mesir telah bergeser dari waktu ke waktu di sesuai dengan agenda feminis atau populis hari. Baron menunjukkan bahwa meskipun telah diabaikan dalam literatur yang lebih luas tentang nasionalisme, para wanita ini penting untuk hal pembangunan bangsa. Politik nasionalis harus dipahami secara luas, bukan hanya sebagai partai atau politik parlemen, sedangkan problema perempuan sering diabaikan, tetapi harus aktif juga berpastisipasi dalam kegiatan pembangunan bangsa dalam bidang yang beragam, termasuk pendidikan, jurnalistik, feminisme, dan kesejahteraan sosial lainnya.[22]
Dampaknya,  timbullah sikap protes dari rakyat Mesir agar kemerdekaan itu sepenuhnya pada tahun 1922. Hingga pada pemerintahan Jamal ‘Abd al-Nasir, semangat nasionalis itu memuncak. Menurut al-Nasir, pengaruh dunia Barat terhadap Mesir menjadi dampak buruk bagi nasional rakyat Mesir. Kemudian politik yang memakai ideologi Barat justru akan menumbuhkan sifat KKN dan pemerintah yang diktator. Pada tahun 1952, al-Nasir melengserkan pemerintahan Raja Farouk. Jamal ‘Abd al-Nasir dilantik menjadi presiden Mesir pada tanggal 23 Juli 1952.  Masa yang tidak begitu lama semenjak dilantik, ia mampu mengukir sejarah baru bagi masyarakat Mesir. Politik yang ia mainkan, ia mampu mengusir penjajahan atas bangsanya, dalam hal ini adalah Inggris. Langkah awal yang ia lakukan adalah dengan cara diplomasi. Hingga tahun 1956 Inggris terpaksa angkat kaki atas penjajahan Mesir.[23] Kemudian melihat dari latar belakang presiden yang baru ini, sangat wajar jika peran yang dimainkan tersebut berhasil. Al-Nasir adalah perwira yang berpangkat Mayor.  Tentu kepiawaiannya di dalam mengatur siasat sangat bagus. Sebelum menjadi presiden, tepatnya pada tahun 1984, ia sangat aktif dalam usahanya mengusir penjajah Inggris dan melawan Isreal.
Terlihat bahwa identitas orang Arab dan Muslim dihadapai dengan persoalan modernitas. Adanya budaya, agama atau ideologi Arab bisa tetap bertahan jika mereka mau mempertahankannya. Melihat dari kerangka sosial-ekonomi, budaya dan politik di mana ideologi ini muncul karena salah satu dari konflik dan perjuangan melawan imperialisme (Eropa serta pewaris Amerika) dan melawan penguasa. Setelah kekalahan Arab dalam perang tahun 1967, intelektual Arab banyak yang berubah liberal, menempatkan semua kesalahan pada tradisi Arab-Islam, dan menyerukan penerapan total terhadap budaya Barat. Menurut Abdessalam Yassine (politikus Maroko) , masyarakat muslim saat ini tinggal dalam keadaan 'fitnah' (hasutan, konflik), dan harus berusaha untuk keluar dari fitnah itu. Tentunya, hal ini memerlukan persiapan kelompok elit yang terorganisir sehingga mampu memimpin masyarakat. Untuk mencapai kondisi ini, kelompok ini harus mengikuti metode Nabi (Minhaj) sebagai strategi baik klarifikasi, perencanaan, koordinasi dan pelaksanaannya.[24]
Setelah Perang Dunia I, nasionalisme di masyarakat Arab belum berkembang dengan sepenuhnya karena memang kondisi dari Mesir sendiri yang belum siap. John L. Esposito mengungkapkan tiga faktor yang menjadi penyebab kurangnya perkembangan nasionalisme tersebut, yaitu: 1). Ideologi politik yang dianut oleh Mesir tidak lagi berdasarkan hukum agama. Sebagai akibat dari pengaruh Barat, yaitu penguasaan Barat setelah Peang Dunia I politik pun cenderung ke Barat, 2). Masih memperjuangkan kemerdekaannya terhadap kendali Inggris, dan 3). Munculnya gerakan Salafi.[25]
Terlihat modernisme Islam telah mengantarkan nasionalisme yang bersifat sekuler. Hal ini disebabkan adanya pengaruh nasionalisme Barat yang liberal dan sekular. Terdapat tiga tokoh nasionalisme Mesir pada periode ini, yaitu Ahmad Lutfi Sayyid, Taha Husain, dan ‘Ali ‘Abd al-Raziq. Tiga tokoh tersebut sebelumnya dipengaruhi oleh al-Afghani dan ‘Abduh. Ahmad Lutfi Sayyid (1872-1963) merupakan pria kelahiran Mesir yang bertemu dengan al-Afghani pada jenjang pendidikan lanjutan dan bahkan menjadi sahabatnya ‘Abduh pada masa itu. Setelah tamat dari sekolah lanjutan, Sayyid bekerja di lembaga pemerintahan, tetapi hanya dalam beberapa waktu. Bersama rekan se-ideologinya, ia mendirikan partai dan sebuah penerbit yang bernama al-Jaridah.[26] Meskipun ia sebelumnya dipengaruhi oleh pemikiran al-Afghani dan ‘Abduh, tetapi pemikirannya cenderung ke arah sekular. Dalam hubungannya dengan nasionalisme, Sayyid justru menegaskan agar politik dan agama dipisahkan, serta banyak mengadopsi ide-ide politik Barat. Menurutnya, ide-ide Islam tradisional banyak yang tidak relevansi lagi dengan zaman kekinian, terutama di bidang politik. Sebuah bangsa harus mempertahankan kemerdekaannya tanpa harus ada ikatan-ikatan tertentu, karena nasionalisme bersifat teritorial dan tidak ada hubungannnya dengan masyarakat pan-Islam.[27]
Begitu juga dengan Taha Husain (1889-1973) merupakan pria buta kelahiran Mesir yang pemikirannya sudah banyak dipengaruhi oleh Barat. Bahkan ia membangun untuk kebudayaan Mesir berazaskan Barat dan bukan berazaskan Islam. Melihat dari latar belakang pendidikan, Husain pernah mengecam pendidikan di Prancis, sebelumnya belajar di universitas al-Azhar selama sepuluh tahun dan Egyptian University empat tahun. Menurutnya, umat Islam jangan terlalu bangga dengan kejayaan Islam di masa lampau karena pada hakikatnya Islam dan politik itu pada awalnya terpisah.[28] Agama Islam dan Kristen mempunyai esensi sumber yang sama, sehingga dari segi kebudayaan dan intelektual memiliki kesamaan. Adanya kemajuan di Mesir saat ini dikarenakan adanya sumbangan pemikiran dari Barat. Bodoh jika Mesir tidak menggunakan kesempatan ini, karena kemajuan itu sudah ada berkat ide-ide Barat, sementara Mesir akan butuh waktu yang lama untuk bisa memperolehnya demi sebuah kemajuan. Maka tidaklah heran pada masa ini pada sistem pemerintahan dan pendidikan di Mesir menganut sistem Barat. Akan tetapi, Husain tidaklah mengambil semua ide-ide itu secara untuk untuk diterapkan di Mesir, justru ia memilah dan menyaringnya terlebih dahulu.[29] Dalam soal pendidikan misalnya, pemikiran Taha Husain telah mampu membuat kesetaraan dalam dunia pendidikan, baik orang miskin, kaya, muda, tua. Baginya, pendidikan itu sangat penting agar tidak ada lagi rakyat yang buta huruf.[30]
Adapun pemikiran ‘Abd al-Raziq (1888-1966) tidak jauh berbeda dengan Taha Husain dan Lutfi Sayyid yang cenderung liberal dan sekular. Pada riwayat pendidikannya, ia belajar di al-Azhar setelah itu di universitas Oxford. Baginya sangat menolak tentang adanya politik Islam, karena tidak adanya dalil dalam al-Quran dan Sunnah yang menjelaskan tentang politik Islam. Jadi, agama harus dipisah dari politik.[31] Padahal meskipun al-Quran bukanlah kitab yang menjelaskan politik, akan tetapi mengandung unsur-unsur yang mengadung politik, diantaranya al-Quran berbicara tentang sistem pemerintahan (al-Hukm), kekuasaan (Istikhlaf), prinsip musyawarah (al-Shura), rakyat (al-Ummah), dan lain-lain. Artinya, al-Quran juga berbicara tentang politik secara rinci, tetapi berbicara secara global.[32]
Munculnya tiga tokoh seperti yang telah disebutkan di atas, telah mampu menjadikan Mesir yang mempunyai sistem sekular Barat. Akan tetapi pada prateknya, Mesir masih saja mempertahankan identitas agama Islam. Bahkan dalam tindakan dan prakteknya di masyarakat, tetap saja menggunakan sikap-sikap tradisional. Dalam kasus tertentu, wanita masih saja dinomorduakan, penyiksaan dan bentuk sikap tidak adil lainnya dari kaum lelaki.[33]

C.   Polemik Nasionalisme Islam dan Militer Dewasa ini

Semangat Nasionalisme Islam
Pasca setelah Mubarak diberhentikan, Mesir sebagai negara yang melahirkan tokoh pendiri Ikhwan al-Muslimin mendapati kemenangan partai Islam. Dari total penduduknya 85 juta jiwa, sebanyak 60% penduduknya berpartisipasi dalam pemeilihan umum kali itu. Sementara pada pemilihan umum sebelumnya hanya 15%. Partai Kebebasan dan Keadilan mampu meraih kemenangan dan menjadi kemajuan bagi politik Islam walaupun mereka dinilai dengan sebuah kelompok yang radikal atau asumsi negatif lainnya.[34] Dari data yang ditemukan, ada 51 % dari penduduk Mesir yang memilih Mursi.[35] Secara otomatis ini adalah kemenangan mutlak dari partai Islam ini karena hampir dari seluruh jumlah penduduk yang berpartisipasi.
Pemilihan calon Ikhwan al-Muslimin, Muhammad
Mursi, sebagai sipil pertama Mesir terpilih sebagai Presiden pada bulan Juni 2012, tampaknya tidak membawa transisi Mesir berakhir. Mursi, yang memenangkan pemilu dengan sedikit lebih dari 50% suara, memiliki banyak lawan polikus pemerintahannya, terutama pada dua bulan terakhir setelah ia dilantik. Presiden baru ini umumnya disukai oleh rakyat karena berbicaranya yang spontan, terlihat seperti orang yang jujur dan mempunyai niat baik untuk reformasi dan pembangunan Mesir. Namun, mengutip pendapat
Sally Khalifa Isaac, ia mempunyai tantangan besar dari non-Islam. Sejak ia terpilih menjadi Presiden, banyak memicu kritikan pasukan non-Islam yang menuduhnya "Ekhwanizing" negara (mengikhwahkan negara Mesir), membungkam kritik, dan tegas mengkonsolidasikan otokrasi baru dari ideologi agama.[36]
Melihat dari riwayat hidup Mursi, ia lahir pada tanggal 20 Agustus 1951 di desa al-Adawa (bagian Timur Mesir). Dia tidaklah berasal dari keluarga terpandang, tapi anak petani dan ibunya hanya mengurusi rumah tangga. Meskipun berlatarbelakang dari keluarga sederhana, tapi tidak melunturkan semangatnya. Ia lulusan Insinyur dan Magister  tekhnik di Universitas Kairo Mesir. Kemudian menyelesaikan Doktor di Universitas California pada tahun 1982. Selain aktivitas belajar, ia juga bekerja di Badan Penerbangan Antariksa Amerika Serikat (NASA). Gelar profesornya diraih di kampung halamannya Mesir, yaitu Universitas Zagaziq pada tahun 2010.[37]
Tampaknya asumsi di atas berbeda dengan pendapat Jannis Grimm and Stephan Roll (2012), menurutnya Sejak menjabat, Presiden Muhammad Mursi telah jelas berbeda dari Husni Mubarak, sebagaimana tercermin dalam dua kecenderungan: menegaskan peran kepemimpinan regional untuk Mesir dan kebijakan luar negeri pembukaan Kairo untuk mitra potensial baru. Meskipun Mursi berasal dari Islam Ikhwan al-Muslimin, kebijakan luar negerinya tidak salah satu dari reorientasi ideologis mendasar. Sebaliknya, ia berusaha untuk meningkatkan dukungan rakyat melalui aktivis politik luar negeri. Dapat dikatakan kurangnya keberhasilan dalam kebijakan ekonomi dan sosial.[38]
Sejak tanggal 25 Januari 2013, Mesir telah mengalami kerusuhan dan konflik yang terjadi dimana-mana, terutama yang terjadi pada bulan Januari 2014. Hal yang menjadi perhatian adalah banyaknya kerugian yang terjadi akibat dari konflik tersebut. Tentunya, konflik tersebut akan berpengaruh pada ekonomi Mesir. Belum lagi dengan cagar budaya dan kesenian yang hancur akibat peristiwa itu.[39]

Dominasi Militer Terhadap Arah Nasionalisme Mesir
Bahwa Mesir memiliki kekuatan baru tidak diragukan lagi, karena militer Mesir menggulingkan Presiden terpilih secara demokratis Muhammad Mursi bulan Juli 2013.[40] Dampak dari hal tersebut muncul protes di seluruh negeri, poster JenderalAbd al-Fattah al-Sisi berada dimana-mana.[41] Al-Sisi tetap sebagai dipandang dengan kacamata gelap. Di Mesir, ia sering dibandingkan dengan pemimpin karismatik dan kejam dari tahun 1950-an dan 1960-an, Jamal ‘Abd al-Nasir, namun sedikit orang yang tahu tentang keluarganya atau latar belakang. Memahami al-Sisi sangat penting untuk memahami dimana Mesir dipimpin, terutama tindakannya banyak membuat pertumpahan darah. Pasalnya, prajuritnya menindak demonstran pro-Ikhwan al-Muslimin. Jika melihat ciri politik seperti ini, dimana dalam kegiatan politik banyak peran dari militer, maka dapat dikatakan bahwa Mesir masih memakai sistem politik otoriter. Huntington dan Finer menegaskan bahwa ciri utama dari sistem politik nepotistik, otoriter dan paternalistik adalah kegiatan politik banyak diayomi oleh militer dan struktur keamanan  dari mereka mengawasi birokrasi yang ada. Kemudian Peter Schroder menambahkan bahwa kekuasaan penuh di suatu negara bukanlah berasal dari partai politik atau ormas, melainkan dari sekumpulan penguasa yang didasari dari hubungan pribadi dalam kelompok tersebut.[42]
Penggulingan mantan presiden Mesir, Muhammad Mursi, militer negara itu serta AS meningkatkan pengabdian kepada keamanan negara dengan memperluas National Security Agency (NSA ), sebuah badan rahasia dalam pengumpulan informasi tentang Amerika serta orang asing. Meskipun Morsi terpilih secara demokratis untuk menggantikan rezim otoriter dan represif pemerintah Husni Mubarak, Mursi memiliki masa jabatan presiden yang singkat  dan terbukti semakin represif dan intoleran serta tidak layak. Mursi berani melawan dari lawan politiknya. Ditambah dengan presiden Mursi secara luas dianggap tidak layak dan tidak bertanggung jawab untuk kesalahan manajemen urusan negara, sehingga memicu percepatan pergolakan sosial dan penguraian ekonomi dan kekacauan. Dalam keadaan ini, ketika militer di Mesir menggulingkan Mursi dan mengambil kendali pemerintahan atas apa yang mereka menyatakan akan periode terbatas transisi ke arah yang lebih tegas menuju pemerintahan demokratis.[43]
Sebagai Angkatan Darat, di mana al-Sisi membuat karirnya menjadi pasukan perang yang dibayari oleh dividen kaya untuk perwira loyal terhadap Amerika. Militer pada dasaranya direkrut dari seluruh masyarakat Mesir, bisa jadi dalam perekrutannya terjadi KKN. Jadi, tidak heran jika al-Sisi pro-Amerika. Dalam pandangannya, Mesir mendapat sedikit dukungan dari AS ketika Mursi berubah otokratis dan organisasi Ikhwan al-Muslimin ditumbangkan. Padahal, sebagai negara bergerak menuju pemilu 2012, sudah jelas bahwa Ikhwan al-Muslimin memiliki operasi politik terbaik dan memenangkan suara populer di Mesir. Ketika mendekati tanggal untuk demonstrasi yang direncanakan pada akhir Juni, aktivis didorong oleh perantara berbicara atas nama militer untuk membangun tekanan di jalan-jalan. Melihat kebelakang, al-Sisi diam-diam menunggu saat yang tepat untuk menjatuhkan Mursi dan Ikhwan al-Muslimin.[44] Dari politik yang dibangun oleh militer, yaitu berkuasa penuh atas Mesir menolak pendapatnya Franz L. Neumann yang mengatakan “di suatu negara yang paling berkuasa adalah pemerintah sendiri baik itu seseorang atau kelompok partai, bahkan penguasa tersebut juga mengendalikan militer dan polisi untuk kekuatannya,” [45] karena pada hakitnya di Mesir saat ini militerlah yang berkuasa penuh dan bahkan bisa mengendalikan pemerintahan yang berasal dari partai politik dan ormas.

Kesimpulan
            Semangat nasionalisme Arab khususnya Mesir bagian darinya, pertama kali terbentuk pada masa Khalifah Umar bin ‘Affan dan pada masa ini juga nasionalisme bersifat Islami. Pasalnya, tentara yang dihadapi adalah bangasa romawi atau non Islam. Berbeda pada masa sesudahnya, yaitu setelah Perang Dunia I, Mesir dikuasai oleh Inggris dan Inggris pun berusahan menanamkan kebencian rakyat Mesir terhadap Uthmani hingga nasionalismenya cenderung sekular. Kemudian mulai sebelum pemerintahan Jamal ‘Abd al-Nasir, nasionalisme itu kembali ke Islam karena mereka menganggap sekularitas tidak bisa dijadikan landasan bagi kemajuan Mesir bahkan rakyat Mesir berusaha melepaskan diri dari penjajahan Inggris. Terakhir, nasionalisme Mesir dihadapai oleh polemik Militernya (yang dibayangi Amerika) dengan organisasi Ikhwan al-Muslimin. Tentunya, semangat Islam yang dimunculkan di sini dalam menghadapi Milternya. Walaupun pada akhirnya pemerintah yang baru Muhammad Mursi dan merupakan orang nomor satu Ikhwan al-Muslimin lengser ditangan militer.


[1]Faisal Ismail, Momentum Historis Gerakan Pencerahan Islam; Peranan Nabi Muhammad SAW dan Para Khalifah Al-Rasyidin Membangun Masyarakat Madani (Jakarta: PT Mitra Cendekia, 2004), 122.
[2]Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), 153.
[3]Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik; Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Jakarta: Kencana, 2007), 24.
[4]John L. Esposito, Islam and Development; Religion and Sociopolical Change (New York, Syrauce University Press, 1980), 87-88

[5]Persoalan Islam tidak menerima demokrasi masih saja dalam diskusi hangat  oleh politukus saat ini baik Muslim maupun non-Muslim. Bahkan, masih diperdebatkan tentang agama Islam yang tidak menerima modernisme. John L. Esposito, “2013 AAR Presidential Address: Islam in the Public Square,” J Am Acad Relig 2 (2014), 294, doi: 10.1093/jaarel/lfu014. Lihat juga John L. Esposito, Islam and Development, 19-27.  

[6]Ziad Fahmy menegaskan bahwa adanya konsultan Barat di Mesir justru akan berdampak pada tingkat korupsi meluas dan penyalahgunaan hak hukum. Lihat Ziad Fahmy, “Jurisdictional Borderlands: Extraterritoriality and "Legal Chameleons" in Precolonial Alexandria 1840-1870,” Comparative Studies in Society and History2 (2013), 306,doi:10.1017/S0010417513000042 (diakses 26 Desember 2014).

[7]John L. Esposito, Islam and Development, 93-95.

[8]Adam Mestyan, “Power and music in Cairo: Azbakiyya,” Urban History 4 (2013), 684,  doi:10.1017/S0963926813000229 (diakses 26 Desember 2014).

[9]John L. Esposito, Islam and Development, 95-96.
[10]Lihat Ziad Fahmy, “Jurisdictional Borderlands: Extraterritoriality and "Legal Chameleons" in Precolonial Alexandria 1840-1870,” 305-312.
[11]Lihat Tesis Ahmad Shafwan, Jamaludin al-Afgani Gerakan Pan Islamisme (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 1996), 84.
[12]Adyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme, 29-30.
[13]Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik; Agama dan Negara, Demokrasi, Civil Society, Syariah dan HAM, Fundamentalis, dan Antikorupsi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 3-4.
[14]Peter Woodward, review of Islam in Contemporary Egypt: Civil Society vs. the State, by Denis J. Sullivan; Sana Abed-Kotob, The Journal of Modern African Studies 2 (2000), 343, http://www.jstor.org/stable/161666 (diakses 22 Desember 2014).
[15]Lihat Tesis Syahrial, Pembaharuan Pemikiran Hasan al-Banna dalam Islam (Jakarta: Sekolah Pascasarajana UIN Syarif Hidayatullah, 1995), 98-110. Bisa juga dilihat di Disertasi S. Noor Chozin Sufri, Hasan al-Banna Tokoh Dakwah di Mesir  (Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 1999), 26, 111-126.
[16]P.H. Collin, Dictionary of Politics and Government (London: Bloomsbury, 2004), 158.
[17]Adhyaksa Daulth, Islam dan Nasionalisme; Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional (Jakarta: Yayasan Amanah Daulatul Islam, 2006), 22-28.
[18]Pendapat ini dikutip oleh C.E. Bosworth. Lihat C.E. Bosworth (ed.), Islamic World (New Jersey: Darwin Press, 1988), 415.
[19]Novel tersebut menjadi fokus penelitian Tesis penulis untuk mendapatkan gelar Magister. Lihat Jamal al-Ghitani, al-Zayni Barakat (Bayrut: Dar al-Shuruq, 1994).
[20]Adhyaksa Daulth, Islam dan Nasionalisme, 24-25.
[21]Sheherazade Jafari,  Gender, the State, and Nationalism in Egypt and Iran,” Feminist Formations, suppl. Special Issue: Women in the Middle East3 (2010), 254-259, http://search.proquest.com/docview/859360741/full textPDF/D67F39F586BD4377PQ/1?accountid=38628 (diakses 27 Desember 2014).
[23]Micheal T. Thornhill, “Britain, the United States and the Rise of an Egyptian Leader: the Politics and Diplomacy of Nasser’s Consolidation of Power,” English Historical Reiew 119 (2004), 892, ehr.oxfordjournals.org/ content/119/483/892.full.pdf+html (diakses 8 Juni 2014).
[24]Amr G. E. Sabet, Review of Arab Modernities: Islamism, Nationalism, and Liberalism in the Post-Colonial Arab World, by Jaafar Aksikas, Journal of Islamic Studies 1(2010), 334-337,  doi: 10.1093/jis/etp081 (diakses 27 Desember 2014).
[25]John L. Esposito, Islam and Politics (New York: Syracuse University Press, 1985), 83.

[26]Hoda Yousef, “Malak Hifni Nasif: Negotiations Of A Feminist Agenda Between The European And The Colonial,” Journal of Middle East Women's Studies 7 (2011), 73, http://search.proquest.com/docview/ 821698917/fulltext/9F034BEE8BDE4275PQ/2?accountid=38628 (diakses 22 Desember 2014).

[27]John L. Esposito, Islam and Politics, 91-92.
[28]Padahal argumen tersebut sudah dibantah, karena melihat dari Nabi Muhammad SAW. selain dari utusan Allah bagi umat manusia, dia juga seorang kepala negara. Artinya pada diri Rasulullah terdapat dua konsep, yaitu agama dan politik berjalan seiring sebagaimana yang dicontohkan. Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik Spiritual (Bogor: al-Azhar Press, 2007), 202. 
[29]John L. Esposito, Islam and Politics, 93-95.
[30]Abdel Fattah Galal, “Taha Hussein (1889-1973),” International Bureau of Education  3 (2000), 1, http://www.ibe.unesco.org/publications/ ThinkersPdf/husseine.pdf (diakses 22 Desember 2014).
[31]Pendapat yang sama diutarakan oleh Zada dan Arif R. Arofah, baginya Islam dan Politik harus dipisahkan karena akan mempersempit pemahaman agama. Terutama ketika agama dijadikan dalih bagi kelompok politik tertentu, jurstru akan mempersempit pemahaman agama sebatas tujuan politiknya. Khamami Zada dan Arief R Arofah, Diskursus Politik Islam (Jakarta: LSIP, 2004), 6-8. John L. Esposito, Islam and Politics ,95-97.
[32]Seperti salah satu contohnya adalah al-Hukm (pemerintahan), ulama mendefenisikan al-Hukm adalah kebijakan dan kecakapan dalam menghadapi masalah sehingga mendatangkan kemaslahatan bagi umat, tentunya berdasarakan hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT. Sebagimana Allah menegaskan dalam al-Quran surat al-An‘am (6): 67, yaitu:
 §NèO (#ÿrŠâ n<Î) «!$# ãNßg9s9öqtB Èd,ysø9$# 4 Ÿwr& ã&s! ãNõ3çtø:$# uqèdur äíuŽó r& tûüÎ7Å¡»ptø:$#
(kemudian mereka dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. ketahuilah bahwa segala hukum kepunyaanNya. dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat). Untuk lebih jelasnya lihat Jazilul Fawaid, Bahasa Politik al-Quran Konsep dan Aktualisasinya dalam Sejarah (Depok: Azza Media, 2012), 269.
[33]Pendapat di atas merupakan pendapat John L. Esposito, Islam dan Perubahan Sosial Politik di Negara-negara Berkembang, terj. Wardah Hafiz (Yogyakarta: PLP2M, 1985), 151 yang dikutip oleh Eti Efrina, Pandangan Dunia Pengarang dalam Sastra: Kritik Sastra Feminis atas Novel Imra’ah ‘Inda Nuqtat al-Sifr (Tangerang Selatan: YPM, 2012). 72.
[34]Abu Ghazzah, Musim Semi Revolusi Dunia Arab; Success Story Partai Kebebasan dan Keadilan Sayap Politik Jamaah Ikhwanul Muslimin (Jakarta: Maktaba Gaza, 2012), 158-159.
[36]Sally Khalifa Isaac, Egypt’s Transition: How is it under Brotherhood Rule?,” ISPI-Analysis 138 (2012), 1, http://www.ispionline.it/ sites/default/files/pubblicazioni/analysis_138_2012.pdf (diakses 2 Nopember 2014).
[37]Sita Hidriyah, “Terpilihnya Muhammad Mursi dan Babak Baru Demokrasi di Mesir,” Info Singkat Hubungan Internasional 13 (2012), 6, http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-IV-13-I-P3DI-Juli-2012-60.pdf (diakses 26 Desember 2014).
[38]Jannis Grimm and Stephan Roll, “Egyptian Foreign Policy under Mohamed Morsi; Domestic Considerations and Economic Constraints”, SWP Comments 35 (2012), 1, http://www.swp-berlin.org/fileadmin/contents/ products/comments/2012C35_gmm_rll.pdf (diakses 2 Nopember 2014).
[39]Salma Ikram, “Cultiral Heritage in Times of Crisis: the View from Egypt.” Journal of Eastern Mediterranean Archaeology & Heritage Studies 1  (2013), 336 dan 371, http://jstor.org/stables/10.5325/jeasmedarcherstu.1.4.0366 (diakses 2 Juni 2014).

[40]Nathan Brown berpendapat bahwa peristiwa Juli 2013 yaitu penggulingan oleh militer presiden terpilih Muhammad Mursi ditandai dengan jelas kegagalan Mesir dua tahun upaya Mesir untuk mewujudkan transisi demokrasi berikut pemberontakan massa melawan pemerintahan otoriter. Lihat NewsRx,New Looks at Egypt and Syria in Latest Issue of the Journal of Democracy,” Politics & Government Business  (2013), 40, http://search. proquest.com/docview/1444572510?accountid=38628 (diakses 26 Desember 2014).

[41]Bahkan menurut kantor berita MENA mengatakan bahwa Omar Abul-Magd ditangkap pekan lalu di provinsi Qena karena diduga menghina Umum ‘Abd al-Fattah al-Sisi, yang memimpin kudeta melenserkan Presiden Muhammad Mursi. Kemudian sebelumnya lima pro-Mursi yang berunjuk rasa mendapatkan kurungan tiga tahun penjara karena nyanyian melawan tentara. Kemudian dalam orasi dari pendukung mantan Presiden Muhammad Mursi, pihak berwenang menangkap Essam el Erian, salah satu wakil pemimpin Partai Kebebasan dan Keadilan, ekspresi politik Ikhwan al-Muslimin. Selain itu, Polisi juga membubarkan demonstrasi mendukung Mursi di Universitas al-Azhar. Lihat News Digital Media, “NZ farmers stay on land,” The Weekly Times (2013), 20, http://search.proquest.com/docview/1435379247?accountid= 38628 (diakses 26 Desember 2014). Kemudian lihat juga David W. Hendon and Jason Hines, “Notes on Church-State Affairs,” J. of Church and State 1 (2014), 208, doi: 10.1093/jcs/cst142 (diakses 27 Desember 2014).

[42]Toni Andrianus (ed.), Mengenal Teori-teori Politik (Bandung: Nuansa, 2006), 89-90.
[43]Michel Rosenfeld, “On constitutionalism and the paradoxes of tolerance: Reflections on Egypt, the US, and beyond,” Int J Constitutional Law 4 (2013), 835-841,  doi: 10.1093/icon/mot055 (diakses 27 Desember 2014).

[44]Mike Giglio dan Christopher Dickey,The Anonymous Dictator: What does Egypt's strongman want?,” Newsweek  (2013), 1, http://search. proquest.com/docview/1426247641?accountid=38628 (diakses 26 Desember 2014). Lihat juga berita ini di berita online Viva New melalui situs  http://dunia.news.viva.co.id/news/read/426065-abdel-fattah-al-sisi--jenderal-lulusan-as-yang-kudeta-presiden-mesir (diakses 26 Desember 2014).

[45]Toni Andrianus (ed.), Mengenal Teori-teori Politik, 92-93.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar