PASANG SURUT NASIONALISME ISLAM
DI MESIR
Muhammad Isya
Nim.: 13.2.00.0.06.01.0065
Konsentrasi Bahasa dan Sastra
Arab
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
E-mail: Muhammadisya92@gmail.com
Abstrak
Semakin modernitas, semakin
nasionalisme cenderung ke arah Islam. Nasionalisme Mesir tidak bisa dipisahkan
dengan Islam meskipun banyak pengaruh modernitas dan dominasi militer. Meskipun
militer mempunyai kekuasaan yang kuat, tetapi semangat nasionalisme Mesir masih
ada. Makalah ini sependapat dengan pendapatnya Peter Schroder, Huntington dan Finner
yang mengatakan “kekuasaan penuh di suatu pemerintahan bukanlah dari golongan
partai yang terpilih atau ormas lainnya, tetapi kekuasaan milterlah yang paling
dominan atau dari kumpulan penguasa lainnya yang didasari dari hubungan
pribadi.” Maka tidak heran jika Muhammad Mursi lengser atas dominasi politik
yang dimainkan militer. Kemudian tidak tepat apa yang diutarakan Neumann,
menurutnya “pada suatu negara yang paling berkuasa adalah pemerintah sendiri
baik itu seseorang atau kelompok partai, bahkan pemerintah tersebut juga
mengendalikan militer dan polisi untuk kekuatannya.”
Nasionalisme Islam, modernisme,
militer Mesir
A.
Nasionalisme Islam di Mesir
Dalam sejarah, Islam pertama kali masuk ke Mesir pada tahun 19 H. yang
dibawa oleh utusan perang khalifah Umar bin Khattab, yaitu ‘Amr bin ‘As. Dimana,
pada masa itu pasukan ‘Amr bin As mampu mengusir pasukan Romawi yang sebelumnya
menguasai daerah ini. Tampaknya keberhasilan itu merupakan kepiawaan
perpoltikan ‘Amr sehingga mendapatkan dukungan penuh dari penduduk Mesir yang
selama ini tertekan di bawah kekuasaan Romawi. Pasalnya, pasukan ‘Amr pada penaklukkan
kota Bulbais, ia mampu mengalakan tentara Artabun dan menyandranya. Sementara
dari salah satu sandraan tersebut ada puteri Gubernur Mesir yang mereka culik
sebelum peperangan tersebut. Terlihat sekali peran politik ‘Amr untuk
memperoleh dukungan rakyat Mesir, yaitu dengan menyelamatkan putri Gubernur dan
mengirimkannya. Hingga terlihat bahwa ‘Amr adalah pahlawan dan Gubenur pun
berhutang budi. Seterusnya pada episode selanjutnya dalam menaklukkan kota
lainnya, pasukan ‘Amr sudah mendapatkan dukungan penuh dari gubernur Mesir dan
rakyatnya.[1]
Sampai akhir pemerintahan Umar bin Khattab, yaitu tahun 641 M.,[2] Islam mengalami
perluasan yang pesat. Bukan hanya negara Mesir yang berhasil ditaklukkan,
tetapi negera-negara lainnya yang meliputi Jazirah Arab, seperti Shiria, Irak,
dan Palestina. Kemudian juga beberapa negara Persia.[3]
Islam tradisional memandang bahwa agama dan politik harus disatukan.
Al-Quran dan Hadis yang menjadi sumber hukum Islam dapat membimbing manusia
baik secara prabadi maupun kelompok, tentu dalam hal ini termasuk juga negara.
Dengan perlindungan dan jaminan dari pemerintah, ulama berusaha maksimal untuk
menafsirkan dua sumber itu. Dalam hal ini, pemerintah patuh pada sumber hukum
Islam atau secara tidak langsung pemerintah mengikuti sumber hukum yang telah
ditafsirkan oleh ulama, terkhusus dalam menentukan hal diperbolehkan dan tidak
atau dalam konsep Islamnya halal dan haram. Artinya, ulama mendapati derajat
yang mulia. Terlihat penyatuan agama dan politik dari dua tugas yang
dilaksanakan, ulama memaksimalkan dalam menafsirkan dua sumber hukum itu
sekaligus menyebarkannya dan pemerintah menerapkan pada negaranya agar
terbentuk masyarakat Islam seperti yang harapkan.[4]
Ciri lain dari pada Islam tradisional
adalah adanya peran kaum ulama sebagai penasehat di kenegaraan dan itu juga
yang dianut oleh kaum sunni dalam hubungan dengan agama dan negara. Ketika
pemerintah mengambil keputusan suatu hukum, tentunya harus bermusyawarah dulu
dengan para ulama. Adanya ulama menjadi pengabsah dalam perpolitikan dan penengah
dalam kehidupan sosial. Tentunya, Islam
sebagai identitas rakyat Mesir sangat berperan aktif dalam hal ini. Ini
terlihat bahwa dari pemimpin Islam tidak menerima ide-ide politik Barat. Masyarakat
Islam memandang dalam kaitannya dengan kekusaan, baik penguasa maupun yang
dikuasai harus sama-sama memegang hukum shari‘ah. Walau bagaimana pun, semuanya
harus mengikuti petunjuk al-Quran, terutama dalam kaitannya dengan politik, karena
pemimpin di masyarakat adalah pemimpin agama juga. Ditambah lagi dengan kaum
fundamentalis mengecam bahwa politik Barat banyak mengandung unsur yang tidak
adil. Seterusnya politik sekular bisa dimanipulasi demi kepentingan tertentu
dan menguntungkan pihak tertentu, serta politik sekular tidak mempunyai prinsip
yang jelas. Akan tetapi begitu juga sebaliknya, pemikir Barat menganggap
politik Islam adalah hal yang tradisional dan penuh dengan radikalisme, politik
Islam tidak menerima sistem demokrasi dan bersikap tidak adil dalam hal ini.[5]
Pada pemerintahan Muhammad ‘Ali Basha (1805-1849) politik dan agama
dipisahkan. Tampak Mesir masa ini cenderung ke arah sekular. Dia juga membentuk
badan konsul Barat di Mesir.[6] Bahkan sikap yang
diambil Basha adalah menghukum para ulama yang menentang keputusannya. Baginya,
dalam kaitannya dengan kekuasaan, pemerintah berhak mengangkat dan
memberhentikan jabatan ulama, mengambil kembali dana yang dihibahkan ke
lembaga-lembaga keagamaan selama ini. Wajar jika pengaruh yang ditimbulkan
adalah lembaga keagamaan banyak yang ditinggalkan begitu saja tanpa
dilanjutkan. Masyarakat Islam dan sistem dari kegamaan dalam hal ini dirugikan.
Ulama tidak dijadikan sebagai penesahat lagi di kenegaraan dan jika pun ada,
pemerintah yang baru ini menolak dari nasehat itu. Tidak heran jika para ulama
mulai menetang dengan rezim baru yang terapkan, walaupun itu hanya bersifat
pribadi. Meskipun penentangan itu secara kelompok, akan tetapi ulama menganggap
hal itu tidak berguna. Karena memang Basha menentang tradisi Islam nasional
secara sembunyi dan hal itu meragukan ulama. Baginya, shari‘ah masih tetap
dijunjung tinggi dan juga dalam halnya pendidikan agama di Mesir, Basha tidak
pernah menentang.[7]
Terlihat juga perbedaan yang signifikan dalam pemerintahan Muhammad ‘Ali Basha
yang pemerintahannya turun-temurun dari Sultan Abdülmecid,[8] jika masa sebelumnya
ulama mendapati posisi penasehat dan mendapati lindungan dari militer
khususnya, tetapi pada masa ini ulama dipandang sebagai penghambat bagi
kemajuan Mesir, terutama dalam kaitannya dengan militer negara Islam dan
menjadi lawan dalam hal kekuasaan. Perlu juga disadari bahwa pembaharuan Basha
tidak mengambil secara keseluruhan dari modernisme Barat. Hanya bangian
tertentu saja seperti dalam hal organisasi dan kemiliteran dan itu juga tidak
merusak ideologi yang sudah ada. Artinya pembaharuan itu ditujukan untuk ketahanan
dan kemajuan negara.[9]
Mesir di bawah pemerintahan Muhammad ‘Ali Basha, dalam tatanan ekonomi,
mendapati kemajuan terutama ekonomi di Alexandria. Kota itu menjadi peran
penting dalam perekonomian Mediterania Timur. Muhammad ‘Ali menyadari potensi
Alexandria untuk menjadi pintu gerbang ekonomi ke Eropa, dan ia memerintahkan pembukaan
segera pelabuhan barat untuk pengiriman ke Eropa. Suatu kebangkitan sektor
ekonomi dan kesempatan kerja secara dramatis sehingga meningkatkan migrasi
internal dan eksternal ke kota. Populasi penduduk Alexandria grafiknya naik
menjadi lebih dari 104.000 pada 1848 dan mencapai 232.000. Meskipun tujuan
utama Muhammad Ali yang militer, tujuan langsungnya adalah untuk memperkuat
ekonomi Mesir melalui ekspor hasil bumi seperti bahan pokok kapas ke pasar
Eropa. Untuk mencapai hal ini, ia mendorong pengembangan pertanian komersial,
memperluas kapasitas infrastruktur pelabuhan barat, dan dilaksanakan proyek
pekerjaan umum yang signifikan untuk revitalisasi Alexandria sebagai pintu
gerbang perdagangan Mesir-Eropa. Perubahan struktural lebih terintegrasi dan menjadikan
perekonomian Mesir masuk ke dalam sistem dunia, dan merupakan penyebab utama bagi
migrasi massal dari ribuan orang Mesir, Levantines, dan Eropa Selatan ke kota,
mengubahnya lagi menjadi sebuah metropolis yang besar dan beragam.[10]
Sehingga lahirlah nasionalisme yang bersifat Islam. Hal tersebut
dipengaruhi oleh tokoh pergerakan Islam yaitu Jamal al-Afghani, Hasan al-Banna,
Abu al-A‘la al-Maududi dan Iqbal. Jamal al-Afghani (1839 M.) dalam sejarah
hidupnya ia sering berpindah-pindah dan inilah menjadi cikal bakal pemikiran
tersebut. Dari Mesir terus ke London hingga ke Paris. Seruannya adalah agar
umat Islam bisa bersatu dalam melepaskan diri dari kendali asing. Makanya
solusi yang ia berikan adalah agar umat Islam bersatu dalam ideologi,
berdakwah, membina akhlak umat dan berjuang.[11]
Dalam kaitannya dengan bidang politik, al-Afghani dikenal dengan tokoh
gerakan Pan-Islamisme. Suatu gerakan yang menenakan pada ukhuwwah Islamiyah
dalam mewujudkan kemajuan Islam tentunya. Dia memcoba mempersatukan terhadap
umat Islam di seluruh dunia dan meperbaiki sistem politik ke arah yang berbasis
Islam. Sebagai penyambut dari pemikiran ini, al-Afghani mempunyai dua orang
murid, yaitu Rashid Rida dan Muhammad ‘Abduh.[12] Hal ini juga disebabkan
karena Islam dan Politik adalah satu kesatuan yang saling melengkapi. Agama
membutuhkan politik dalam penyebarannya dan politik pun akan butuh agama
sebagai pemelihara. Sebagimana yang dikutip oleh Sukron Kamil pendapat
al-Mawardi, jika politik dikuasai oleh Muslim, akan melahirkan pemeliharaan
terhadap agama, pengelola terhadap kebutuhan manusia.[13]
Hasan al-Banna merupakan salah satu pria kelahiran Mesir pada tahun 1906 M.
Kesehariannya memang orang yang cinta ilmu dan mempunyai semangat yang tinggi.
Tidak heran juga jika al-Bana merupakan salah satu tokoh pembaru Islam di Mesir
dan mendirikan organisasi Ikhwan al-Muslimin pada tahun 1928 M.[14] Lingkungannya yang
mendukung yaitu perpustakaan milik ayahnya yang bernama Shaykh Ahmad menjadi
pemicu semangatnya, baik buku yang berkenaan dengan fikih dan sejarah Nabi dan
sahabatnya. Sehingga sejarah Rasulullah yang meragkap dua jabatan, kepala
negara dan Nabi, menjadi pijakan pada ideologi yang ia anut. Menurutnya, dakwah
harus masuk ke seluruh aspek kehidupan, baik dari segi ‘aqidah, mua‘amalah,
akhlak, dan bentuk kehidupan sosial lainnya. Selain dari kecintaannya terhadap
ilmu, ia adalah penganut tarekat. Dalam perpolitikan, dalam konsep tentang
nasionalisme dan patriotisme sangat mendukung, asalkan kedunya berlandaskan
iman kepada Allah SWT. Ada tiga prinsip pemerintahan Islam yang ia tawarkan,
yaitu: penguasa harus bertanggung jawab terhadap Allah dan rakyat, umat harus
bersatu agar kokoh dan pemimpin harus menghormati masyarakat.[15]
B.
Pengaruh Modernisme terhadap
Nasionalisme Islam
Nasionalisme merupakan keinginan terhadap kebebasan berpolitik dengan orang
yang mempunyai kebudayaan yang sama atau perasaan kebanggaan yang kuat di dalam
suatu negeri.[16] Dalam konteksnya Arab,
cikal bakal nasionalisme bermula dari masa ‘Umar bin Khattab. Semangat
kearabannya orang-orang Arab menjadi pemicu mereka untuk menghadapi semua
kendali asing. Terutama pada masa ini
menghadapi tentara Romawi dan Sasanid.
Hingga pada periode modern, semangat itu terus dipupuk oleh sekelompok
intelektual Arab yang dipengaruhi oleh Barat dengan cara menanamkan kebencian
terhadap tentara tentara Ushmani. Tercatat mulai tahun 1875, mereka berusaha
keras untuk membangkitkan semagat nasionalisme itu dengan cara menampilkan bentuk-bentuk
kekejaman dari tentara Uthmani terhadap rakyat Mesir.[17] Padahal, David Ayalon
berpendapat, di dalam sejarah penaklukkan Mesir, oleh Uthmani tidak membuat
kekacauan di masyarakat dan tindakan anarkis lainnya. Uthmani hanya melumpuhkan
dari kekuasaan Mamluk terhadap wilayah itu.[18] Sejalan dengan tersebut,
kisah penaklukkan Mamluk oleh Uthmani juga digambarkan oleh novelis Mesir Jamal
al-Ghitani di dalam novel realis historisnya al-Zayni Barakat. Di
dalamnya, al-Ghitani mengangkat tokoh pejuang Mesir masa akhir Mamluk dan awal
Uthmani yang bernama al-Zayni Barakat bin Musa. Diceritakan bahwa pada
penaklukkan Mamluk, tentara Uthmani hanya melumpuhkan kekuasaannya.[19]
Setelah Perang Dunia I, Turki Uthmani dikalahkan oleh tentara sekutu.
Dampaknya, daerah-daerah yang menjadi kekuasaan Uthmani diambil alih oleh
Prancis dan Inggris. Prancis mendapati wilayah Suriah dan Libanon dan Inggris
mendapati Irak dan Palestina. Kemudian pada tahun 1948, Inggris mulai
memperlihatkan politiknya dengan Yahudi lainnya dengan mendirikan Israel di
Palestina. Peristiwa ini pun membangkitkan kembali nasionalisme Arab. Jika
tadinya keAraban tersebut dipicu oleh kebencian terhdap tentara Uthmani, maka
sekarang dipicu oleh keberadaan orang Yahudi di tanahnya Palestina.[20] Hal lain adalah Inggris
menjajah Mesir.
Inggris memberikan jaminan kemerdakaan kepada
Mesir, akan tetapi masih terbatas karena masih dibawah kekuasaannya. Nasionalisme kini menghadapi penjajahan Inggris dan
rakyat Mesir bersatu dalam hal ini. Rakyat Mesir menganggap bahwa keburukan
yang dilakukan Inggris kepada wanita Mesir, yaitu memperkosanya dianggap hal
yang mencoreng identitas nasional mereka. Pada tahun 1919 merupakan revolusi
Mesir, dimana beragam kelompok dimobilisasikan untuk
memprotes Inggris dan menyerukan kemerdekaan.
Terlihat yang banyak berperan aktif menuntut kebebasan ini adalah perempuan.
Mesir modern di abad kesembilan
belas sampai dengan aktivisme
politik tahun
1940-an, mengeksplorasi hubungan antara
gender negara dan tindakan politik
perempuan. Perempuan memainkan peran kunci
dalam gerakan nasionalis Mesir, karena aktivisme mereka ditindas
selama ini.[21]
Terlihat mulai dari kesembilan belas revolusi
dan partisipasi
perempuan di Mesir telah bergeser dari
waktu ke waktu di sesuai
dengan agenda feminis atau
populis hari.
Baron menunjukkan bahwa meskipun telah diabaikan
dalam literatur yang
lebih luas tentang nasionalisme, para wanita ini penting
untuk hal pembangunan
bangsa. Politik nasionalis harus dipahami
secara luas, bukan
hanya sebagai partai atau politik parlemen,
sedangkan problema perempuan sering diabaikan, tetapi harus
aktif juga berpastisipasi dalam kegiatan
pembangunan bangsa dalam bidang
yang beragam, termasuk
pendidikan, jurnalistik, feminisme, dan
kesejahteraan sosial lainnya.[22]
Dampaknya, timbullah sikap protes
dari rakyat Mesir agar kemerdekaan itu sepenuhnya pada tahun 1922. Hingga pada
pemerintahan Jamal ‘Abd al-Nasir, semangat nasionalis itu memuncak. Menurut
al-Nasir, pengaruh dunia Barat terhadap Mesir menjadi dampak buruk bagi nasional
rakyat Mesir. Kemudian politik yang memakai ideologi Barat justru akan
menumbuhkan sifat KKN dan pemerintah yang diktator. Pada tahun 1952, al-Nasir
melengserkan pemerintahan Raja Farouk. Jamal ‘Abd al-Nasir dilantik menjadi
presiden Mesir pada tanggal 23 Juli 1952.
Masa yang tidak begitu lama semenjak dilantik, ia mampu mengukir sejarah
baru bagi masyarakat Mesir. Politik yang ia mainkan, ia mampu mengusir
penjajahan atas bangsanya, dalam hal ini adalah Inggris. Langkah awal yang ia
lakukan adalah dengan cara diplomasi. Hingga tahun 1956 Inggris terpaksa angkat
kaki atas penjajahan Mesir.[23] Kemudian melihat dari
latar belakang presiden yang baru ini, sangat wajar jika peran yang dimainkan
tersebut berhasil. Al-Nasir adalah perwira yang berpangkat Mayor. Tentu kepiawaiannya di dalam mengatur siasat
sangat bagus. Sebelum menjadi presiden, tepatnya pada tahun 1984, ia sangat
aktif dalam usahanya mengusir penjajah Inggris dan melawan Isreal.
Terlihat bahwa
identitas orang Arab dan Muslim dihadapai dengan persoalan modernitas. Adanya
budaya, agama atau ideologi Arab bisa tetap bertahan jika mereka mau
mempertahankannya. Melihat dari kerangka sosial-ekonomi, budaya dan politik di mana ideologi ini muncul karena salah satu dari konflik dan perjuangan melawan imperialisme (Eropa serta pewaris Amerika) dan melawan penguasa. Setelah kekalahan Arab dalam
perang tahun 1967, intelektual
Arab banyak yang berubah liberal, menempatkan
semua kesalahan pada tradisi Arab-Islam, dan menyerukan penerapan total terhadap budaya
Barat. Menurut Abdessalam Yassine (politikus
Maroko) , masyarakat muslim saat ini tinggal dalam keadaan 'fitnah' (hasutan, konflik), dan harus berusaha untuk keluar dari
fitnah itu. Tentunya, hal ini
memerlukan persiapan kelompok elit yang terorganisir sehingga mampu memimpin masyarakat. Untuk mencapai kondisi ini, kelompok ini harus mengikuti metode Nabi (Minhaj) sebagai strategi baik klarifikasi, perencanaan, koordinasi dan pelaksanaannya.[24]
Setelah Perang Dunia I, nasionalisme di masyarakat Arab belum berkembang
dengan sepenuhnya karena memang kondisi dari Mesir sendiri yang belum siap.
John L. Esposito mengungkapkan tiga faktor yang menjadi penyebab kurangnya
perkembangan nasionalisme tersebut, yaitu: 1). Ideologi politik yang dianut
oleh Mesir tidak lagi berdasarkan hukum agama. Sebagai akibat dari pengaruh
Barat, yaitu penguasaan Barat setelah Peang Dunia I politik pun cenderung ke
Barat, 2). Masih memperjuangkan kemerdekaannya terhadap kendali Inggris, dan
3). Munculnya gerakan Salafi.[25]
Terlihat modernisme Islam telah mengantarkan nasionalisme yang bersifat
sekuler. Hal ini disebabkan adanya pengaruh nasionalisme Barat yang liberal dan
sekular. Terdapat tiga tokoh nasionalisme Mesir pada periode ini, yaitu Ahmad
Lutfi Sayyid, Taha Husain, dan ‘Ali ‘Abd al-Raziq. Tiga tokoh tersebut
sebelumnya dipengaruhi oleh al-Afghani dan ‘Abduh. Ahmad Lutfi Sayyid
(1872-1963) merupakan pria kelahiran Mesir yang bertemu dengan al-Afghani pada
jenjang pendidikan lanjutan dan bahkan menjadi sahabatnya ‘Abduh pada masa itu.
Setelah tamat dari sekolah lanjutan, Sayyid bekerja di lembaga pemerintahan,
tetapi hanya dalam beberapa waktu. Bersama rekan se-ideologinya, ia mendirikan
partai dan sebuah penerbit yang bernama al-Jaridah.[26] Meskipun ia sebelumnya
dipengaruhi oleh pemikiran al-Afghani dan ‘Abduh, tetapi pemikirannya cenderung
ke arah sekular. Dalam hubungannya dengan nasionalisme, Sayyid justru
menegaskan agar politik dan agama dipisahkan, serta banyak mengadopsi ide-ide
politik Barat. Menurutnya, ide-ide Islam tradisional banyak yang tidak relevansi
lagi dengan zaman kekinian, terutama di bidang politik. Sebuah bangsa harus
mempertahankan kemerdekaannya tanpa harus ada ikatan-ikatan tertentu, karena
nasionalisme bersifat teritorial dan tidak ada hubungannnya dengan masyarakat
pan-Islam.[27]
Begitu juga dengan Taha Husain (1889-1973) merupakan pria buta kelahiran
Mesir yang pemikirannya sudah banyak dipengaruhi oleh Barat. Bahkan ia
membangun untuk kebudayaan Mesir berazaskan Barat dan bukan berazaskan Islam.
Melihat dari latar belakang pendidikan, Husain pernah mengecam pendidikan di
Prancis, sebelumnya belajar di universitas al-Azhar selama sepuluh tahun dan
Egyptian University empat tahun. Menurutnya, umat Islam jangan terlalu bangga
dengan kejayaan Islam di masa lampau karena pada hakikatnya Islam dan politik
itu pada awalnya terpisah.[28] Agama Islam dan Kristen
mempunyai esensi sumber yang sama, sehingga dari segi kebudayaan dan
intelektual memiliki kesamaan. Adanya kemajuan di Mesir saat ini dikarenakan
adanya sumbangan pemikiran dari Barat. Bodoh jika Mesir tidak menggunakan
kesempatan ini, karena kemajuan itu sudah ada berkat ide-ide Barat, sementara
Mesir akan butuh waktu yang lama untuk bisa memperolehnya demi sebuah kemajuan.
Maka tidaklah heran pada masa ini pada sistem pemerintahan dan pendidikan di
Mesir menganut sistem Barat. Akan tetapi, Husain tidaklah mengambil semua
ide-ide itu secara untuk untuk diterapkan di Mesir, justru ia memilah dan
menyaringnya terlebih dahulu.[29] Dalam soal pendidikan misalnya,
pemikiran Taha Husain telah mampu membuat kesetaraan dalam dunia pendidikan,
baik orang miskin, kaya, muda, tua. Baginya, pendidikan itu sangat penting agar
tidak ada lagi rakyat yang buta huruf.[30]
Adapun pemikiran ‘Abd al-Raziq (1888-1966) tidak jauh berbeda dengan Taha Husain
dan Lutfi Sayyid yang cenderung liberal dan sekular. Pada riwayat
pendidikannya, ia belajar di al-Azhar setelah itu di universitas Oxford.
Baginya sangat menolak tentang adanya politik Islam, karena tidak adanya dalil
dalam al-Quran dan Sunnah yang menjelaskan tentang politik Islam. Jadi, agama
harus dipisah dari politik.[31] Padahal meskipun
al-Quran bukanlah kitab yang menjelaskan politik, akan tetapi mengandung
unsur-unsur yang mengadung politik, diantaranya al-Quran berbicara tentang
sistem pemerintahan (al-Hukm), kekuasaan (Istikhlaf), prinsip
musyawarah (al-Shura), rakyat (al-Ummah), dan lain-lain. Artinya,
al-Quran juga berbicara tentang politik secara rinci, tetapi berbicara secara
global.[32]
Munculnya tiga tokoh seperti yang telah disebutkan di atas, telah mampu
menjadikan Mesir yang mempunyai sistem sekular Barat. Akan tetapi pada
prateknya, Mesir masih saja mempertahankan identitas agama Islam. Bahkan dalam
tindakan dan prakteknya di masyarakat, tetap saja menggunakan sikap-sikap
tradisional. Dalam kasus tertentu, wanita masih saja dinomorduakan, penyiksaan
dan bentuk sikap tidak adil lainnya dari kaum lelaki.[33]
C.
Polemik Nasionalisme Islam dan
Militer Dewasa ini
Semangat Nasionalisme Islam
Pasca
setelah Mubarak diberhentikan, Mesir sebagai negara yang melahirkan tokoh
pendiri Ikhwan al-Muslimin mendapati kemenangan partai Islam. Dari total
penduduknya 85 juta jiwa, sebanyak 60% penduduknya berpartisipasi dalam
pemeilihan umum kali itu. Sementara pada pemilihan umum sebelumnya hanya 15%.
Partai Kebebasan dan Keadilan mampu meraih kemenangan dan menjadi kemajuan bagi
politik Islam walaupun mereka dinilai dengan sebuah kelompok yang radikal atau
asumsi negatif lainnya.[34] Dari data yang
ditemukan, ada 51 % dari penduduk Mesir yang memilih Mursi.[35] Secara otomatis ini
adalah kemenangan mutlak dari partai Islam ini karena hampir dari seluruh
jumlah penduduk yang berpartisipasi.
Pemilihan calon
Ikhwan al-Muslimin,
Muhammad
Mursi, sebagai sipil pertama Mesir terpilih sebagai Presiden pada bulan Juni 2012, tampaknya tidak membawa transisi Mesir berakhir. Mursi, yang memenangkan pemilu dengan sedikit lebih dari 50% suara, memiliki banyak lawan polikus pemerintahannya, terutama pada dua bulan terakhir setelah ia dilantik. Presiden baru ini umumnya disukai oleh rakyat karena berbicaranya yang spontan, terlihat seperti orang yang jujur dan mempunyai niat baik untuk reformasi dan pembangunan Mesir. Namun, mengutip pendapat Sally Khalifa Isaac, ia mempunyai tantangan besar dari non-Islam. Sejak ia terpilih menjadi Presiden, banyak memicu kritikan pasukan non-Islam yang menuduhnya "Ekhwanizing" negara (mengikhwahkan negara Mesir), membungkam kritik, dan tegas mengkonsolidasikan otokrasi baru dari ideologi agama.[36]
Mursi, sebagai sipil pertama Mesir terpilih sebagai Presiden pada bulan Juni 2012, tampaknya tidak membawa transisi Mesir berakhir. Mursi, yang memenangkan pemilu dengan sedikit lebih dari 50% suara, memiliki banyak lawan polikus pemerintahannya, terutama pada dua bulan terakhir setelah ia dilantik. Presiden baru ini umumnya disukai oleh rakyat karena berbicaranya yang spontan, terlihat seperti orang yang jujur dan mempunyai niat baik untuk reformasi dan pembangunan Mesir. Namun, mengutip pendapat Sally Khalifa Isaac, ia mempunyai tantangan besar dari non-Islam. Sejak ia terpilih menjadi Presiden, banyak memicu kritikan pasukan non-Islam yang menuduhnya "Ekhwanizing" negara (mengikhwahkan negara Mesir), membungkam kritik, dan tegas mengkonsolidasikan otokrasi baru dari ideologi agama.[36]
Melihat dari riwayat hidup Mursi, ia lahir pada
tanggal 20 Agustus 1951 di desa al-Adawa (bagian Timur Mesir). Dia tidaklah
berasal dari keluarga terpandang, tapi anak petani dan ibunya hanya mengurusi
rumah tangga. Meskipun berlatarbelakang dari keluarga sederhana, tapi tidak
melunturkan semangatnya. Ia lulusan Insinyur dan Magister tekhnik di Universitas Kairo Mesir. Kemudian
menyelesaikan Doktor di Universitas California pada tahun 1982. Selain
aktivitas belajar, ia juga bekerja di Badan Penerbangan Antariksa Amerika
Serikat (NASA). Gelar profesornya diraih di kampung halamannya Mesir, yaitu Universitas
Zagaziq pada tahun 2010.[37]
Tampaknya asumsi di atas berbeda dengan pendapat
Jannis Grimm and Stephan Roll (2012), menurutnya Sejak menjabat, Presiden
Muhammad Mursi
telah jelas berbeda
dari Husni Mubarak,
sebagaimana tercermin dalam dua kecenderungan: menegaskan
peran kepemimpinan regional
untuk Mesir dan
kebijakan luar negeri pembukaan
Kairo untuk
mitra potensial baru.
Meskipun Mursi berasal
dari Islam Ikhwan
al-Muslimin, kebijakan luar negerinya
tidak salah satu dari reorientasi
ideologis mendasar.
Sebaliknya, ia
berusaha untuk meningkatkan dukungan rakyat melalui
aktivis politik luar negeri.
Dapat dikatakan kurangnya keberhasilan dalam kebijakan
ekonomi dan sosial.[38]
Sejak tanggal 25 Januari 2013, Mesir telah
mengalami kerusuhan dan konflik yang terjadi dimana-mana, terutama yang terjadi
pada bulan Januari 2014. Hal yang menjadi perhatian adalah banyaknya kerugian
yang terjadi akibat dari konflik tersebut. Tentunya, konflik tersebut akan
berpengaruh pada ekonomi Mesir. Belum lagi dengan cagar budaya dan kesenian
yang hancur akibat peristiwa itu.[39]
Dominasi Militer Terhadap Arah
Nasionalisme Mesir
Bahwa Mesir memiliki kekuatan baru tidak diragukan lagi, karena militer Mesir menggulingkan Presiden terpilih secara demokratis Muhammad Mursi bulan Juli 2013.[40] Dampak dari hal tersebut muncul protes di seluruh negeri, poster Jenderal ‘Abd al-Fattah al-Sisi berada dimana-mana.[41] Al-Sisi tetap sebagai dipandang dengan kacamata gelap. Di Mesir, ia sering dibandingkan dengan pemimpin
karismatik dan kejam dari tahun
1950-an dan 1960-an, Jamal ‘Abd al-Nasir, namun sedikit orang yang tahu tentang keluarganya atau latar belakang. Memahami al-Sisi sangat penting untuk memahami dimana Mesir dipimpin, terutama tindakannya banyak membuat pertumpahan darah. Pasalnya, prajuritnya menindak demonstran pro-Ikhwan al-Muslimin.
Jika melihat ciri
politik seperti ini, dimana dalam kegiatan politik banyak peran dari militer,
maka dapat dikatakan bahwa Mesir masih memakai sistem politik otoriter.
Huntington dan Finer menegaskan bahwa ciri utama dari sistem politik
nepotistik, otoriter dan paternalistik adalah kegiatan politik banyak diayomi
oleh militer dan struktur keamanan dari
mereka mengawasi birokrasi yang ada. Kemudian Peter Schroder menambahkan bahwa
kekuasaan penuh di suatu negara bukanlah berasal dari partai politik atau
ormas, melainkan dari sekumpulan penguasa yang didasari dari hubungan pribadi
dalam kelompok tersebut.[42]
Penggulingan mantan presiden Mesir, Muhammad Mursi, militer negara itu serta AS meningkatkan pengabdian kepada keamanan negara dengan memperluas National Security Agency (NSA ), sebuah badan rahasia dalam pengumpulan informasi tentang Amerika serta orang asing. Meskipun Morsi terpilih secara demokratis untuk menggantikan rezim otoriter dan represif pemerintah Husni
Mubarak, Mursi memiliki masa jabatan presiden yang singkat dan terbukti semakin represif dan intoleran serta tidak layak. Mursi berani melawan dari lawan politiknya. Ditambah dengan presiden Mursi secara luas
dianggap tidak layak dan tidak bertanggung jawab untuk kesalahan
manajemen urusan negara, sehingga memicu percepatan pergolakan sosial dan penguraian ekonomi dan
kekacauan. Dalam keadaan ini, ketika militer di Mesir menggulingkan Mursi dan mengambil kendali pemerintahan atas apa yang mereka menyatakan akan periode
terbatas transisi ke arah yang lebih tegas menuju pemerintahan demokratis.[43]
Sebagai Angkatan Darat, di mana al-Sisi membuat karirnya menjadi pasukan perang yang dibayari
oleh dividen kaya untuk perwira loyal terhadap Amerika. Militer pada
dasaranya direkrut dari seluruh masyarakat Mesir, bisa jadi dalam perekrutannya terjadi KKN. Jadi, tidak
heran jika al-Sisi pro-Amerika. Dalam pandangannya, Mesir mendapat sedikit dukungan dari AS ketika Mursi berubah otokratis dan organisasi Ikhwan
al-Muslimin ditumbangkan. Padahal, sebagai negara bergerak menuju pemilu 2012, sudah jelas bahwa Ikhwan al-Muslimin memiliki operasi politik terbaik dan memenangkan suara populer di Mesir. Ketika mendekati tanggal untuk demonstrasi yang direncanakan pada akhir Juni, aktivis didorong oleh perantara berbicara atas nama militer untuk
membangun tekanan di jalan-jalan. Melihat kebelakang, al-Sisi diam-diam menunggu saat yang tepat untuk menjatuhkan Mursi dan Ikhwan al-Muslimin.[44] Dari politik yang dibangun oleh militer, yaitu berkuasa
penuh atas Mesir menolak pendapatnya Franz L. Neumann yang mengatakan “di suatu negara yang
paling berkuasa adalah pemerintah sendiri baik itu seseorang atau kelompok
partai, bahkan penguasa tersebut juga mengendalikan militer dan polisi untuk
kekuatannya,” [45] karena pada hakitnya di
Mesir saat ini militerlah yang berkuasa penuh dan bahkan bisa mengendalikan
pemerintahan yang berasal dari partai politik dan ormas.
Kesimpulan
Semangat
nasionalisme Arab khususnya Mesir bagian darinya, pertama kali terbentuk pada
masa Khalifah Umar bin ‘Affan dan pada masa ini juga nasionalisme bersifat
Islami. Pasalnya, tentara yang dihadapi adalah bangasa romawi atau non Islam.
Berbeda pada masa sesudahnya, yaitu setelah Perang Dunia I, Mesir dikuasai oleh
Inggris dan Inggris pun berusahan menanamkan kebencian rakyat Mesir terhadap
Uthmani hingga nasionalismenya cenderung sekular. Kemudian mulai sebelum
pemerintahan Jamal ‘Abd al-Nasir, nasionalisme itu kembali ke Islam karena
mereka menganggap sekularitas tidak bisa dijadikan landasan bagi kemajuan Mesir
bahkan rakyat Mesir berusaha melepaskan diri dari penjajahan Inggris. Terakhir,
nasionalisme Mesir dihadapai oleh polemik Militernya (yang dibayangi Amerika)
dengan organisasi Ikhwan al-Muslimin. Tentunya, semangat Islam yang
dimunculkan di sini dalam menghadapi Milternya. Walaupun pada akhirnya
pemerintah yang baru Muhammad Mursi dan merupakan orang nomor satu Ikhwan
al-Muslimin lengser ditangan militer.
[1]Faisal Ismail, Momentum Historis Gerakan
Pencerahan Islam; Peranan Nabi Muhammad SAW dan Para Khalifah Al-Rasyidin
Membangun Masyarakat Madani (Jakarta: PT Mitra Cendekia, 2004), 122.
[3]Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam
Klasik; Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Jakarta: Kencana, 2007), 24.
[4]John L. Esposito, Islam and
Development; Religion and Sociopolical Change (New York, Syrauce University
Press, 1980), 87-88
[5]Persoalan Islam tidak menerima demokrasi masih saja dalam diskusi hangat oleh politukus saat ini baik Muslim maupun non-Muslim. Bahkan, masih diperdebatkan tentang agama Islam yang tidak menerima modernisme. John L. Esposito, “2013 AAR Presidential Address: Islam in the Public Square,” J Am Acad Relig 2 (2014), 294, doi: 10.1093/jaarel/lfu014. Lihat juga John L. Esposito, Islam and Development, 19-27.
[6]Ziad Fahmy menegaskan bahwa adanya konsultan Barat di Mesir justru akan berdampak pada tingkat korupsi meluas dan penyalahgunaan hak hukum. Lihat Ziad Fahmy, “Jurisdictional Borderlands: Extraterritoriality and "Legal Chameleons" in Precolonial Alexandria 1840-1870,” doi:10.1017/S0010417513000042 (diakses 26 Desember 2014).
[7]John L. Esposito, Islam and Development,
93-95.
[8]Adam Mestyan, “Power and music in Cairo: Azbakiyya,” Urban History 4 doi:10.1017/S0963926813000229 (diakses 26 Desember 2014).
[10]Lihat Ziad Fahmy, “Jurisdictional
Borderlands: Extraterritoriality and "Legal Chameleons" in Precolonial Alexandria 1840-1870,” 305-312.
[11]Lihat Tesis Ahmad Shafwan, Jamaludin
al-Afgani Gerakan Pan Islamisme (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah, 1996), 84.
[12]Adyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme, 29-30.
[13]Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam
Tematik; Agama dan Negara, Demokrasi, Civil Society, Syariah dan HAM,
Fundamentalis, dan Antikorupsi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2013), 3-4.
[14]Peter Woodward, review of Islam in Contemporary Egypt: Civil
Society vs. the State, by Denis J.
Sullivan; Sana Abed-Kotob, The Journal of
Modern African Studies 2 (2000), 343, http://www.jstor.org/stable/161666 (diakses 22 Desember 2014).
[15]Lihat Tesis Syahrial, Pembaharuan
Pemikiran Hasan al-Banna dalam Islam (Jakarta: Sekolah Pascasarajana UIN
Syarif Hidayatullah, 1995), 98-110. Bisa juga dilihat di Disertasi S. Noor
Chozin Sufri, Hasan al-Banna Tokoh Dakwah di Mesir (Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah,
1999), 26, 111-126.
[17]Adhyaksa Daulth, Islam dan
Nasionalisme; Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional (Jakarta:
Yayasan Amanah Daulatul Islam, 2006), 22-28.
[18]Pendapat ini dikutip oleh C.E. Bosworth.
Lihat C.E. Bosworth (ed.), Islamic World (New Jersey: Darwin Press,
1988), 415.
[19]Novel tersebut menjadi fokus penelitian Tesis
penulis untuk mendapatkan gelar Magister. Lihat Jamal al-Ghitani, al-Zayni Barakat (Bayrut: Dar al-Shuruq,
1994).
[20]Adhyaksa Daulth, Islam dan
Nasionalisme, 24-25.
[21]Sheherazade Jafari, “Gender, the State, and Nationalism in
Egypt and Iran,” Feminist
Formations, suppl. Special Issue: Women in the Middle East3 (2010),
254-259, http://search.proquest.com/docview/859360741/full textPDF/D67F39F586BD4377PQ/1?accountid=38628 (diakses 27
Desember 2014).
[22]Omnia El Shakry, “Egypt as a Woman: Nationalism, Gender, and Politics,” Journal of
Middle East Women's Studies2 (2008),
106-108, http://search.proquest.com/docview/222335741/fulltextPDF/D67F39F586BD4377PQ/2?accountid=38628 (diakses 27
Desember 2014).
[23]Micheal T. Thornhill, “Britain, the United
States and the Rise of an Egyptian Leader: the Politics and Diplomacy of
Nasser’s Consolidation of Power,” English Historical Reiew 119 (2004),
892, ehr.oxfordjournals.org/
content/119/483/892.full.pdf+html (diakses 8 Juni 2014).
[24]Amr G. E. Sabet, Review of Arab Modernities: Islamism, Nationalism, and Liberalism
in the Post-Colonial Arab World, by Jaafar Aksikas, Journal of
Islamic Studies 1(2010),
334-337, doi: 10.1093/jis/etp081 (diakses 27 Desember 2014).
[26]Malak Hifni Nasif: Negotiations Of A Feminist Agenda Between The European And The Colonial,”
[27]John L. Esposito, Islam and Politics,
91-92.
[28]Padahal argumen tersebut sudah dibantah,
karena melihat dari Nabi Muhammad SAW. selain dari utusan Allah bagi umat
manusia, dia juga seorang kepala negara. Artinya pada diri Rasulullah terdapat
dua konsep, yaitu agama dan politik berjalan seiring sebagaimana yang
dicontohkan. Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik Spiritual (Bogor:
al-Azhar Press, 2007), 202.
[30]Abdel Fattah
Galal, “Taha Hussein (1889-1973),” International Bureau of Education 3 (2000), 1, http://www.ibe.unesco.org/publications/
ThinkersPdf/husseine.pdf (diakses 22 Desember 2014).
[31]Pendapat yang sama diutarakan oleh Zada
dan Arif R. Arofah, baginya Islam dan Politik harus dipisahkan karena akan
mempersempit pemahaman agama. Terutama ketika agama dijadikan dalih bagi
kelompok politik tertentu, jurstru akan mempersempit pemahaman agama sebatas
tujuan politiknya. Khamami Zada dan Arief R Arofah, Diskursus Politik Islam (Jakarta:
LSIP, 2004), 6-8. John L. Esposito, Islam and Politics ,95-97.
[32]Seperti salah satu contohnya adalah al-Hukm
(pemerintahan), ulama mendefenisikan al-Hukm adalah kebijakan dan
kecakapan dalam menghadapi masalah sehingga mendatangkan kemaslahatan bagi
umat, tentunya berdasarakan hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT. Sebagimana
Allah menegaskan dalam al-Quran surat al-An‘am (6): 67, yaitu:
§NèO
(#ÿrâ
n<Î)
«!$#
ãNßg9s9öqtB
Èd,ysø9$#
4 wr&
ã&s!
ãNõ3çtø:$#
uqèdur
äíuó r&
tûüÎ7Å¡»ptø:$#
(kemudian
mereka dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. ketahuilah
bahwa segala hukum kepunyaanNya. dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling
cepat). Untuk
lebih jelasnya lihat Jazilul Fawaid, Bahasa Politik al-Quran Konsep dan
Aktualisasinya dalam Sejarah (Depok: Azza Media, 2012), 269.
[33]Pendapat di atas merupakan pendapat John
L. Esposito, Islam dan Perubahan Sosial Politik di Negara-negara Berkembang,
terj. Wardah Hafiz (Yogyakarta: PLP2M, 1985), 151 yang dikutip oleh Eti
Efrina, Pandangan Dunia Pengarang dalam Sastra: Kritik Sastra Feminis atas
Novel Imra’ah ‘Inda Nuqtat al-Sifr (Tangerang Selatan: YPM, 2012). 72.
[34]Abu Ghazzah, Musim Semi Revolusi Dunia
Arab; Success Story Partai Kebebasan dan Keadilan Sayap Politik Jamaah Ikhwanul
Muslimin (Jakarta: Maktaba Gaza, 2012), 158-159.
[35]Lihat di berita Mesir melalui situs http://www.usnews.com/news/ articles/2013/12/26/egypt-labels-muslim-brother
hood-terrorist-group (diakses 25 November 2014)
[36]Sally Khalifa Isaac, “Egypt’s
Transition: How is it under Brotherhood Rule?,” ISPI-Analysis
138 (2012), 1, http://www.ispionline.it/
sites/default/files/pubblicazioni/analysis_138_2012.pdf (diakses
2 Nopember 2014).
[37]Sita Hidriyah,
“Terpilihnya Muhammad Mursi dan Babak Baru Demokrasi di Mesir,” Info Singkat Hubungan Internasional 13 (2012), 6, http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-IV-13-I-P3DI-Juli-2012-60.pdf
(diakses 26 Desember 2014).
[38]Jannis Grimm and Stephan Roll, “Egyptian
Foreign Policy under Mohamed Morsi; Domestic Considerations and Economic Constraints”, SWP Comments 35 (2012), 1, http://www.swp-berlin.org/fileadmin/contents/
products/comments/2012C35_gmm_rll.pdf (diakses 2 Nopember 2014).
[39]Salma Ikram, “Cultiral Heritage in Times
of Crisis: the View from Egypt.” Journal of Eastern Mediterranean
Archaeology & Heritage Studies 1 (2013), 336 dan 371, http://jstor.org/stables/10.5325/jeasmedarcherstu.1.4.0366
(diakses 2 Juni 2014).
[40]Nathan Brown berpendapat bahwa peristiwa Juli 2013 yaitu penggulingan oleh militer presiden terpilih Muhammad Mursi ditandai dengan jelas kegagalan Mesir dua tahun upaya Mesir untuk mewujudkan transisi demokrasi berikut pemberontakan massa melawan pemerintahan otoriter. Lihat NewsRx, “New Looks at Egypt and Syria in Latest Issue of the Journal of Democracy,” http://search. proquest.com/docview/1444572510?accountid=38628
[41]Bahkan menurut kantor berita MENA mengatakan bahwa Omar Abul-Magd ditangkap pekan lalu di provinsi Qena karena diduga menghina Umum ‘Abd al-Fattah al-Sisi, yang memimpin kudeta melenserkan Presiden Muhammad Mursi. Kemudian sebelumnya lima pro-Mursi yang berunjuk rasa mendapatkan kurungan tiga tahun penjara karena nyanyian melawan tentara. Kemudian dalam orasi dari pendukung mantan Presiden Muhammad Mursi, pihak berwenang menangkap Essam el Erian, salah satu wakil pemimpin Partai Kebebasan dan Keadilan, ekspresi politik Ikhwan al-Muslimin. Selain itu, Polisi juga membubarkan demonstrasi mendukung Mursi di Universitas al-Azhar. Lihat News Digital Media, “NZ farmers stay on land,” The Weekly Times (2013), 20, http://search.proquest.com/docview/1435379247?accountid= 38628 (diakses 26 Desember 2014). Kemudian lihat juga David W. Hendon and Jason Hines, “Notes on Church-State Affairs,” J. of Church and State 1 (2014), 208, doi: 10.1093/jcs/cst142 (diakses 27 Desember 2014).
[43]Michel
Rosenfeld, “On constitutionalism and
the paradoxes of tolerance: Reflections on Egypt, the US, and beyond,” Int J Constitutional Law 4 (2013), 835-841, doi:
10.1093/icon/mot055 (diakses 27 Desember 2014).
[44]The Anonymous Dictator: What does Egypt's strongman want?,” http://search. proquest.com/docview/1426247641?accountid=38628 (diakses 26 Desember 2014). Lihat juga berita ini di berita online Viva New melalui situs http://dunia.news.viva.co.id/news/read/426065-abdel-fattah-al-sisi--jenderal-lulusan-as-yang-kudeta-presiden-mesir (diakses 26 Desember 2014).
[45]Toni Andrianus (ed.), Mengenal
Teori-teori Politik, 92-93.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar